Kau duduk termenung dengan melipat buku jemarimu
didepanku. Dengan kepala dan rambutmu yang tertunduk lesu, mukamu penuh sembab.
Bekas tangis tecetak jelas diraut wajahmu. Kau terdiam setelah sepersekian
detik duduk dan memandangku tanpa seutas kalimat yang kau lontarkan padaku, tak
sepatahpun. Kau masih diam hingga aku ikut hanyut dan terlarut dalam bayangan
masa lalumu.
Masa lalu dirimu yang membuatku berhenti. Masa lalumu
yang membuatku berpaling. Masa lalu dirimu yang membuatku berhenti merasakan
bahagia. Berhenti dari segala rasa bahagia dan suka. Berhenti mencari sebuah
asa dan rajutan cinta.
Satu setengah dekade lebih sudah aku mengenalmu.
Mengenal sosok penuh canda tawa, kuat dan selalu tegar menghadapi hantaman
bencana hidup. Tidak perduli sekalipun badai menghantam dan memporak porandakan
diri dan hidupmu. Dan selama itupula aku mengagumimu. Bahkan mungkin hingga
saat ini.
Kau begitu tegar dan kuat meski hidupmu kekurangan.
Kau begitu bersemangat meski terkadang terhalang rintangan. Kau begitu bersinar
sekalipun kau diredupkan. Kau begitu begitu indah dan berkilau meski tertanam
didalam bumi. Kau sempurna bagiku, sedari diawal kita berjumpa bahkan hingga
kini. Bagiku kau adalah sebuah lentera yang terus menyala. Menyala disetiap sudur
kehidupanku, membakar asa dan semangatku, memberiku lecutan api ghiroh agar aku
terus menjadi lebih menyala dari sekarang.
Kau tlah menjelma menjadi api kecil itu. Api kecil
yang meletupkan semangat juang dan ghirohku. Kau api kecil yang membakar sendi
semangat dan menghanguskan keraguanku.
Lima belas tahun sudah aku mengenal dirimu.
Tapi tahukah kau sedari Lima tahun ini aku melalui
hidupku dengan derita sekarat yang tiada berkesudahan. Aku memendam bergalon-galon
rasa rindu dan rasa kecewa yang bahkan aku tidak tahu kepada siapa harus aku
luapkan ini semua. Aku bahkan sudah melupakan bagaimana rasanya berair mata dan
rasanya menjadi kecewa.
Hanya karena ku tahu kau sudah berpasangan. Dua tahun
yang lalu kala kau ucapkan kalimah itu untuk meminang sahabat karibku ketika
SMA dulu. Tahukah kau? Hatiku menjelma menjadi jutaan serpihan kaca yang tak
akan pernah bisa menjadi utuh sekalipun harus memakan lem hingga berjuta ton
banyaknya. Dan serpihan itu, tersisa sakitnya dan membekas lukanya hingga
sekarang.
Hari selanjutnya kau masih memintaku menyimak sirohmu
tentang dirinya. Dan kau menangis didepanku. Menangisinya. Kau terdiam selepas
menggugu dihadapanku. Seratus detik yang lalu kau diam. Dan Sembilan puluh
empat detik lalu kau berbicara panjang lebar padaku. Dan kini kau tergugu
seperti anak kecil didepanku.
Tapi tahukah hatimu jika aku merasa perih dan pedih.
Disini. Didepanmu.
“Harun,
langsung saja apa yang ingin kau ucapkan?” aku tahu kalimahku akan membuat
manahmu terluka. Dan kini semakin terlihat melebar, selebar sorot manic matamu
dan setajam pandangan matamu laiknya ingin menguliti dagingku hingga kedalam
tulang.
“bisakah kita kembali seperti dulu lagi?” katamu
dengan manis.
Aku terluka, tertekan dan terbata. Dan kau hanya
terdiam selepas mengatakannya, lalu kau pergi dan membiarkan aku terduduk
disini seperti orang bodoh yang baru saja ditinggal penunjuk jalannya. Bekasmu
masih terasa menyesakkan dan memanaskan kedua mataku. Perih dan sakit kau
tinggalkan lagi. Disini. Ditempat yang sama. Di kedua bola mata yang sudah
kering ini.
Ku tahu engkau terluka karena kepergiannya, tapi bukan
berarti aku bisa kau jadikan penggantinya hanya karena kau tersiksa. Aku tahu
engkau selalu menangisinya setiap detik dan setiap hidupmu, dan bahkan setelah kau
dialam barzah jika bisa. Dan aku tahu itu dengan pasti.
Ku tahu kau hanya mencintainya di seumur hidupmu. Dan
aku tahu dengan benar perihal itu. Tahukah kau bahwa hatiku sakit lebih sakit
darimu? Taukah kau aku sangat tersiksa hingga kini? Aku tahu kau hanya
mencintainya bukan diriku. Aku hanya pemeran penggantinya dan kau tidak akan
pernah bisa mencintaiku layaknya cintaku padamu dari dulu hingga tersisa kini.
Ku pikir cinta dan perasaanku terlalu berharga untuk
ku berikan padamu lagi. Lima belas tahun. Lima belas tahun bukan masa yang singkat
untuk melupakanmu. Dan tahukah kau? aku tersiksa karena hal itu? Pernahkah kau memikirkan
aku barang sejengkal saja?
Ku tahu air mata kekecewaanmu menggenang dan memnuhi
rongga matamu. Kau pria dan kau menitikkan air mata didepanku. Tapi lagi,
hatiku remuk redam…. Hatiku berdarah….
“kurasa sudah terlambat Harun,”
Sudah cukup kau bakar hatiku menjadi abu dan
beterbangan….
“ku harap kau temukan wanita yang sesuai denganmu,
selamat tinggal, Harun…,”
Sudah cukup kau buat hatiku… remuk redam, tapi inilah
jawabanku untukmu. Tak akan ku berikan hatiku pada insane yang biarkan hatiku
hancur, remuk dan membakarnya menjadi abu hingga tak tersisa. Tak akan pernah.
14 juni
2014 Sulasiyah Agassi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar