Sabtu, 25 Oktober 2014

SEBUAH JAWABAN



Kau duduk termenung dengan melipat buku jemarimu didepanku. Dengan kepala dan rambutmu yang tertunduk lesu, mukamu penuh sembab. Bekas tangis tecetak jelas diraut wajahmu. Kau terdiam setelah sepersekian detik duduk dan memandangku tanpa seutas kalimat yang kau lontarkan padaku, tak sepatahpun. Kau masih diam hingga aku ikut hanyut dan terlarut dalam bayangan masa lalumu.
Masa lalu dirimu yang membuatku berhenti. Masa lalumu yang membuatku berpaling. Masa lalu dirimu yang membuatku berhenti merasakan bahagia. Berhenti dari segala rasa bahagia dan suka. Berhenti mencari sebuah asa dan rajutan cinta.
Satu setengah dekade lebih sudah aku mengenalmu. Mengenal sosok penuh canda tawa, kuat dan selalu tegar menghadapi hantaman bencana hidup. Tidak perduli sekalipun badai menghantam dan memporak porandakan diri dan hidupmu. Dan selama itupula aku mengagumimu. Bahkan mungkin hingga saat ini.
Kau begitu tegar dan kuat meski hidupmu kekurangan. Kau begitu bersemangat meski terkadang terhalang rintangan. Kau begitu bersinar sekalipun kau diredupkan. Kau begitu begitu indah dan berkilau meski tertanam didalam bumi. Kau sempurna bagiku, sedari diawal kita berjumpa bahkan hingga kini. Bagiku kau adalah sebuah lentera yang terus menyala. Menyala disetiap sudur kehidupanku, membakar asa dan semangatku, memberiku lecutan api ghiroh agar aku terus menjadi lebih menyala dari sekarang.
Kau tlah menjelma menjadi api kecil itu. Api kecil yang meletupkan semangat juang dan ghirohku. Kau api kecil yang membakar sendi semangat dan menghanguskan keraguanku.
Lima belas tahun sudah aku mengenal dirimu.
Tapi tahukah kau sedari Lima tahun ini aku melalui hidupku dengan derita sekarat yang tiada berkesudahan. Aku memendam bergalon-galon rasa rindu dan rasa kecewa yang bahkan aku tidak tahu kepada siapa harus aku luapkan ini semua. Aku bahkan sudah melupakan bagaimana rasanya berair mata dan rasanya menjadi kecewa.
Hanya karena ku tahu kau sudah berpasangan. Dua tahun yang lalu kala kau ucapkan kalimah itu untuk meminang sahabat karibku ketika SMA dulu. Tahukah kau? Hatiku menjelma menjadi jutaan serpihan kaca yang tak akan pernah bisa menjadi utuh sekalipun harus memakan lem hingga berjuta ton banyaknya. Dan serpihan itu, tersisa sakitnya dan membekas lukanya hingga sekarang.
Hari selanjutnya kau masih memintaku menyimak sirohmu tentang dirinya. Dan kau menangis didepanku. Menangisinya. Kau terdiam selepas menggugu dihadapanku. Seratus detik yang lalu kau diam. Dan Sembilan puluh empat detik lalu kau berbicara panjang lebar padaku. Dan kini kau tergugu seperti anak kecil didepanku.
Tapi tahukah hatimu jika aku merasa perih dan pedih. Disini. Didepanmu.
 “Harun, langsung saja apa yang ingin kau ucapkan?” aku tahu kalimahku akan membuat manahmu terluka. Dan kini semakin terlihat melebar, selebar sorot manic matamu dan setajam pandangan matamu laiknya ingin menguliti dagingku hingga kedalam tulang.
“bisakah kita kembali seperti dulu lagi?” katamu dengan manis.
Aku terluka, tertekan dan terbata. Dan kau hanya terdiam selepas mengatakannya, lalu kau pergi dan membiarkan aku terduduk disini seperti orang bodoh yang baru saja ditinggal penunjuk jalannya. Bekasmu masih terasa menyesakkan dan memanaskan kedua mataku. Perih dan sakit kau tinggalkan lagi. Disini. Ditempat yang sama. Di kedua bola mata yang sudah kering ini.
Ku tahu engkau terluka karena kepergiannya, tapi bukan berarti aku bisa kau jadikan penggantinya hanya karena kau tersiksa. Aku tahu engkau selalu menangisinya setiap detik dan setiap hidupmu, dan bahkan setelah kau dialam barzah jika bisa. Dan aku tahu itu dengan pasti.
Ku tahu kau hanya mencintainya di seumur hidupmu. Dan aku tahu dengan benar perihal itu. Tahukah kau bahwa hatiku sakit lebih sakit darimu? Taukah kau aku sangat tersiksa hingga kini? Aku tahu kau hanya mencintainya bukan diriku. Aku hanya pemeran penggantinya dan kau tidak akan pernah bisa mencintaiku layaknya cintaku padamu dari dulu hingga tersisa kini.
Ku pikir cinta dan perasaanku terlalu berharga untuk ku berikan padamu lagi. Lima belas tahun. Lima belas tahun bukan masa yang singkat untuk melupakanmu. Dan tahukah kau? aku tersiksa karena hal itu? Pernahkah kau memikirkan aku barang sejengkal saja?
Ku tahu air mata kekecewaanmu menggenang dan memnuhi rongga matamu. Kau pria dan kau menitikkan air mata didepanku. Tapi lagi, hatiku remuk redam…. Hatiku berdarah….
“kurasa sudah terlambat Harun,”
Sudah cukup kau bakar hatiku menjadi abu dan beterbangan….
“ku harap kau temukan wanita yang sesuai denganmu, selamat tinggal, Harun…,”
Sudah cukup kau buat hatiku… remuk redam, tapi inilah jawabanku untukmu. Tak akan ku berikan hatiku pada insane yang biarkan hatiku hancur, remuk dan membakarnya menjadi abu hingga tak tersisa. Tak akan pernah.
14 juni 2014 Sulasiyah Agassi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar