Senin, 27 Oktober 2014

GUGURNYA SEKUNTUM KAMBOJA



“Sonia,” Farel mendekati Sonia yang sedang duduk diatas kursi rodanya, memandangi ikan yang ada didalam kolam ditengah taman rumah sakit. “hari ini belum ada jadwal kemoterapi, jadi kamu minum obatnya dulu...,”
“iya,” Sonia menelan obat pereda nyeri untuk kanker, ia tersenyum pada Farel. Farel membalasnya dengan menyuapinya potongan kecil buah apel yang dia letakkan didalam kotak bekal.

Seorang pria dewasa berudia sekitar empat puluh dua tahunan sedang duduk didalam rumah. Ia beristirahat sejenak sambil memainkan pion catur bersama seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Sesekali ia tersenyum dengan kelakuan anak kecil yang berada disampingnya yang lebih suka menghitung kertas mainan. Ia menghentikan permainan setelah sebuah pesan singkat masuk kedalam handphonenya. Ia segera membereskan perlengkapannya lalu duduk memandangi sebuah foto. Foto Sonia dan dirinya saat masih kuliah dan menemani Sonia yang sedang menjalani pengobatan kanker.
Sudah dua belas tahun dari semuanya Sonia..., sudah dua belas tahun kita menunggu, sekarang kau tiada, mereka memang merencanakan kematianmu Sonia, dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan membuatmu kecewa, aku tidak akan membuat kematianmu berakhir dengan sia-sia. Orang itu memang memiliki kekuasaan penuh dinegeri ini, tapi dia bukan Tuhan..., aku sudah sangat lama menanti hari ini akan datang, meski harus aku korbankan nyawaku, itu tidak apa-apa. Dulu secara, mereka membunuhmu dengan malpraktek. Aku masih ingat ketika mereka mengatakan kalau kau mengalami kegagalan fungsi jantung dan hati karena cancermu sudah menyebar. Setelah dua belas tahun aku menyelidiki semua ini aku baru tahu kalau kau meninggal karena malpraktek. Kau adalah hiduku dan hidup teman-teman kita, mereka membunuhmu hanya karena kau adalah seorang mahasiswi yang hebat dan keluargamu bersih. Mereka akan mendapatkan balasan dari rasa sakit yang kita rasakan selama ini, rasa sakit yang mebuat mereka bahagia.
“Abang..., Abang Farel, Abang mau kemana? Yoga ikut ya?
“iya Abang.... ajak Yudha juga...,”
“kita main ular tangga lagi..., Abang jangan pergi lagi..., jangan tinggalin Yoga sendiri..., Yoga takut dengan preman itu...., Abang jangan pergi...,” Yoga memeluk kedua kaki Farel dan menangis terisak, begitupun dengan saudara kembarnya.
“Abang ada urusan dijakarta, mungkin hanya seminggu saja, minggu depan Abang pasti akan pulang, Yoga..., Abang punya sesuatu buat kamu, nih..., papan monopoli dan gambarnya lihat..., avatar aang, bagus kan? Abang punya sesuatu juga buat kalian, kalung ini... akan menjadi milik kalian berdua, yang satu milik Yudha yang satu milik Yoga,”
“iya... bagus,” ucap Yudha senang
“Abang benar akan pulang kan? Pulang kesini seperti dulu?” Yoga menatap Farel dengan memelas. Farel mengelus kepalanya sambil tersenyum.
“tentu, pasti Abang akan pulang,” Farel tersenyum, setengah memaksakan senyumannya. Meski sebenarnya aku tidak yakin aku bisa pulang atau tidak
“tentu saja..., Abang pasti akan pulang, Abang akan main lagi sama Yoga dan Yudha, sekarang kalian masuk dengan mbak Risa dulu, nanti Yoga dan Yudha bisa main dengan mbak Risa,” belum sempat ia meneruskan ucapannya Yoga dan Yudha memeluk kedua kakinya.
“Abang harus pulang...,”
“iya Abang akan pulang, Abang akan pulang tepat ketika pohon kamboja itu, Abang pergi dulu ya? Assalamualaikum...,”
“waalaikumussalam..., bang Farel harus pulang...,” gumam Yoga lalu masuk kedalam rumah. Risa menoleh kepada Yoga dan meneteskan air matanya. Ia langsung mengajak Yudha masuk kedalam rumah.

Hari ini adalah puncak acara Tour de Java, banyak pembesar negara yang hadir disana termasuk presiden negara indonesia. Para penonton berjubelan dari ujung start sampai ujung finish. Semua berbaur menjadi satu, tua muda, laki-laki perempuan, baik dari luar negeri dan dalam negeri, semuanya menjadi satu. Semua telah sampai difinish, dan para pemenang sedang menerima penghargaan, ditengah-tengah gemuruh tepuk tangan yang meriah terdengar sebuah ledakan dan gemuruh yang sangat dahsyat, melebihi bom di Irak. Sebuah sepeda yang tiba-tiba melintas didepan presiden meledak dan melukai presiden dan sedikitnya membunuh tiga orang dari utusan dubes Amerika Serikat. Tak berhenti disitu, juga terjadi beberapa ledakan medium ditengah-tengah kerumunan massa yang panik. Kejadian itu mengakibatkan sedikitnya tujuh belas orang meninggal dunia, tiga puluh orang kritis dan delapan ratus orang luka berat dan luka ringan.
Sore harinya beberapa tim dari FBI datang membantu proses investigasi dan penangkapan pelaku pengeboman yang mengakibatkan tiga warga negaranya meninggal dunia. Mereka kesulitan melacak pelakunya karena pelaku tidak meninggalkan jejak sama sekali, terlebih lagi tidak terdapat kamera CCTV disekitar rute balap. Mereka masih menemukan jalan buntu dan teka-teki yang tidak beralasan. Mreka belum bisa menjelaskannya, mungkin karena begitu berbeda dengan kejadian bom di Irak beberapa tahun lalu. Sebenarnya pelakunya masih berkeliaran ditengah jalan, pasar dan kampus. Namun mereka tiba-tiba menghilang begitu saja setelah seorang wartawan menemui mereka.
Sementara itu didalam rumah, Risa terdiam melihat berita di televisi. Dia mencemaskan kondisi Farel dan keselamatannya. Ia melirik Yoga dan Yudha yang telah tertidur lelap setelah bermain catur dengannya. Ia memandangi Yoga yang tertidur sambil memeluk papan monopoli yang diberikan Farel padanya. Risa tersenyum getir dan menggigit bibirnya. Dadanya mulai sesak dan air matanya tumpah.
“assalamualaikum, mbak Risa...,” seseorang memanggilnya dari luar.
“iya sebentar, ada apa kang?”
“kita harus pindah sekarang,”

Sepanjang perjalanan Risa terdiam dan hanya memandangi jalanan. Yoga terjaga dan melihat jalanan sambil memeluk papan monopolinya. Disampingnya Yudha masih tertidur lelap sambil memeluk sebuah robot gundam. Yoga terbangun dan teringat dengan pohon kambojanya yang masih belum rela untuk berkembang. Ia mengingatnya sepanjang perjalanan hingga sinar matahari menghilang diujung barat menandakan harikan bergantung dengan kegelapan.
Risa mengingat wajah Farel yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Ia telah menyelamatkan nyawa Risa dari kejahatan oknum penegak hukum yang hendak menjualnya. Ia membayangkan apa yang dilakukan oleh Bang Farel sekarang. Wajahnya yang tampan dengan alis hitam tebalnya, mata bolanya, dan bekas luka yang menghiasi bibirnya. Bekas luka yang ia dapatkan karena menyelamatkan nyawa Risa. Ia ingat ketika pertama kalinya Farel membawa Yoga dan Yudha kerumahnya dengan seorang wartawan kriminal. Kedua anak laki-laki itu, ia gagalkan dari rencana penjualan bayi  keluar negeri, sementara kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia menyayangi Farel, apapun yang terjadi. Ia akan tetap berada dibelakang Farel meski ia tahu kalau jalan yang ditempuh Farel adalah salah.
“kita sudah sampai mbak..,”
“Yoga ayo turun, bangunkan adikmu,”
“iya mbak, adek..., adek Yudha..., bangun..., sudah sampai,”
“sudah sampai ya?” Yudha mengucek-ucek matanya. Tiba-tiba saja beberapa anggota polisi berlari kearah mereka, Risa menoleh dan berteriak pada Yoga.
“lari Yoga..., lari...., Yudha lari....,” mereka berempat berlari. Yoga menggandeng tangan Yudha dan berlari sekencang mungkin. Yudha terjatuh dan polisi semakin dekat. Ia mendekati Yudha dan memaksanya berlari, namun Yudha yang kondisi fisiknya agak lemah langsung terjatuh. Yoga melihat polisi semakin dekat dan ia hendak berlari, namun seseorang langsung membawanya pergi.
“kakaaaaakkk.......,” teriak Yudha
“jangan pergi...,” ucap Yudha lemah lalu pingsan.
“Yudha...., toloooong.....,” Yoga menangis karena ia meninggalkan Yudha yang pingsan disana. Sementara itu Risa meninggal karena tertembak begitu pula orang yang mengajaknya. Sementara itu, Farel dan teman-temannya sedang terkepung dan terpojok. Ia dan temannya akhirnya terpojok dan menyebar bom dan meledak dengan bom tersebut.
Yudha masih berada dirumah sakit karena ia masih belum siuman. Di tempat yang berbeda, jauh dari Indonesia, di kota Osaka Jepang, Yoga sedang duduk termenung memandangi kalung dan sebuah papan catur yang ada dihadapannya. Ia sudah tidak berhasrat main catur lagi, ia menangis. Yudha masih berada di alam bawah sadarnya ketika ia bertemu dengan Farel dan Risa yang tersenyum padanya dan membuatnya sadar dari komanya. Setelah bangun dari sadarnya, ia hanya melihat kerumunan polisi dan suster. Ia sedih dan menangis karena terpisah dengan semua orang yang mencintainya. Keesokan harinya, seorang jenderal polisi yang tidak memiliki anak akhirnya mengangkatnya sebagai anak.
Sepuluh tahun kemudian, Yudha berjalan dijalan sekitar rumah temannya. Disebuah desa yang pernah ia tinggali meski hanya sekejap. Ia berlibur kesana sesudah lulus ujian sekolah. Dia berhenti berjalan dan berdiri disebuah rumah kosong yang sudah rusak. Didepannya terdapat sebatang pohon kamboja yang sudah mulai menua. Beberapa daun dan kuntum bunganya jatuh, berguguran diatas tanah, bau kembangnya tercium, penuh dengan wangi kesedihan yang mendalam. Perlahan rasa rindu itu kembali merasuki hatinya dan menyesaki relung kalbunya yang setelah sekian lamanya hilang. Air matanya meleleh panas dipipinya, ia tinggalkan tempat itu dengan penuh rasa sesak yang tidak dapat ia jelaskan artinya.
Tak lama setelah ia pergi, hanya berselang beberapa detik. Seorang anak laki-laki yang persis dengannya datang. Ia menoleh ke arah jalanan tempat Yudha pergi, ia memegangi kalungnya. Pada saat bersamaan Yudha juga melakukan hal yang sama. Air mata mereka jatuh berguguran seirama dengan gugurnya kuntum-kuntum bunga kamboja yang semakin mewangikan kesedihan dihati mereka berdua, memberikan aroma kerinduan yang menyakitkan dan menyesakkan pada mereka berdua.

To be continue.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar