“Sonia,”
Farel mendekati Sonia yang sedang duduk diatas kursi rodanya, memandangi ikan
yang ada didalam kolam ditengah taman rumah sakit. “hari ini belum
ada jadwal kemoterapi, jadi kamu minum obatnya dulu...,”
“iya,”
Sonia menelan obat pereda nyeri untuk kanker, ia tersenyum pada Farel. Farel
membalasnya dengan menyuapinya potongan kecil buah apel yang dia letakkan didalam kotak bekal.
Seorang
pria dewasa berudia sekitar empat puluh dua tahunan sedang duduk didalam rumah.
Ia beristirahat sejenak sambil memainkan pion catur bersama seorang anak
laki-laki berusia enam tahun. Sesekali ia tersenyum dengan kelakuan anak kecil yang
berada disampingnya yang lebih suka menghitung kertas mainan. Ia menghentikan
permainan setelah sebuah pesan singkat masuk kedalam handphonenya. Ia segera membereskan
perlengkapannya lalu duduk memandangi sebuah foto. Foto Sonia dan dirinya saat
masih kuliah dan menemani Sonia yang sedang menjalani
pengobatan kanker.
Sudah
dua belas tahun dari semuanya Sonia..., sudah dua belas tahun kita menunggu,
sekarang kau tiada, mereka memang merencanakan kematianmu Sonia, dan aku sudah
berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan membuatmu kecewa, aku tidak
akan membuat kematianmu berakhir dengan sia-sia. Orang itu memang memiliki
kekuasaan penuh dinegeri ini, tapi dia bukan Tuhan..., aku sudah sangat lama
menanti hari ini akan datang, meski harus aku korbankan nyawaku, itu tidak
apa-apa. Dulu secara, mereka membunuhmu dengan malpraktek. Aku masih ingat ketika
mereka mengatakan kalau kau mengalami kegagalan fungsi jantung dan hati karena
cancermu sudah menyebar. Setelah dua belas tahun aku menyelidiki semua ini aku
baru tahu kalau kau meninggal karena malpraktek. Kau adalah hiduku dan hidup
teman-teman kita, mereka membunuhmu hanya karena kau adalah seorang
mahasiswi
yang hebat dan keluargamu bersih. Mereka akan mendapatkan balasan dari rasa sakit yang kita
rasakan selama ini, rasa sakit yang mebuat mereka bahagia.
“Abang...,
Abang Farel, Abang mau kemana? Yoga ikut ya?”
“iya
Abang.... ajak Yudha juga...,”
“kita
main ular tangga lagi..., Abang jangan pergi lagi..., jangan tinggalin Yoga
sendiri..., Yoga takut dengan preman itu...., Abang jangan pergi...,” Yoga
memeluk kedua kaki Farel dan menangis terisak, begitupun dengan saudara kembarnya.
“Abang
ada urusan dijakarta, mungkin hanya seminggu saja, minggu depan Abang pasti
akan pulang, Yoga..., Abang punya sesuatu buat kamu, nih..., papan monopoli dan
gambarnya lihat..., avatar aang, bagus kan? Abang punya sesuatu juga buat
kalian, kalung ini... akan menjadi milik kalian berdua, yang satu milik Yudha
yang satu milik Yoga,”
“iya...
bagus,” ucap Yudha senang
“Abang
benar akan pulang kan? Pulang kesini seperti dulu?” Yoga menatap Farel dengan
memelas. Farel mengelus kepalanya sambil tersenyum.
“tentu, pasti Abang akan pulang,” Farel
tersenyum, setengah memaksakan senyumannya. Meski sebenarnya aku tidak yakin
aku bisa pulang atau tidak
“tentu
saja..., Abang pasti akan pulang, Abang akan main lagi sama Yoga dan Yudha,
sekarang kalian masuk dengan mbak Risa dulu, nanti Yoga dan Yudha bisa main
dengan mbak Risa,” belum sempat ia meneruskan ucapannya Yoga dan Yudha memeluk
kedua kakinya.
“Abang
harus pulang...,”
“iya
Abang akan pulang, Abang akan pulang tepat ketika pohon kamboja itu, Abang pergi dulu ya?
Assalamualaikum...,”
“waalaikumussalam...,
bang Farel harus pulang...,” gumam Yoga lalu masuk kedalam rumah. Risa menoleh
kepada Yoga dan meneteskan air matanya. Ia langsung mengajak Yudha masuk
kedalam rumah.
Hari
ini adalah puncak acara Tour de Java, banyak pembesar negara yang hadir
disana termasuk presiden negara indonesia. Para penonton berjubelan dari ujung
start sampai ujung finish. Semua berbaur menjadi satu, tua muda, laki-laki
perempuan, baik dari luar negeri dan dalam negeri, semuanya menjadi satu. Semua
telah sampai difinish, dan para pemenang sedang menerima penghargaan,
ditengah-tengah gemuruh tepuk tangan yang meriah terdengar sebuah ledakan dan
gemuruh yang sangat dahsyat, melebihi bom di Irak. Sebuah sepeda yang tiba-tiba
melintas didepan presiden meledak dan melukai presiden dan sedikitnya membunuh
tiga orang dari utusan dubes Amerika Serikat. Tak berhenti disitu, juga terjadi
beberapa ledakan medium ditengah-tengah kerumunan massa yang panik. Kejadian
itu mengakibatkan sedikitnya tujuh belas orang meninggal dunia, tiga puluh
orang kritis dan delapan ratus orang luka berat dan luka ringan.
Sore
harinya beberapa tim dari FBI datang membantu proses investigasi dan
penangkapan pelaku pengeboman yang mengakibatkan tiga warga negaranya meninggal
dunia. Mereka kesulitan melacak pelakunya karena pelaku tidak meninggalkan
jejak sama sekali, terlebih lagi tidak terdapat kamera CCTV disekitar rute
balap. Mereka masih menemukan jalan buntu dan teka-teki yang tidak beralasan.
Mreka belum bisa menjelaskannya, mungkin karena begitu berbeda dengan kejadian
bom di Irak beberapa tahun lalu. Sebenarnya pelakunya masih berkeliaran
ditengah jalan, pasar dan kampus. Namun mereka tiba-tiba menghilang begitu saja
setelah seorang wartawan menemui mereka.
Sementara
itu didalam rumah, Risa terdiam melihat berita di televisi. Dia mencemaskan
kondisi Farel dan keselamatannya. Ia melirik Yoga dan Yudha yang telah tertidur
lelap setelah bermain catur dengannya. Ia memandangi Yoga yang tertidur sambil
memeluk papan monopoli yang diberikan Farel padanya. Risa tersenyum getir dan
menggigit bibirnya. Dadanya mulai sesak dan air matanya tumpah.
“assalamualaikum,
mbak Risa...,” seseorang memanggilnya dari luar.
“iya
sebentar, ada apa kang?”
“kita
harus pindah sekarang,”
Sepanjang
perjalanan Risa terdiam dan hanya memandangi jalanan. Yoga terjaga dan melihat
jalanan sambil memeluk papan monopolinya. Disampingnya Yudha masih tertidur
lelap sambil memeluk sebuah robot gundam. Yoga terbangun
dan teringat
dengan pohon kambojanya yang masih belum rela untuk berkembang. Ia mengingatnya
sepanjang perjalanan hingga sinar matahari menghilang diujung barat menandakan
harikan bergantung dengan kegelapan.
Risa
mengingat wajah Farel yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Ia telah
menyelamatkan nyawa Risa dari kejahatan oknum penegak hukum yang hendak menjualnya. Ia membayangkan
apa yang dilakukan oleh Bang Farel sekarang. Wajahnya yang tampan dengan alis
hitam tebalnya, mata bolanya, dan bekas luka yang menghiasi bibirnya. Bekas
luka yang ia dapatkan karena menyelamatkan nyawa Risa. Ia ingat ketika pertama
kalinya Farel membawa Yoga dan Yudha kerumahnya dengan seorang wartawan
kriminal. Kedua anak laki-laki itu, ia gagalkan dari rencana penjualan
bayi keluar negeri, sementara kedua
orang tuanya sudah meninggal. Ia menyayangi Farel, apapun yang terjadi. Ia akan
tetap berada dibelakang Farel meski ia tahu kalau jalan yang ditempuh Farel
adalah salah.
“kita
sudah sampai mbak..,”
“Yoga
ayo turun, bangunkan adikmu,”
“iya
mbak, adek..., adek Yudha..., bangun..., sudah sampai,”
“sudah
sampai ya?” Yudha mengucek-ucek matanya. Tiba-tiba saja beberapa anggota polisi
berlari kearah mereka, Risa menoleh dan berteriak pada Yoga.
“lari
Yoga..., lari...., Yudha lari....,” mereka berempat berlari. Yoga menggandeng
tangan Yudha dan berlari sekencang mungkin. Yudha terjatuh dan polisi semakin
dekat. Ia mendekati Yudha dan memaksanya berlari, namun Yudha yang kondisi
fisiknya agak lemah langsung terjatuh. Yoga melihat polisi semakin dekat dan ia
hendak berlari, namun seseorang langsung membawanya pergi.
“kakaaaaakkk.......,”
teriak Yudha
“jangan
pergi...,” ucap Yudha lemah lalu pingsan.
“Yudha....,
toloooong.....,” Yoga menangis karena ia meninggalkan Yudha yang pingsan
disana. Sementara itu Risa meninggal karena tertembak begitu pula orang yang
mengajaknya. Sementara itu, Farel dan teman-temannya sedang terkepung dan
terpojok. Ia dan temannya akhirnya terpojok dan menyebar bom dan meledak dengan
bom tersebut.
Yudha
masih berada dirumah sakit karena ia masih belum siuman. Di tempat yang
berbeda, jauh dari Indonesia, di kota Osaka Jepang, Yoga sedang duduk termenung
memandangi kalung dan sebuah papan catur yang ada dihadapannya. Ia sudah tidak
berhasrat main catur lagi, ia menangis. Yudha masih berada di alam bawah sadarnya
ketika ia bertemu dengan Farel dan Risa yang tersenyum padanya dan membuatnya
sadar dari komanya. Setelah bangun dari sadarnya, ia hanya melihat kerumunan
polisi dan suster. Ia sedih dan menangis karena terpisah dengan semua orang
yang mencintainya. Keesokan harinya, seorang jenderal polisi yang tidak
memiliki anak akhirnya mengangkatnya sebagai anak.
Sepuluh
tahun kemudian, Yudha berjalan dijalan sekitar rumah temannya. Disebuah desa
yang pernah ia tinggali meski hanya sekejap. Ia berlibur kesana sesudah lulus
ujian sekolah. Dia berhenti berjalan dan berdiri disebuah rumah kosong yang
sudah rusak. Didepannya terdapat sebatang pohon kamboja yang sudah mulai menua.
Beberapa daun dan kuntum bunganya jatuh, berguguran diatas tanah, bau
kembangnya tercium, penuh dengan wangi kesedihan yang mendalam. Perlahan rasa
rindu itu kembali merasuki hatinya dan menyesaki relung kalbunya yang setelah
sekian lamanya hilang. Air matanya meleleh panas dipipinya, ia tinggalkan
tempat itu dengan penuh rasa sesak yang tidak dapat ia jelaskan artinya.
Tak
lama setelah ia pergi, hanya berselang beberapa detik. Seorang anak laki-laki
yang persis dengannya datang. Ia menoleh ke arah jalanan tempat Yudha pergi, ia
memegangi kalungnya. Pada saat bersamaan Yudha juga melakukan hal yang sama.
Air mata mereka jatuh berguguran seirama dengan gugurnya kuntum-kuntum bunga
kamboja yang semakin mewangikan kesedihan dihati mereka berdua, memberikan
aroma kerinduan yang menyakitkan dan menyesakkan pada mereka berdua.
To be continue.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar