Senin, 03 November 2014

bisakah dirimu menutup bibirmu?
ya, sekarang juga.

sekarang biarkan aku menyuarakan isi kepalaku.
"aku tidak suka orang yang menikung sahabatnya, apalagi mungkin kau tidak jauh lebih baik darinya,
harusnya kau diam saja dan susrh sahabatmu berubah, bukan mengumbar aibnya apalagi dihadapanku,"

"sudahkah aku bilang padamu, tak perlu kau buatku cemburu dengan kelakuanmu, karena aku sama sekali tidak tertarik untu mencemburuimu, uruslah urusanmu sendiri, jangan ganggu aku, kalau kau memang menganggapku saudarimu anggaplah aku seperti itu saja, karena pantang bagiku melukai hati sesama wanita,

"kau memang tau rahasiaku kau mungkin tahu lebih banyak dari yang kuduga, tapi mulai sekarang aku berharap padamu,.... jangan hubungiku, jangan menjadikanku orang ketiga karena aku lelah menjadi orang ketika diantara hubungan dua manusia, dan biarkan aku menempuh hidup dengan bhagia."


kepada orang yang sekarang menyukaiku,
aku tidak tahu ini swaksangkaku atau memang begitu adanya rupa jiwamu

aku menyadari kau ragawimu sempurna
ku akui itu

aku juga menyadari kau diam meski sebenarnya kau berontak seperti cacing kepanasan
aku menyukaimu,
tapi bukan sebagai seorang wanita normal kpd pria,
melainkan sahabat
belum mampu aku meninggalkan pesakitanku ini
karena aku tahu akan jauh lebih sakit nanti jika aku melangkah.

menggapaimu itu mudah
namun merangkaimu dengan kepribadianku itu nyaris susah
apalagi kau tahu kita belum begitu cocok.

anggaplah aku sebagai temanmu saja, aku tidak mau mengecewakanmu

Jumat, 31 Oktober 2014

my soul

mungkin kau hanya melihatku tertawa lepas, tersenyum sinis dan diam tak berbicara.
tapi, tahukah kau apa artinya?

tentu tidak, aku yakin itu,

kau itu bukan cenayang
bukan pula pemuja setan
bukan pula malaikat yang trun tuk mencatat keseharianku

kau sadar kalau tidak boleh terlalu ikut campur urusanku

ku hargai itu.

aku tertawa utnuk bahagiaku, karena aku sudah lama tidak trtawa
aku diam karena aku lelah berbicara, menjadi pihak yang terluka
itu sakit bukan?

cukup saja kau perhatikanku dan menungguku,
aku tak bisa dipaksa, karena jika kau paksa aku kau yang akan terluka
karena hatiku sekarang masih bukan milikku,
hatiku masih milik orang lain.

entahlah aku tidak perduli,
taruhlah aku sebagai orang yang tak bisa move on,
aku sudah tak perduli
yang jelas biarkan aku berjalan sendiri dulu,
aku tak mau tersakiti lagi, dan lagi


Sulasiyah Agassi

Senin, 27 Oktober 2014

GUGURNYA SEKUNTUM KAMBOJA



“Sonia,” Farel mendekati Sonia yang sedang duduk diatas kursi rodanya, memandangi ikan yang ada didalam kolam ditengah taman rumah sakit. “hari ini belum ada jadwal kemoterapi, jadi kamu minum obatnya dulu...,”
“iya,” Sonia menelan obat pereda nyeri untuk kanker, ia tersenyum pada Farel. Farel membalasnya dengan menyuapinya potongan kecil buah apel yang dia letakkan didalam kotak bekal.

Seorang pria dewasa berudia sekitar empat puluh dua tahunan sedang duduk didalam rumah. Ia beristirahat sejenak sambil memainkan pion catur bersama seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Sesekali ia tersenyum dengan kelakuan anak kecil yang berada disampingnya yang lebih suka menghitung kertas mainan. Ia menghentikan permainan setelah sebuah pesan singkat masuk kedalam handphonenya. Ia segera membereskan perlengkapannya lalu duduk memandangi sebuah foto. Foto Sonia dan dirinya saat masih kuliah dan menemani Sonia yang sedang menjalani pengobatan kanker.
Sudah dua belas tahun dari semuanya Sonia..., sudah dua belas tahun kita menunggu, sekarang kau tiada, mereka memang merencanakan kematianmu Sonia, dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan membuatmu kecewa, aku tidak akan membuat kematianmu berakhir dengan sia-sia. Orang itu memang memiliki kekuasaan penuh dinegeri ini, tapi dia bukan Tuhan..., aku sudah sangat lama menanti hari ini akan datang, meski harus aku korbankan nyawaku, itu tidak apa-apa. Dulu secara, mereka membunuhmu dengan malpraktek. Aku masih ingat ketika mereka mengatakan kalau kau mengalami kegagalan fungsi jantung dan hati karena cancermu sudah menyebar. Setelah dua belas tahun aku menyelidiki semua ini aku baru tahu kalau kau meninggal karena malpraktek. Kau adalah hiduku dan hidup teman-teman kita, mereka membunuhmu hanya karena kau adalah seorang mahasiswi yang hebat dan keluargamu bersih. Mereka akan mendapatkan balasan dari rasa sakit yang kita rasakan selama ini, rasa sakit yang mebuat mereka bahagia.
“Abang..., Abang Farel, Abang mau kemana? Yoga ikut ya?
“iya Abang.... ajak Yudha juga...,”
“kita main ular tangga lagi..., Abang jangan pergi lagi..., jangan tinggalin Yoga sendiri..., Yoga takut dengan preman itu...., Abang jangan pergi...,” Yoga memeluk kedua kaki Farel dan menangis terisak, begitupun dengan saudara kembarnya.
“Abang ada urusan dijakarta, mungkin hanya seminggu saja, minggu depan Abang pasti akan pulang, Yoga..., Abang punya sesuatu buat kamu, nih..., papan monopoli dan gambarnya lihat..., avatar aang, bagus kan? Abang punya sesuatu juga buat kalian, kalung ini... akan menjadi milik kalian berdua, yang satu milik Yudha yang satu milik Yoga,”
“iya... bagus,” ucap Yudha senang
“Abang benar akan pulang kan? Pulang kesini seperti dulu?” Yoga menatap Farel dengan memelas. Farel mengelus kepalanya sambil tersenyum.
“tentu, pasti Abang akan pulang,” Farel tersenyum, setengah memaksakan senyumannya. Meski sebenarnya aku tidak yakin aku bisa pulang atau tidak
“tentu saja..., Abang pasti akan pulang, Abang akan main lagi sama Yoga dan Yudha, sekarang kalian masuk dengan mbak Risa dulu, nanti Yoga dan Yudha bisa main dengan mbak Risa,” belum sempat ia meneruskan ucapannya Yoga dan Yudha memeluk kedua kakinya.
“Abang harus pulang...,”
“iya Abang akan pulang, Abang akan pulang tepat ketika pohon kamboja itu, Abang pergi dulu ya? Assalamualaikum...,”
“waalaikumussalam..., bang Farel harus pulang...,” gumam Yoga lalu masuk kedalam rumah. Risa menoleh kepada Yoga dan meneteskan air matanya. Ia langsung mengajak Yudha masuk kedalam rumah.

Hari ini adalah puncak acara Tour de Java, banyak pembesar negara yang hadir disana termasuk presiden negara indonesia. Para penonton berjubelan dari ujung start sampai ujung finish. Semua berbaur menjadi satu, tua muda, laki-laki perempuan, baik dari luar negeri dan dalam negeri, semuanya menjadi satu. Semua telah sampai difinish, dan para pemenang sedang menerima penghargaan, ditengah-tengah gemuruh tepuk tangan yang meriah terdengar sebuah ledakan dan gemuruh yang sangat dahsyat, melebihi bom di Irak. Sebuah sepeda yang tiba-tiba melintas didepan presiden meledak dan melukai presiden dan sedikitnya membunuh tiga orang dari utusan dubes Amerika Serikat. Tak berhenti disitu, juga terjadi beberapa ledakan medium ditengah-tengah kerumunan massa yang panik. Kejadian itu mengakibatkan sedikitnya tujuh belas orang meninggal dunia, tiga puluh orang kritis dan delapan ratus orang luka berat dan luka ringan.
Sore harinya beberapa tim dari FBI datang membantu proses investigasi dan penangkapan pelaku pengeboman yang mengakibatkan tiga warga negaranya meninggal dunia. Mereka kesulitan melacak pelakunya karena pelaku tidak meninggalkan jejak sama sekali, terlebih lagi tidak terdapat kamera CCTV disekitar rute balap. Mereka masih menemukan jalan buntu dan teka-teki yang tidak beralasan. Mreka belum bisa menjelaskannya, mungkin karena begitu berbeda dengan kejadian bom di Irak beberapa tahun lalu. Sebenarnya pelakunya masih berkeliaran ditengah jalan, pasar dan kampus. Namun mereka tiba-tiba menghilang begitu saja setelah seorang wartawan menemui mereka.
Sementara itu didalam rumah, Risa terdiam melihat berita di televisi. Dia mencemaskan kondisi Farel dan keselamatannya. Ia melirik Yoga dan Yudha yang telah tertidur lelap setelah bermain catur dengannya. Ia memandangi Yoga yang tertidur sambil memeluk papan monopoli yang diberikan Farel padanya. Risa tersenyum getir dan menggigit bibirnya. Dadanya mulai sesak dan air matanya tumpah.
“assalamualaikum, mbak Risa...,” seseorang memanggilnya dari luar.
“iya sebentar, ada apa kang?”
“kita harus pindah sekarang,”

Sepanjang perjalanan Risa terdiam dan hanya memandangi jalanan. Yoga terjaga dan melihat jalanan sambil memeluk papan monopolinya. Disampingnya Yudha masih tertidur lelap sambil memeluk sebuah robot gundam. Yoga terbangun dan teringat dengan pohon kambojanya yang masih belum rela untuk berkembang. Ia mengingatnya sepanjang perjalanan hingga sinar matahari menghilang diujung barat menandakan harikan bergantung dengan kegelapan.
Risa mengingat wajah Farel yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Ia telah menyelamatkan nyawa Risa dari kejahatan oknum penegak hukum yang hendak menjualnya. Ia membayangkan apa yang dilakukan oleh Bang Farel sekarang. Wajahnya yang tampan dengan alis hitam tebalnya, mata bolanya, dan bekas luka yang menghiasi bibirnya. Bekas luka yang ia dapatkan karena menyelamatkan nyawa Risa. Ia ingat ketika pertama kalinya Farel membawa Yoga dan Yudha kerumahnya dengan seorang wartawan kriminal. Kedua anak laki-laki itu, ia gagalkan dari rencana penjualan bayi  keluar negeri, sementara kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia menyayangi Farel, apapun yang terjadi. Ia akan tetap berada dibelakang Farel meski ia tahu kalau jalan yang ditempuh Farel adalah salah.
“kita sudah sampai mbak..,”
“Yoga ayo turun, bangunkan adikmu,”
“iya mbak, adek..., adek Yudha..., bangun..., sudah sampai,”
“sudah sampai ya?” Yudha mengucek-ucek matanya. Tiba-tiba saja beberapa anggota polisi berlari kearah mereka, Risa menoleh dan berteriak pada Yoga.
“lari Yoga..., lari...., Yudha lari....,” mereka berempat berlari. Yoga menggandeng tangan Yudha dan berlari sekencang mungkin. Yudha terjatuh dan polisi semakin dekat. Ia mendekati Yudha dan memaksanya berlari, namun Yudha yang kondisi fisiknya agak lemah langsung terjatuh. Yoga melihat polisi semakin dekat dan ia hendak berlari, namun seseorang langsung membawanya pergi.
“kakaaaaakkk.......,” teriak Yudha
“jangan pergi...,” ucap Yudha lemah lalu pingsan.
“Yudha...., toloooong.....,” Yoga menangis karena ia meninggalkan Yudha yang pingsan disana. Sementara itu Risa meninggal karena tertembak begitu pula orang yang mengajaknya. Sementara itu, Farel dan teman-temannya sedang terkepung dan terpojok. Ia dan temannya akhirnya terpojok dan menyebar bom dan meledak dengan bom tersebut.
Yudha masih berada dirumah sakit karena ia masih belum siuman. Di tempat yang berbeda, jauh dari Indonesia, di kota Osaka Jepang, Yoga sedang duduk termenung memandangi kalung dan sebuah papan catur yang ada dihadapannya. Ia sudah tidak berhasrat main catur lagi, ia menangis. Yudha masih berada di alam bawah sadarnya ketika ia bertemu dengan Farel dan Risa yang tersenyum padanya dan membuatnya sadar dari komanya. Setelah bangun dari sadarnya, ia hanya melihat kerumunan polisi dan suster. Ia sedih dan menangis karena terpisah dengan semua orang yang mencintainya. Keesokan harinya, seorang jenderal polisi yang tidak memiliki anak akhirnya mengangkatnya sebagai anak.
Sepuluh tahun kemudian, Yudha berjalan dijalan sekitar rumah temannya. Disebuah desa yang pernah ia tinggali meski hanya sekejap. Ia berlibur kesana sesudah lulus ujian sekolah. Dia berhenti berjalan dan berdiri disebuah rumah kosong yang sudah rusak. Didepannya terdapat sebatang pohon kamboja yang sudah mulai menua. Beberapa daun dan kuntum bunganya jatuh, berguguran diatas tanah, bau kembangnya tercium, penuh dengan wangi kesedihan yang mendalam. Perlahan rasa rindu itu kembali merasuki hatinya dan menyesaki relung kalbunya yang setelah sekian lamanya hilang. Air matanya meleleh panas dipipinya, ia tinggalkan tempat itu dengan penuh rasa sesak yang tidak dapat ia jelaskan artinya.
Tak lama setelah ia pergi, hanya berselang beberapa detik. Seorang anak laki-laki yang persis dengannya datang. Ia menoleh ke arah jalanan tempat Yudha pergi, ia memegangi kalungnya. Pada saat bersamaan Yudha juga melakukan hal yang sama. Air mata mereka jatuh berguguran seirama dengan gugurnya kuntum-kuntum bunga kamboja yang semakin mewangikan kesedihan dihati mereka berdua, memberikan aroma kerinduan yang menyakitkan dan menyesakkan pada mereka berdua.

To be continue.....

Sabtu, 25 Oktober 2014

LINTANG SAMUDRA



Sudah berapa lamakah waktu kita berjalan dan semakin berkurang? Apakah ada yang menghitungnya? Adakah yang sudah mengira kapan waktu akan segera berakhir? Atau bahkan akan berlangsung tanpa berhenti? Atau bahkan ada yang tidak bisa menghitungnya lagi? Atau apakah lupa?
Sofie sendiri juga sudah lupa, sejak kapan ia berdiri lagi disamping orang yang selalu tidak pernah hilang dari pandangan matanya ini. Seseorang yang sebenarnya hendak ia nafikan penuh keberadaannya dari ingatan dan pandangannya. Sudah lama sekali sejak kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang membuat ia semakin sadar, bahwa orang yang disampingnya ini bukanlah orang yang biasa hidup tenang dan senang seperti mereka. Dan semenjak kejadian itu pula Sofie semakin menyadari sebenarnya dia bukanlah orang yang kuat seperti yang dia berusaha tunjukkan padanya. Dia hanya seorang anak yang rapuh yang butuh kekuatan dari sekitarnya.
Sofie sudah mengenalnya sejak kecil. Bukan hanya karena mereka berdua teman sepermainan. Dan juga bukan karena mereka tetangga sejak kecil. Tapi karena latar belakang kehidupan mereka yang sama, Sofie bisa mengerti bagaimana sebenarnya orang seperti mereka itu. Dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu tunggal, tanpa kehadiran ayah. Keberadaan mereka yang tidak diakui oleh keluarga kandung mereka membuat Sofie mengerti bagaimana rasa sakit yang mereka jalani semasa kecil sampai sekarang ini. Sofie sedikir beruntung karena ibunya memiliki saudara yang masih mengakuinya sebagai keluarga. Meski terkadang secara sembunyi-sembunyi pamannya itu mengunjunginya dan ibunya. Setidaknya Sofie masih merasa beruntung dibandingkan dia. Dia bahkan sejak kecil tidak mengenal keluarganya sama sekali, kecuali ibunya.
Masih terlekat betul dibenak Sofie mengenai kejadian tiga belas tahun silam. Saat itu, Sofie sudah kelas tiga SD dan dia baru saja lulus dari TK. Saat itu Sofie harus ikut dengan Ibunya yang mengajak pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib disana. Sambil membawa sebuah tas ransel sekolah yang sudah ia isi dengan baju, Sofie menghampirinya yang menatap dengan mata yang entah apa isi dan maksudnya. Tapi begitu melihat tatapan matanya Sofie ikut menangis. Rasa sakit yang mereka rasakan bersama dan mereka tanggung bersama. Rasa pedih yang membuat mereka tahu betapa berartinya orang yang ada disekitar mereka. Rasa sakit dan kemarahan yang selalu membuat mereka merindukan orang yang pantas mereka benci namun sekaligus orang yang mereka rindu.
“kak Fie kenapa bawa tas? Kakak mau kemana?” tanya Lintang kecil sambil memeluk sebuah bola plastik. Matanya yang menatap Sofie kecil menatapnya lekat meski tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan Sofie.
“kakak mau berpetualang sama Ibu…, kamu tunggu kakak balik dari berpetualang ya?”
“aku mau ikut…, Lintang takut sendiri…, kalau Mama kerja Lintang sama siapa?” air mata kesedihan pertama yang Sofie lihat dari mata kecil itu membuat ia terenyuh untuk yang pertama kalinya. Rasa sayangnya sebagai kakak dan satu-satunya teman yang ia punya tumpah ruah. Sofie tidak ingat lagi apakah saat itu dirinya memeluk dan ikut menangis. Atau bahkan dia meronta-ronta tidak mau pergi dari sana. Yang jelas saat itu ia merasa kasihan dan merasa bersalah meninggalkannya sendiri.
Sudah lama sejak Sofie dan ibunya, mereka berdua berpetualang di Jakarta. Mereka kembali lagi ke kota kecil tempat kelahirannya. Begitu banyak yang berubah semenjak tiga belas tahun yang lalu. Semenjak ia pindah sampai ia mengajukan dan mendapat surat mutasi kampus untuk kuliah disini. Namun satu hal yang ia tidak lupa adalah lapangan basket tempat ia dulu bermain dengan teman sepermainannya dulu. Anak yang sama dengan dirinya yang bernama Lintang Samudra. Anak yang memiliki tatapan mata yang bisa membuat siapapun menangis jika menatapnya. Apakah ia masih tinggal disini? Apakah ia masih seperti dulu? Ataukah ia sudah lupa pada dirinya ini?
Sofie berjalan menuju gerbang kompleks perumahan untuk mengambil beberapa kardus yang berisi buku-buku kuliahnya. Ia memainkan handphonenya dan memasang perangkat headset ketelinganya. Ia berjalan dan berpapasan dengan seorang remaja pria yang berjalan memasuki gerbang kompleks perumahan. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. Remaja itu juga menoleh padanya sambil mengulas senyuman tipis padanya. Ia seperti mengenal senyuman itu, tapi siapa? Apakah orang yang ia kenal? Tapi siapa? Padahal ia berharap kalau tadi itu adalah Lintang.
“dia mungkin sudah pindah…,” Sofie mengangkat dua kardus langsung dan menaikannya keatas sepeda mini bututnya. Sepanjang jalan ia masih dipusingkan dengan agendanya besok.
Sofie berdiri ditengah-tengah para mahasiswa baru yang terdaftar di kampus tempat ia kuliah sekarang ini. Sebenarnya ia bukan mahasiswa baru kan? Tapi karena kebijakan kampusnya yang baru menyuruhnya untuk ikut OSPEK kembali. Sebenarnya dia tidak ingin ikut kalau saja bukan karena desakan ibunya dan desakan pamannya yang dengan cerewet dan rajinnya menyuruhnya untuk mengikuti OSPEK kembali. Dia sebenarnya terkejut karena OSPEK yang diadakan disini berbeda dengan OSPEK tempat ia kuliah dulu. Kalau dulu ia sering di hajar seniornya. Kini para senior di kampus malah mengajak para Maba untuk bergila ria. Ya…, paling tidak bisa membuatnya tidak stress untuk hari ini.
OSPEK sudah selesai beberapa jam yang lalu. Dan sekarang waktunya mereka pulang kerumah masing-masing. Semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan OSPEK pulang naik kendaraan yang sudah disiapkan oleh panitia, yaitu truk. Sofie tersenyum dan hampir saja tertawa ngakak, jika saja ia tidak sadar kalau ia berada ditengah-tengah mahasiswi yang berada dalam lingkup pondok pesantren. Sepanjang hidupnya baru kali ini dia naik truk. Padahal selama di Jakarta dia selalu naik monorel, kereta api atau mentok naik busway. Dia sudah memperhatikan kursi yang dijadikan tumpuan naik truk. Tiba-tiba sebuah tepukan keras mendarat di pundak kanannya. Ia menoleh.
“Sofiana Dewi kan?” tanya seorang remaja pria padanya sambil menampakkan senyuman padanya. Ia memandanginya dengan seksama. Ia memang pernah melihatnya sekilas didepan gerbang perumahan. Tapi apa dia mengenalnya?
“ya, tapi…, apa kita saling kenal?” tanya Sofie. Orang itu tersenyum kembali padanya dan membuka mulutnya. Belum lagi remaja itu menjawabnya, suara seorang panitia OSPEK yang lain menyuruh mereka untuk segera naik kedalam Truk. Itu adalah suara Galang, si anak Ekonomi Koperasi yang sejak OSPEK selalu saja mencari muka dihadapannya. Dan kalau tidak salah dia juga bilang akan sekelas dengannya nanti. Ah yang benar saja?!
“cepetan naik …, eh, kamu kenapa didepan bak truk? Apa kamu gak ikut naik sepeda motor?” tanya Galang pada remaja yang berdiri didepan Sofie.
“iya…, aku naik ini aja…,” jawabnya dengan enteng sambil melambaikan tangannya tanpa beban kepada bak truk yang ada disebelahnya. Mendengarnya, Sofie membulatkan kedua bola matanya yang memang sudah bulat.
“itukan truk buat anak perempuan?” Neci, panitia cewek yang sejak kemarin selalu mengusilinya tiba-tiba nongol begitu saja dari belakang Galang.
“ya emangnya kenapa? Bukannya kamu sama Windi? Lagipula truk buat cowok juga sudah terlalu overcapasity, mending aku disini aja,” jawab Lintang dengan mudah.
Ia dan Galang hampir saja memelototkan matanya kalau saja Sofie dan beberapa mahasiswi yang ada disekitar sana tidak memperhatikan mereka. Sofie memang melihat beberapa tanda-tanda tidak suka yang ditampakkan dari wajah Galang ke anak yang ada dihadapannya ini. Dan mungkin karena itu juga dia memilih untuk tidak ada didepan Galang. Tapi mungkin saja ada alasan lain selain mereka berdua. Orang ini memandangi seseorang yang tiba-tiba mendekati Neci dengan pandangan tajam.
“Ci…, ayo pulang,” seorang mahasiswa berbadan tegap dan tampan, memakai kaos lengan panjang berwarna hitam berjalan mendekati Neci. Ia dan Neci kemudian pulang dari tempat OSPEK mengendarai sebuah sepeda motor sport merek Ninja Ducati.
“jadi naik mana?” tanya Galang.
“aku bener mau naik ini…, lagipula…, aku mau berbicara panjang lebar sama kakak aku ini…, ayo naik…,” anak ini tiba-tiba menggelandang tangan Sofie untuk diajaknya naik keatas bak truk. Tangan yang memegangnya tadi bergetar. Wajah anak inipun berubah drastis, dengan wajah yang menegang dan berwarna merah. Sofie kembali berusaha berkonsentrasi mengingat siapa dia ini. Sofie masih belum bisa mengenali siapa yang sekarang ada didepannya ini. Sudah lama ia tidak kemari, dan siapa orang yang ada dihadapannya sekarang ini. Dia ini bukannya panitia non-pengurus OMIK yang selalu dikejar-kejar mahasiswi baru selama OSPEK berlangsung? Sebenarnya dia ini siapa? Kenapa malah menjadikannya alasan untuk tidak berkumpul dengan panitia OSPEK yang lain?
“masih belum bisa mengenali aku ini siapa?” tanyanya sambil tersenyum. Mereka berdua duduk dibak truk tersebut sambil saling berhadapan. Sesekali ekor mata anak itu melirik ke beberapa mahasiswi yang memandangi Sofie dan dirinya dengan penuh rasa curiga. Sementara Sofie sama sekali tidak menyadari jika beberapa mahasiswi yang satu truk dengan mereka memandang fokus ke arah mereka berdua. Dia tetap saja fokus mengingat siapa orang yang berada didepannya sekarang ini.
“siapa ya? Sumpah…, Aku bener-bener tidak kenal…,” jawab Sofie dengan sepolos-polosnya.
“hemmm lagian udah tiga belas tahun sih kamu enggak balik-balik, katanya berpetualang sama mama aja, padahal kamu pindah ke Jakarta selama tiga belas tahun, dan dengan teganya tanpa kasih tahu dan tanpa kasih kabar kamu pergi gitu aja…, dan biarin aku sendirian disini selama tiga belas tahun menunggu kepulangan kamu dari berpetualang, tega kamu, bener-bener tega tau nggak‼” ucapnya dengan mulut manyun.
“pe-tu-ala-ngan???” mendengar kata petualangan terasa tertohok perasaan Sofie. Ia memandangi orang yang ada dihadapannya ini dengan seksama. Betapa jauh berbedanya dari dulu saat ia pergi. Anak kecil dengan tatapan mata sedih itu sudah menjelma menjadi seorang remaja pria yang disebut anak kuliahan. Dimana tatapan mata sedih itu? Dimana anak kecil yang selalu  membawa bola plastik sambil menangis meminta ditemani untuk bermain basket. Siapa orang berwajah tampan yang ada dihadapannya sekarang ini? Apa benar dia Lintang Samudra? Kenapa bisa berbeda sekali? Apa benar ini dia? Benarkah? Kenapa berbeda sekali?
Petualangan…, jangan-jangan kamu…, kamu…,” sedemikian rupa ia berusaha mengingat wajah orang yang selama tiga belas tahun ia tinggalkan dulu. Dan hanya sebuah nama yang tiba-tiba terlintas begitu saja dibenaknya.
“Lintang?! Lintang Samudra?! Bener gak sih kalau kamu ini Lintang?” yang ditebak namanya langsung tersenyum lebar. Wajah Sofie langsung berseri-seri begitu ia memastikan orang yang sedang ada didepannya ini. Tak terkecuali dengan Lintang yang sudah bergitu lama tidak bertemu dengan teman sepermainannya dulu, Sofie. Mereka berdua langsung mengarahkan kedua telapak tangan mereka ke telapak tangan lainnya sambil tertawa lebar dan berlonjak-lonjak karena gembira, seperti masa kecil mereka dulu. Semua mahasiswi yang ada didalam truk, melihat mereka berdua melongo. Mereka berdua baru sadar setelah lama tertawa dan memperhatikan sekitarnya.
“sorri-sorri…, soalnya aku kalau udah lama enggak ketemu sama orang pasti gini…,” ujar Sofie sambil tersenyum.
“sorri, sorri banget…,” Sofie tersenyum kembali, begitu juga dengan Lintang yang mengulas senyuman bahagia dikedua bibirnya. Senyuman yang sudah tiga belas tahun tidak pernah Sofie lihat.
“aku pikir kamu enggak balik lagi kesini Fie…,”
“aku pikir juga gitu…, soalnya aku udah sempet kuliah disana dapat dua semester lagi…, eh kenapa kamu tidak panggil aku kakak lagi? Enggak sopan tahu‼,”
“suka-suka aku, lagian kitakan bakal jadi satu angkatan…, lagian emangnya kenapa? enggak boleh? Lah terus kenapa kamu pindah disini? Di Universitas yang di pusat kota kan bisa? Kenapa malah ke pinggir kota? Hayo…,” tanya Lintang sambil membuka pesan yang masuk di hapenya sementara Sofie menjawab pertanyaan dari Lintang tadi.
ya bisalah, lagian masalah buat kamu? Lagipula akukan dapat surat mutasi dari kampusku yang lama, hayo… SMS dari siapa tuh? Pacar kamu ya? Cie-cie, hayo ngaku sama aku…,”
“bukan cuma temen deket aja kok! Anak cewek yang tadi…, Oh ya kenapa kemarin enggak nyapa aku? Sombong banget kamu…, mentang-mentang anak jakarta pulang sombong banget kamu...,”
“maaf…, kan aku udah bilang kalau aku minta maaf…, aku kan enggak mengenali wajah adek kecil aku yang imut-imut ini…,” jawab Sofie sambil mengacak-acak rambut Lintang.
“jangan perlakukan aku kayak anak kecil lagi…, bosen aku…,”
“yah…, gimana lagi…, soalnya kamu kayak anak kecil sih…,” oh…, anak yang tadi? Neci itu? Apa mungkin dia temen spesialnya dia ya? Lalu mahasiswa tadi itu siapa? Kenapa dia langsung marah seperti tadi? Sebenarnya kenapa dia berubah saat orang itu datang?
Sofie berusaha menetralkan pikirannya dan sebisa mungkin ia melupakan insiden yang barusan. Mereka berdua tertawa bersama. Berusaha melebur rasa rindu yang sudah bertumpuk selama tiga belas tahun ini. Rasa rindu yang terakumulasi dengan rasa sayang dan rasa penderitaan yang sama dan sejenis, yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Mereka membiarkan puluhan pasang mata mahasiswi yang satu truk dengan mereka yang sedari tadi memperhatikan mereka tanpa berkedip sama sekali. Yang pasti sekarang ini mereka telah kembali menjadi sahabat sepermainan seperti dulu.
Baru-baru ini Sofie juga mengetahui kalau sahabat masa kecilnya ini membuka sebuah toko olahraga kecil-kecilan. Dan mungkin dari sana pula, Lintang bisa menyambung hidupnya dengan Mamanya yang sejak dulu membuka sebuah toko baju kecil-kecilan. Toko baju yang dulu menjadi langganan mamanya untuk membelikannya baju ulang tahun. Ia tersenyum melihat Lintang yang jauh berbeda dari dulu. Lintang kecil yang cengeng dan rapuh sudah menjelma menjadi Lintang dewasa yang tegar dan kuat serta mandiri. Ia sendiri memandangi dirinya yang sedang memakai seragam toko mamanya yang menjual berbagai baju dan aksesoris. Ia dan mamanya berusaha mendirikan usaha kecil di pasar tradisional di sekitaran sana. Ia dan mamanya ingin berdiri sendiri tanpa bantuan pamannya. Karena jika pamannya membantu pasti kakeknya akan selalu mengungkit semua itu.
“DOR‼‼ ngelamun aja! Ngelamunin apaan sih? Aku ya?” tiba-tiba Lintang berada disampingnya yang sedang duduk dilapangan basket. Dia baru saja selesai olahraga ringan, terlihat dari kostum yang ia pakai sebuah kaos lengan panjang dan celana olahraga adidas panjang serta sebuah hijab yang baru-baru ini ia pakai untuk menutup auratnya.
“wheeiiiisss, keren pake hijab…., gitu dong…, masak rambut dibiarin kepanasan…, kasian tau!” ucap Lintang sambil memainkan bola basket yang ia bawa. Ia kemudian duduk disamping Sofie.
“udah lama ya kita enggak main disini…, terakhir main sama kamu…, aku masih belum bisa melakukan three point shoot ke sana…,” kata Lintang sambil menunjuk ke arah ring basket. Sofie tersenyum lalu berdiri dan merebut bola yang sedang dimainkan oleh Lintang.
“gimana kalo kita main lagi…,” kata Sofie sambil mendrible bola basket yang ada ditangannya.
“entar kalo kamu kalah gimana? Kan sekarang tinggian aku daripada kamu…,” mereka berdua kemudian bermain basket berdua. Bernostalgia dengan kenangan mereka masa kecil dulu. Kenangan yang entah kenapa masih belum bisa dia lupakan. Walaupun sudah tiga belas tahun berlalu, walau semua sudah berubah. Walaupun semua sudah hilang dan berbeda. Entah kenapa semua terasa susah untuknya lupa. Meski ia di Jakarta sudah punya dunia yang baru. Entah kenapa dunianya yang disini selalu egois dan meminta dirinya untuk selalu ingat. Bahkan sekecil apapun itu. Pada saat yang sama sebuah mobil avanza putih melaju disisi jalan yang berada disekitar lapangan basket. Mobil berplat B560AC itu berhenti didepan sebuah rumah yang baru saja direnovasi oleh pemiliknya yang baru. Entah tidak jelas siapa pemilik rumah itu.
Siang hari saat jam kuliah mulai ‘goblok’, tepat saat mata kuliah Akuntansi Keuangan sedang berlangsung. Seorang mahasiswi dengan sepatu pentoheels berwarna hitam berlari-lari memasuki kelas dimana Lintang sedang mengikuti jalannya perkuliahan. Kebetulan waktu itu Sofie yang sedang sit-in karena kelasnya kosong juga duduk disebelah Lintang. Dia sedang memberikan beberapa pengertian kepada Lintang mengenai mata kuliah hari ini. Tiba-tiba saja pintu ruangan kelas terbuka. Seorang mahasiswi datang dengan napas memburu dan keringat bercucuran disekitar wajahnya. Ia belum pernah sama sekali melihat wajah mahasiswi itu. Dari tampilannya, sepertinya dia anak yang bukan berasal dari pinggiran kota. Dia malah terlihat seperti seorang model hijabers yang sedang roadshow kemari. Dia sangat borjuis. Siapa orang ini.
“sst.., siapa dia?” tanya Lintang sambil setengah berbisik. Sofie cuma mengangkat kedua bahunya. Mereka berdua kemudian memperhatikan
“maaf pak saya terlambat…, tadi saya kesasar ke semester tujuh…, maaf pak…,”
“ya tidak apa-apa silahkan duduk,”
“terima kasih pak…,” mahasiswi baru itu duduk tepat dibangku kosong yang berada disebelah Lintang. Sekilas Sofie melihat ada yang tersembunyi dari mahasiswi itu. Tatapan matanya memang terlihat bersahabat dan sangat teduh. Tapi sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua itu. Tapi apakah benar itu semua? Atau apakah karena ia hanya tidak suka pada mahasiswi baru ini karena duduk disebelah Lintang. Bukannya selama ini dia sudah dianggap sebagai adik dan kakak?
“hai…, boleh kenalan?” mahasiswi baru ini mengulurkan tangannya pada Lintang. Lintang tersenyum dan menolak dengan halus uluran tangan tersebut.
“sorri sebelumnya, namaku Lintang…, kamu?”
“oh…, seharusnya aku yang minta maaf…, aku Cassandra Cassanova, aku pindahan dari suarabaya, kalau kamu?” tanya Cassndra, si Mahasiswi baru yang terlambat tadi sambil mengulurkan tangan pada Sofie. Sofie yang sejak tadi memperhatikannya terkejut.
“aku Sofie…,” jawab Sofie sambil menyalami uluran tangan dari Cassandra.
“kamu juga sekelas dengan Lintang?” tanya Cassandra sambil berjalan keluar dari kelas. Ia mengikuti Sofie yang tadi bilang ingin ke perpustakaan.
“enggak…, aku tadi sit-in aja…, aku di kelas sebelah, cuman karena kelasku kosong dan aku harus mengejar mata kuliah yang tadi ya…, aku harus sit-in dikelasnya dia…,”

 “Lintang..., Lintang tunggu..., tunggu sebentar,”Sofie berlari mengejar Lintang yang sudah berjalan mendahuluinya.
“ada apa Fie?” tanya Lintang yang sudah membalikkan wajahnya ke arah Sofie.
“nih buku catatan kamu dan Al Qur’an terjemahan kamu…, ketinggalan  dirumah aku pas kemarin sebelum setor makalah dan hafalan ke Bu Mira....,” Sofie memberikan sebuah buku kecil berwarna cokelat kepada Lintang dan sebuah Al Qur’an terjemahan berwarna kuning emas.
“ya Allah..., syukron ya...., aku kira buku ini udah hilang..., kalau hilang... wah aku udah nggak bisa ngapain lagi,” jawabnya sambil memasukkan buku dan Al Qur’an itu kedalam tasnya.
“aku masih belum tau lho…, mengenai alasan kenapa kamu pindah kuliah? Hm.... kamu pasti gak bisa jauh dari aku kan? Ngaku deh kamu,” Lintang mulai menggoda kawan kecilnya yang sejak dulu selalu bersama dengannya, tapi sesudah dia lulus TK malah ditinggalkan.
“kumat lagi narsisnya.....dasar narsis!! Udah udah aku mau masuk kelas, padahal dulu kamu itukan tidak suka kalau narsis…, dan juga kamu itukan suka menatap orang dengan mata yang bisa membuat orang nangis…, kenapa malah jadi narsis sih?” Sofie mendahuluinya. Dia mengikuti Sofie sambil tersenyum.
“biarin... emangnya kenapa enggak boleh? Lagipula sekarang ini aku kan tampan... imut, baik hati, dan tidak sombong rajin menabung lagi ,wajarlah kalau aku sedikit, ehem narsis...., dan juga dengan wajahku yang tampan nan imut seperti ini siapa yang tidak suka sama aku? kamu juga iya kan? Iya kan iya kan?”
“ihhhhh.... eh!!!! inget dong... aku ini lebih tua tiga tahun dari kamu....!!!,”
“biarin.... akukan lebih suka cewek yang lebih tua dari aku...., kan yang ada dihatiku cuman kamu,” kemudian dia menunjuk dada kanannya dengan telunjuk kirinya lalu menjulurkan lidahnya dan setelah itu dia pergi.
“ih!!! Dasar.... Lintang....,” Sofie berlari lalu mendorong tasnya Lintang, dan Lintang hanya tertawa dan tidak mengelak sama sekali. Sudah lama sekali. Sangat lama mereka tidak tertawa bersama. Sudah lebih dari satu dekade dan dia berubah menjadi seseorang yang seperti ini.
“hai Lintang,” Cassandra datang dari pintu gerbang dan berjalan mendahului mereka berdua. Baru sepuluh langkah dari mereka berdua, dia berhenti dan berjalan mendekati Lintang. Sofie melihatnya, ia kembali merasakan aura yang begitu gelap yang menyelimuti wajah hangat Cassandra.
“makasih ya, buat materi perkuliahan yang kamu kasih…, itu sangat berguna banget buat aku, oh ya ini flashdisk kamu…, makasih ya dan maaf karena baru bisa ngembaliin sekarang,” ucap Cassandra sambil menyerahkan sebuah flashbisk merek Toshiba berwarna hitam berkapasitas 16 gigabytes.
“it’s okay, aku seneng kalo bisa bantu sesama temen,”
“aku ke kelas dulu ya, Lintang, Sofie,” ucap Cassandra sambil berjalan meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri diujung lantai lorong kelas.
“Lintang,” sebuah suara mahasiswi terdengar ditelinga mereka berdua. Mereka langsung menoleh. Mata mereka berdua tertuju pada seorang mahasiswi yang sangat cantik sekali. Mahasiswi sejurusan dengan mereka berdua, yang seangkatan pula dengan mereka berdua dan juga panitia OSPEK dan jugaseorang model sekaligus presenter beberapa acara offair dan radio. Neci, primadona kampus datang dengan tampilan yang berbeda. Semenjak Lintang kenal dan dekat dengan Sofie, dia sepertinya merubah dandanannya menjadi jauh lebih keren dan modis serta lebih feminim dari yang dulu. Dan hal itupula yang membuat Lintang semakin terpesona dengan wajah cantik sang primadona. Dia tersenyum pada mereka berdua dengan senyuman manis. Lintang bahkan cuma sanggup berdiri dan terdiam mematung dihadapan Neci.
“well, aku harus masuk ke kelas karena tiga menit lagi kelas aku akan dimulai,” Sofie langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Ia tahu tidak baik menjadi pengganggu orang yang sedang kasmaran. Apalagi dia adalah orang yang dia anggap sebagai adiknya. Adik yang sudah tiga belas tahun ini dia tinggalkan begitu saja ke Jakarta.
“Lintang…., aku belum bisa nyelesain tugasnya ke Bu Mira, bantuin aku ya buat ngomong sama Bu Mira? Kan kamu mahasiswa kesayangan dia,” ucap gadis itu dengan manja. Sofie yang mendengarnya mendengus kesal. Berulang kali ia melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri mengenai permintaan konyol nan menakutkan dari primadona kampus ini. Bayangkan saja Bu Mira, dosen paling killer yang pernah memberi Lintang yang nilainya semua A+ menjadi B.
“emh… gimana ya soalnya…, aku…, aduh gimana ya?” Lintang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil sesekali melihat ke arah Sofie yang berjalan pergi meninggalkan dirinya.
“bisa kan? Pliiss…, aku tau kalau kamu abis kena marah Bu Mira…, tapi aku cuman minta tolong bantu minta dispensasi aja…, itu juga sama aku kok…, ya? Pliiisss…, kalo enggak semester ini aku enggak dapat nilai dari Bu Mira…,” kata Neci sambil mengatupkan kedua telapak tangannya didepan wajah imutnya. Ia benar-benar memohon pada Lintang.
“gimana ya? Ya udah deh aku usahain…, tapi kalau enggak boleh ya mungkin aku akan bantuin buat papernya aja…, kamu boleh kok minta data kuliah atau e-book dari aku…, em…, buat plan B gitu…,” kata Lintang sambil tersenyum tipis. Sebenarnya ia sendiri juga sudah bisa menduga kalau nanti permintaan ini tidak akan dikabulkan oleh Bu Mira. Ia sudah kenal betul dengan Bu Mira. Meski ia pernah membantu beliau dalam mengoreksi kuis beberapa minggu yang lalu, tetap saja ia mendapatkan sanksi yang cukup berat karena terlambat masuk kuliah. Dan cuman karena itu, nilainya yang seharusnya adalah A+ menjadi B. Hal yang sangat memalukan baginya.
“thanks ya…, makasih…, aku ke kelas aku dulu ya?” Neci berlari menuju kelasnya yang terletak agak jauh dari kelasnya Lintang maupun kelasnya Sofie. Lintang masih berdiri, bingung.
“dasar Neci‼ memangnya Lintang siapa?! Superman? Apa dia enggak tau Bu Mira kan pernah menskors Lintang dari perkuliahan selama dua kali pertemuan mata kuliahnya cuma gara-gara terlambat masuk kuliah…, apalagi bantuin kamu buat tugas atau minta dispensasi waktu, bisa habis Lintang entar,” gumamnya sambil berjalan menuju kelas. Sofie langsung masuk kedalam kelasnya dan duduk dibangku yang masih kosong. Dia melihat sekelilingnya dan tersenyum saat seorang mahasiswa yang duduk di ujung bangku depan berbalik memandangnya dan tersenyum padanya. Dia adalah panitia OSPEK dulu, namanya Galang.
“Sofie, tumben baru berangkat? Kok enggak barengan sama adek kamu?” tanya Galang
“heem,” Sofie terdiam dan memandangi jendela. Disana ada lintang yang sedang bermuka bingung karena Neci, mahasiswi yang ia sukai sejak OSPEK angkatannya dulu sekarang merajuk minta dibantu. Dia menyadari tatapan mata Sofie yang menuju padanya. Tapi apa daya dia tetap hopeless. Sofiepun tidak bisa membantunya, atau mau mendapat skorsing dari Bu Mira.
“emang lagi mikirin apa sih? Kok seperti bingung banget?” tanya Galang pada Sofie.
“enggak…, enggak mikirin apa-apa kok…, emang ada apa?” Sofie balik bertanya
“nggak ada apa-apa, cuman aneh aja…,” kata Galang sembari mengalihkan matanya dan pandangannya menuju buku ekonomi perbankan yang sedang ia buka.
“nggak ada yang aneh tuh…, mungkin kamu aja yang ngerasa aneh, lagian meski ada apa-apa sama aku…, ya apa aku bakalan kasih tau kamu?” ucap Sofie sambil mengambil sebuah kertas presentasi yang diberikan oleh temannya kemarin, karena hari ini temannya itu akan presentasi. Ia menghiraukan Galang dan memilih untuk terus memperlajari paper itu. Sebagai orang yang sudah berusia lebih dari duapuluh tahun, Sofie sudah paham betul. Apa yang diungkapkan oleh Galang tadi bukan cuma kalimat yang biasa. Kalimat itu adalah ungkapan rasa cemburunya karena selama ini dia selalu bersama dengan Lintang.
Sofie keluar dari kelasnya setelah mata kuliahnya selesai dan berjalan menuju perpustakaan. Langkahnya gontai berjalan dengan malas. Semenjak melihat kejadian tadi pagi saat melihat Lintang yang dimintai tolong oleh Neci, ia menjadi malas mendengarkan kuliah dari dosennya. Apalagi ditambah dengan Galang yang selalu saja ingin tahu dan berusaha ikut campur mengenai masalah pribadinya. Dan juga mahasiswi baru yang sejak beberapa hari ini selalu saja berusaha mendekati Lintang. Ia tahu dengan kesadaran penuhnya sebagai seorang yang waras. Ia tidak berhak melarang Lintang bergaul dengan siapa saja. Karena ia bukanlah orang yang berada dalam kapasitas tersebut. Terlebih lagi ia juga tidak berhak mencegah Lintang untuk berhubungan dengan wanita manapun. Karena dia cuma temannya saja dan tidak boleh melakukan hal tersebut.
“kamu Sofie? Temannya Lintang kan?” Neci yang berada dibalik rak buku ekonomi makro menghamprinya sambil membawa sebuah buku karangan Yusuf Qardhawi. Ia memandangi Sofie dengan pandangan yang penuh dengan rasa tidak suka yang begitu besar. Pandangan yang Sofie sudah rasakan semenjak OSPEK berlangsung. Pandangan yang selalu ia sembunyikan jika didepan Lintang.
“memangnya kenapa? Kenapa tidak kamu bilang saja didepan Lintang? Kenapa harus sembunyi seperti ini, pengecut kamu Ci! Aku udah tau apa yang mau kamu bilang…, kamu pasti nyuruh aku untuk menjauhi Lintangkan? Iya kan?” Sofie langsung begitu saja mengucapkan apa yang selama beberapa detik langsung mengerubunginya. Neci tersenyum dan menggerakkan bibirnya untuk berbicara.
“baguslah kalau kamu sadar…, aku enggak akan susah-susah untuk menyadarkan kamu untuk jauh dari Lintang…, karena bagaimanapun dia itu cuma tertarik sama aku, dan kamu itu cuma dianggap sebagai kakaknya aja…, jadi kamu tidak usah kege-eran ya? Dan aku rasa kamu juga sudah sadar akan hal itu…,” kata Neci sambil berjalan dari rak buku tersebut. Mereka berdua sedang saling memunggungi satu sama lain. Sofie tersenyum dan menggerakkan bibirnya kembali.
“aku heran kenapa seorang Neci mengatakan hal itu sama seseorang yang tidak selevel dengannya, apa kamu takut kalau Lintang aku ambil dari kamu? Kamu takutkan? Dan karena itu kamu mengatakan hal ini kan? Oke… aku tau kalau dia tertarik sama kamu, tapi ya apa kalian itu berjodoh? Kamu sendiri juga tidak tahu akan hal itukan?” Sofie tersenyum dan membalikkan badannya menatap Neci yang juga sedang memandangnya.
“apa maksudmu?” tanya Neci
“seharusnya kamu harus lebih tau apa isi hati Lintang jika kamu memang menyukai dia dengan tulus, dan apa kamu pernah berpikir ketika kamu bersama orang lain apa yang dia rasakan?” mendengar kalimat yang diucapkan oleh Sofie, Neci terdiam tidak mengeluarkan sepatah kalimatpun. Melihat Neci yang terdiam, Sofie langsung pergi begitu saja. Dia berjalan rak buku Ekonomi Bisnis. Ia berpapasan dengan seorang mahasiswi yang satu kelas dengan Lintang. Mahasiswi yang datang terlambat dan salah masuk di semester tujuh. Mahasiswi yang datang dengan napas memburu dan keringat yang memenuhi wajahnya dan melunturkan bedak tipis yang menghiasi wajahnya.
Gadis yang ternyata sangat ramah namun terkadang pendiam, tatapannya terkadang dingin namun kadang juga hangat dengan sendirinya. Dia jarang sekali berbicara dengan mahasiswa yang lain. Sepanjang yang dia ketahui, mahasiswi ini lebih sering menghabiskan waktu diperpustakaan. Dan baru kali ini semenjak ia sit-ini dikelasnya Lintang, untuk pertama kalinya ia berpapasan sendiri dengan mahasiswi ini. Dia berjalan dengan hening menuju pegawai perpustakaan yang sedang serius membenahi katalog elektrik perpustakaan. Ia menyerahkan setumpuk buku tebal yang ada ditangannya. Sofie terus saja memandanginya dengan seksama dari balik rak buku.
Lintang yang juga berada didalam perpustakaan memandangi Sofie yang sedang serius memandangi mahasiswi yang ada disamping pintu tersebut. Ia memasuki perpustakaan sesudah selesai kena semprot untuk beberapa kalinya karena permintaan dari Neci. Sejenak ia memperhatikan mata Sofie yang sejak tadi fokus mengarah pada Cassandra. Sofie melihat ekor mata gadis itu yang mengarah pada lintang. Ia baru sadar kalau ternyata Lintang ada didalam perpustakaan juga. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari Lintang kembali. Lintang sudah menghilang dari pandangannya. Dan tiba-tiba saja ia sudah ada didepan Sofie yang sedang bingung mencarinya. Lintang berdiri didepannya, dan dengan tatapan seperti anak kecil ia mengagetkan Sofie sambil mengibaskan telapak tangannya didepan wajah Sofie. Sayup-sayup mereka berdua mendengar beberapa mahasiswi yang bergosip ria.
“siapa sih dia...., cantik sih…, tapi sinis banget..., siapa sih dia sebenarnya?” tanya mahasiswi yang berada diperpustakaan.
“dia? Tau siapa…, enggak jelas darimana dia datangnya…, ,” gumam mahasiswi yang lain.
“bukannya dia itu pengurus BEM FEB?” seorang mahasiswi datang lagi.
“iya… dia emang pengurus BEM FEB, dia mahasiswi baru dan sudah menjadi pengurus BEM fakultas, dan juga prestasinya udah enggak bisa diraguin lagi…, dan juga dia itu salah satu mahasiswi yang sangat diprioritaskan oleh kampus,” seorang mahasiswa yang juga merupakan pengurus HMJ BK datang menengahi gosipan mereka. Dia datang untuk meminjam beberapa buku yang akan dia gunakan untuk menjadi bahannya menulis skripsi. Namanya Sandhi Wirya seorang mahasiswa Bimbingan konseling yang baru menginjak semester lima dan satu-satunya mahasiswa semester lima sudah mengajukan proposal skripsi pada doden pembimbingnya.
“Lintang…, tumben di perpus…,?” Sandhi menghampiri mereka berdua sambil membawa setumpuk buku. Lintang tersenyum dan menjawabnya dengan ringan.
“yah…, lagi pengen membaca buku, kapan sidang?” tanya Lintang
“sebulan lagi,” jawab Sandhi. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang Sofie lihat saat OSPEK beberapa bulan yang lalu datang ke perpustakaan. Dia menghampiri mereka bertiga sambil tersenyum.
“Lin…, bagaimana jersey yang aku pesan kemarin?” tanyanya sambil tersenyum
“oh…, masih dikerjakan, seminggu lagi bisa diambil sesuai dengan kontrak, aku mau ke kantin dulu, entar kalau sudah jadi aku akan telpon,” suara Lintang seperti terhambat ditenggorokannya. Ia kemudian mengambil tasnya dan langsung pergi begitu saja dari hadapan Sofie dan Sandhi.
“hai…, kamu temannya Lintang ya?” tanya mahasiswa itu.
“ya, Sofie…,” Sofie memperkenalkan dirinya. Dia memandangi pintu perpustakaan, dan Lintang sudah keluar lewat sana.
“aku Zayn, sepupunya Sandhi…, kamu pengurus BEM FEB juga kan?” tanya Zayn pada Sofie
“ya, emang kenapa kak?” tanya Sofie
“enggak ada apa-apa…,”
“aku masih ada kelas duluan ya kak…,” Sofie langsung berjalan pergi dari perpustakaan. Ia hanya meminjam tiga eksemplar buku untuk bahan tugas akhir semester. Setelah dari perpustakaan ia berlari mencari Lintang yang katanya pergi ke kantin.
Suasana didalam kantin benar-benar penuh dengan keramaian. Anak-anak dari Fakultas Ekonomi Bisnis sedang banyak yang berdiskusi dan hang out dikantin kampus. Hampir tidak ada tempat duduk untuk bagian dalam. Ini merupakan satu keajaiban yang hanya terjadi ketika para mahasiswa semester akhir menyelesaikan skripsi. Untung saja ada kantin outdoor yang membuat dirinya dan Lintang tenang sambil menikmati makanan yang mereka pesan. Sofie memandangi Lintang sambil berusaha mencerna apa alasan Lintang seperti tadi. Kenapa ekspresi dan wajahnya berubah begitu saja saat mendengar nama Zayn. Ini bukan untuk yang pertama kalinya. Semenjak ia mendengar Zayn Hasan, anak semester tujuh FEB yang sebentar lagi lulus ini jadian dengan Neci, dia menjadi sering seperti ini. Tapi sepertinya bukan semenjak itu saja. Tapi entah sejak kapan persisnya ia tidak tahu sama sekali.
“oh ya…, emangnya bener ya Fie kalau Cassandra pindahan dari Surabaya?” tanya Lintang sambil memasukkan mie ayam kedalam mulutnya. Mendengar pertanyaan dari Lintang, Sofie mengurungkan niatnya. Terlebih lagi mendengar suaranya yang masih terdengar sangat serak ini. Tapi yang lebih mengejutkan adalah kenapa Lintang bertanya mengenai Cassandra? Kenapa bukan mengenai Zayn Hasan atau Neci? Gadis beraura gelap itu, kenapa jika bersama dengan Lintang begitu berbeda dari biasanya? Lintang juga begitu tampak senang jika bersama dengannya
“ya..., namanya itukan Casandra Cassanova ya..., aneh ya namanya? Kayak bukan nama islami aja…, tunggu-tunggu‼ dia itu..., bukannya sekelas sama kamu? Iya kan? Gimana bisa kamu enggak tau sih soal dia? Kamu kuliah atau apa sih?”
“oh ya?! Masalahnya itu aku lupa? Eh...  yang bener itu aku enggak tahu....,” ucap Lintang yang tentu saja membuat Sofie sangat geram dan kesal.
“dasar Lintang!!.... nilainya saat ujian akhir semester kemarin adalah nilai tertinggi sefakultas…, dia juga satu-satunya mahasiswi baru yang langsung bisa mengajukan lamaran menjadi pengurus BEM FEB yang langsung keterima…, bahkan aku aja harus empat kali mengajukan lamaran ke BEM FEB, ”
“emangnya siapa?” tanya Lintang sambil menyuapkan mie kedalam mulutnya.
“Cassandra...,” jawab Sofie
“…, yang tanya ..,” Lintang kemudian tertawa dan kemudian dia melihat ekspresi Sofie yang kesal.
“tapi..., kenapa dia misterius banget ya..., apa harus semua orang yang pintar itu sinis dan misterius? Kenapa enggak kayak aku aja? Humble dan care gini..,” Lintang mulai narsis sambil melirik Sofie dengan lirikan yang aneh. Dan juga ia kembali tersenyum.
“dasar..., tukang narsis..., kalau semua orang pintar seperti kamu mau jadi apa negara ini...., yang ada itu kepala negaranya dan ilmuwannya suka main mata dengan wanitanya,”
“lah..., itu kan sifatnya yang luar aja…, harusnya seseorang yang intelek itu bukan cuma harus serius aja…, dia harus bisa tersenyum terus biar awet muda, masa aku harus serius terus... kan ntar aku cepat tua.. lagipula tenang aja... itukan masalah ini... (menunjuk dada kanan atasnya dengan telunjuk kirinya) ini masalah hati nurani mereka, aku kan fine-fine aja,”
“bukannya hati itu ada disebelah kiri?” Sofie menunjuk ke arah jantungnya dengan garpunya.
“suka-suka aku dong hatiku dimana..., kan hatiku sudah lama ada dihatimu...,” Lintang kembali menggodanya sambil tersenyum.
“ye... ni anak..., kumat lagi..., inget dong aku lebih tua dari kamu…,” kemudian mereka berdua menikmati makan siang mereka setelah beberapa jam yang lalu mendapat kuliah dari dosen mereka. Tak berapa lama Casandra menghampiri mereka berdua yang sedang asik menikmati semangkuk mie ayam ala kantin kampus, yang maknyuusss. Ia langsung menaruh dan menggeletakkan sebuah amplop berwarna cokelat dihadapan Lintang dan Sofie. Lintang terkejut saat melihat amplop yang tiba-tiba digeletakkan didepannya itu. Ia tanpa menatap Cassandra langsung bertanya kepada Cassandra yang sedang berdiri disampingnya.
“dari siapa?” tanya Lintang sambil membuka amplop tersebut.
“dari BEM Fakultas, ehm…, aku pergi duluan ya soalnya masih ada sedikit urusan di kantor BEM,” jawab Cassandra singkat ia hendak pergi begitu saja. Baru beberapa langkah dia sudah ditubruk oleh Nana bendahara BEM pusat. Dia ini juga masih kerabat dekat dengan Sandhi dan Zayn. Mereka ini merupakan keluarga yang memiliki IQ diatas rata-rata. Karena itu, dia mengambil double degree, ia mengambil jurusan Hukum dan juga kuliah di Ekonomi. Dan juga ia memperoleh IPK cumlaude disetiap jurusan yang ia ambil. Dan yang bisa menyaingi adalah mahasiswi baru ini, Cassandra.
 “ups! Sorri…, maaf…,” Nana membau mengambili buku dan amplop Cssandra yang berserakan dilantai. Beberapa bahkan hampir saja diinjak oleh mahasiswa yang melewati mereka. Nana menyerahkan sebuah majalah jurnal penelitian kampus berwarna merah pada Cassandra.
“oh.. ya, terima kasih Nana...,” jawab Cassandra sambil hendak berlalu dari kantin.
“okay...,” Nana langsung menghampiri Lintang dan memberikan sebuah amplop padanya.
“amplop lagi…, kenapa kalian enggak pesen aja jersey ke toko aku…,” gumam Lintang sambil memasang muka agak kesel dan agak jutek yang dipaksa.
“itu dari dosen, fee sebagai asdos buat kamu, BEM FEB katanya mau ngadain seminar? bukannya dari HMJ ekonomi koperasi akan mengadakan seminar juga....,” tanya Nana, tiba-tiba dia berlari mengejar Cassandra dan mengajaknya duduk bersama.
“menurut kamu bagaimana Ndra?” tanya Nana
“enggak papa sih...keduanya bagus-bagus...., keduanya positif kan?” ucapnya pelan. Ia kemudian duduk disamping Sofie.
“maksud aku begini Ndra, apa enggak sebaiknya kalau dua-duanya kita gabung dua acara itu....,” tanya Nana
“boleh aja sih lagian sekarang udah pertengahan tahun dan dana pasti sulit cair, enggak papa selama buat kemajuan bersama juga kan? Mungkin bisa kamu ajukan saat rapat besok, Maaf Aku pergi duluan, aku masih ada urusan,”
“okay....,” Nana menatap kertas yang dia bawa sementara Cassandra pergi jauh. Lintang memandangi Nana yang menurutnya terlihat sangat dekat dengan Cassandra.
“kamu kenal dia ya?” tanya Lintang. Entah sejak kapan ia menjadi kepo tentang Cassandra.
“enggak, seperlunya aja... dia tertutup banget jadi aku nggak mungkin meminta dan memaksanya membuka diri kepadaku dan kepada orang lain, kalian berdua tumben makan disini...., Lintang kenapa kamu dapat undangan itu? Itukan undangan buat panitia seminar, kamukan bukan pengurus HMJ dan juga bukan pengurus BEM FEB kamu juga bukan pengurus OMIK kan? Kalau Sofie sih…, karena dia udah melamar jadi pengurus di FEB dan sekarang udah diterima jadi dia enggak ada alasan untuk nggak dijadikan panitia, yang aku heranin tuh kamu…, kok kamu dapat undangan itu ya?” Nana melihat undangan itu sambil mengerutkan kedua alisnya. Dia sepertinya sedang berusaha memikirkan sesuatu.
“mana aku tahu...., bukannya kemarin waktu OSPEK aku yang bukan pengurus OMIK ini juga menjadi panitia…, seharusnya kan enggak boleh,” jawab Lintang dengan entengnya.
“iya juga sih Lin…,” jawab Nana sambil menggaruk-garuk  jilbab belakangnya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
“udahlah... kamu gak pulang Fie?” tanya Lintang sambil melirik Sofie. Sofie yang merasa jengah sejak tadi dilirik oleh Lintang langsung mengutarakan ketidaksukannya akan kelakuan Lintang.
“bisa nggak sih gak pakai lirik-lirik segala? Ya emang aku mau pulang tapi engak bareng sama kamu,” Sofie langsung berdiri dan hendak pulang, namun Lintang kembai menggodanya dan tertawa
“eh emangnya siapa yang mau ngajakin kamu pulang bareng..... ngarep kan? Iya kan? Ngaku aja deh...., iya kan?”
“iiihhhh narsis lo!,” Sofie langsung berjalan pulang.
“bisa enggak sih kamu hilangin sikap narsis kamu Lin? Bosen lihatnya,” kata Nana.
Lintang berjalan melewati lorong-lorong kelas sendirian. Ia harus pulang sendiri karena Sofie kesal dengannya yang terus-terusan narsis tanpa ada henti-hentinya. Sejak Sofie kembali dari OSPEK sampai sekarang ia terus narsis didepan Sofie. Tidak perduli dimanapun dan kapanpun ia selalu melakukannya. Hampir seperti sebuah makanan poko baginya. Ia tersenyum geli jika terus mengingat hal tersebut. Lintang berjalan melewati perpustakaan kampus dan tidak sengaja melihat Cassandra ada disana sendirian. Dia sebenarnya tidak hendak masuk. Namun ia akhirnya masuk juga karena dia takut melihat mata Cassandra yang memandangnya. Akhirnya dia masuk keperpustakaan untuk kedua kalinya dan meminjam sebuah novel. Sesudah itu mereka berjalan menuju parkiran berdua.
“kenapa belum pulang?” tanya Cassandra kepada Lintang.
“belum, lagi malas pulang…,”
“kenapa enggak bareng sama Sofie? Kaliankan tadi dikantin berdua?”
“enggak berdua juga…, bertiga sama Nana…,”
“ehm…, oh ya kamu punya contoh file tentang studi kelayakan bisnis nggak?” tanya Cassandra
“ada…, besok aku kasih, soalnya flashdisk aku ketinggalan dirumah,”
“makasih ya Lintang…, kamu baik deh, aku duluan ya?” Cassandra menaiki angkot yang lewat.
“ya, hati-hati,” jawab Lintang sambil melambaikan tangan kanannya.
Lintang terus berjalan menuju parkiran dan menaiki sepeda lipat miliknya menuju rumahnya yang berjarak cukup dekat dari kampus. Sepanjang perjalanan pulang dari kampus dia selalu terbayangi dengan wajah Cassandra yang menyimpan banyak misteri. Dia juga entah kenapa mendadak ingin tahu banyak mengenai mahasiswi yang berhasil memecahkan rekor menjadi pengurus BEM FEB padahal ia baru kuliah selama beberapa bulan disini. Padahal Sofie saja yang dia anggap selalu menjadi pemecah rekor harus sampai mengirimkan empat surat lamaran kepada pantia seleksi.

Cassandra sedang berdiri didepan ketel berisi air yang sedang mendidih. Ia lalu mengangkatnya dari atas kompor, kemudian menyeduh teh yang sudah ia siapkan disebelah ketel. Ia mematikan kompornya dan berjalan membawa teh yang ia seduh barusan ke meja belajarnya. Ia duduk dikursi belajarnya sambil membuka laptop yang tertutup diatas meja belajarnya. Ia membukanya dan menekan tombol power untuk menghidupkannya. Ia menengok ke cangkir tehnya yang sudah agak dingin. Ia mengambilnya dan meminumnya separuh, Cassandra kemudian memandangi laptopnya dengan sangat serius. Cassandra melirik tehnya yang kemudian ia minum dan ia habiskan. Ia melirik ke arah meja lainnya dengan pandangan malas. Ia meraih sebuah botol yang berisi obat berbentuk tablet berwarna putih. Ia mengambil dua butir lalu menelannya. Dan akhirnya Cassandra kembali menatap layar laptopnya dengan sangat serius. Setelah itu dia keluar dari rumahnya sambil membawa sebuah bola basket. Ditengah perjalanan menuju lapangan Cassandra bertemu dengan Lintang yang juga tengah berjalan menuju lapangan sambil memainkan bola basket. Dia berhenti sejenak dan tersenyum memandangi Lintang. Ia menghampiri Lintang yang tengah asik mendrible bola basketnya.
“hai,” Cassandra menghampirinya dan segera Lintang menghentikan aksinya
“hai juga, Cassandra…, Ngomong-ngomong kenapa disekitar sini?” tanya Lintang
“rumah pribadi kami ada disebelah sana…, enggak jauh dari rumahnya Sofie,” jawab Cassandra  sambil menunjuk sebuah yang beberapa hari bulan yang lalu direnovasi oleh pemiliknya. Dan ternyata pemiliknya adalah keluarnganya Cssandra.
“aku bolehkan ikutan main basket?”
“emang kamu bisa?” tanya Lintang sambil memandangi Cassandra dengan pandangan tidak percaya. Lintang sepertinya meragukan keahlian Cassandra dalam bermain basket. Namun keraguannya pada Cassandra terjawab sudah. Ia kalah sepuluh poin dari Cassandra. Padahal dia adalah pencetak angka terbanyak sewaktu SMA dulu.
“oh ya flashdisknya besok ya?” kata Cassandra sambil berjalan menuju rumahnya.
“iya…, kapan-kapan kita main basket lagi ya?” ucap Lintang

Beberapa hari kemudian Cassandra, Lintang dan juga Sofie bermain basket dihari minggu. Saat mereka libur kuliah dan libur setoran hafalah kepada Bu Mira, mereka menyempatkan diri untuk bermain basket bertiga. Mereka berhenti bermain basket saat Lintang mendapatkan telpon dari Neci.  Casssandra melirik Lintang dengan lirikan mata yang tajam. Sofie tidak sengaja melihat ekspresi Cassandra dan ia melihat ekor matanya yang tertuju pada Lintang. Tiba-tiba ia merasakan aura yang sama saat ia melihat Cassandra untuk pertama kalinya. Aura yang penuh dengan warna hitam kelam dan pekat.
“aku pulang dulu, ada urusan dirumah,” Cassandra langsung pergi meninggalkan mereka dilapangan basket.
“ya, hati-hati Andra...,” ucap Lintang yang masih meletakkan hapenya ditelinga kanannya
Sofie terdiam, memandangi dan memperhatikannya dengan seksama. Sofie memandangi Lintang yang akhir-akhir ini akrab dengan Cassandra dan kemudian dia memandangi punggung Cassandra yang semakin menjauhi mereka berdua. Seperti ada sebuah benda gelap dan pekat yang dia lihat tiap kali Cassandra dekat dengan Lintang. Dan bahkan lebih parah lagi saat ia mendengar nama Zayn dan Neci. Sepertinya dua orang itu memiliki korelasi yang cukup kuat dengan hawa dan aura yang penuh kegelapan ini.
Dua hari kemudian saat mereka masuk kuliah aktif disemester ganjil, mereka dikejutkan dengan insiden meninggalnya seorang mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling yang katanya gantung diri di kamar mandi. Sofie ingat dengan betul itu adalah kak Sandhi, salah satu mahasiswa berbakat di kampus yang bahkan sudah menjadi salah satu finalis di olimpiade BK tingkat nasional beberapa bulan yang lalu. Para mahasiswa yang berada didalam semua kelas dan kantin sedang riuh membicarakan hal tersebut. Tidak ketinggalan dengan beberapa panitia Seminar yang sedang bersiap rapat.
Sofie terdiam dan memperhatikan Cassandra yang sudah berada didalam ruang rapat sejak tadi pagi. Cassandra diam saja dan berlalu begitu saja dari ruangan setelah rapat selesai. Dia seperti menolak untuk ikutan berspekulasi mengenai masalah tersebut. Sepertinya sia tidak ingin begitu jauh mengomentari kejadian yang menggemparkan fakultas ini. Dia juga hanya bicara seperlunya saat rapat mengenai seminar wirausaha yang mereka adakan tiga bulan yang akan datang. Yah, seperti Cassandra yang biasanya yang hanya mau bicara jika diawali oleh orang lain yang mengajaknya berbicara. Tapi, memang bukan Cassandra jika tidak membuat hal yang membuat para panitia terkejut. Termasuk rapat kali ini.
“kenapa tidak kita gunakan moderator dari anak kelas ekonomi juga? Neci juga bisa kan? Dia juga sering menjadi MC offair dibeberapa radio dan stasiun TV lokal kan? Dan juga ayahnya Zayn Hasan…, Pak Firman Hasan…, dia kan seorang dosen Internasional yang juga seorang entrepreneur sukseskan? Kenapa tidak kita undang beliau…, lagipula seminar ini hanya untuk region kampus aja kan?”
Lintang terkejut mendengar nama gadis yang selama ini dia suka disebut oleh Cassandra. Sofie yang dari awal tahu kalau Neci adalah orang yang disukai Lintang terperanjat dan memandangi Cassandra dengan pandangan penuh curiga. Tapi ada yang membuat Sofie lebih terkejut lagi yaitu mengenai ekspresi wajah Lintang yang langsung berubah drastis tatkala ia mendengar nama Firman Hasan. Ekspresinya begitu berbeda dari sebelum rapat. Biasanya Lintang selalu mempunyai usul yang jitu. Tapi hari ini sepertinya ia tidak bisa melakukan apapun. Ia cuma diam saja sampai rapat selesai. Setelah rapat selesai Lintang berjalan keluar dari ruangan rapat dengan gontai. Lagi-lagi ia mendapat kejutan saat hendak menuju toilet. Pintu toilet pria kembali dikerumuni banyak mahasiswa dan dipasangi  garis polisi. Dia terkejut karena sebelumnya ia tidak menduga kejadian yang menimpa Sandhi akan terulang kembali.
“ada apa Na?” tanya Lintang kepada Nana yang melintas diepannya.
“kali ini adiknya kak Sandhi, Dioniriya, dia itu masih sepupuan sama aku, sepertinya kejadian ini udah direncanakan, apa salah sepupu aku itu? Mereka enggak salah sama sekali…, bahkan mereka udah membawa harum nama Universitas ini, dan juga…, dan juga…,” ucap Nana dengan nada gemetar. Ia menangis melihat dua kejadian beruntun yang menimpa kedua sepupunya tersebut. Kematian dua mahasiswa itu menjadi pukulan telak dan membuat citra kampus menjadi buruk. Bukan hanya itu saja, kematian dua mahasiswa berbakat itu juga merupakan sebuah teror yang mengancam berbagai mahasiswa yang ada disana. Disangkal atau tidak, banyak mahasiswa yang takut termasuk Nana.
 “dua orang yang mati itu adalah keluarga Kak Zayn, kamu tau kan orang itu dan keluargaku juga memiliki hubungan dengan mereka... aku tidak mau ada target lain yang menjadi sasaran pelaku ini,” Nana melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi digenggam oleh Lintang.
“ssstt.... jangan ngomong yang buruk dululah Na…,”
“tapi bisa jadikan? Bisa jadikan kalau ada…,” Nana berbisik sambil memegangi jari-jarinya. “dan bisa jadikan kalau kta sendiri adalah target selanjutnya...,” ucap Nana setengah berbisik.
“itu enggak akan pernah terjadi, kamu tenang aja…,”
Mereka berdua, Lintang dan Nana duduk disebuah bangku dikantin indoor. Dan juga tidak ketinggalan dua wanita lainnya lagi, Cassandra dan Sofie. Mereka sendiri terkejut dengan banyaknya mahasiswa yang berkerumun disekitar toilet. Mereka baru saja menyelesaikan proposal yang harus diberikan pada dekanat dua hari lagi. Dan melewati toilet tersebut. Namun setelah melihat kerumunan itu untuk kedua kalinya mereka langsung mencari Lintang dan Nana yang sudah ada dikantin. Mereka berdua belum tau dengan jelas apa yang terjadi dan juga kronologinya. Sehingga mereka memilih untuk membicarakan apa yang mereka dapatkan dari petuga polisi.
“motif pembunuhan ini belum diketahui secara pasti, jadi kita mungkin bisa tenang sedikit, lagipula sebagai mahasiswi hukum kamu tau ini lebih dari kita Na” ucap Sofie.
 “Dion? Bukannya dia itu Kosma Ekonomi Pembangunan? Bukannya dia juga Anggota MPM? Koq bisa sih?” tany Cassandra pada mereka bertiga. Ya, mereka bertiga baru ingat siapa yang terbunuh. Nana mematung dan memandangi jus yang dia pesan.
“itu yang aku bingungin, bahkan pelakunya tidak meninggalkan bukti sama sekali, tidak ada jejak kaki apalagi sidik jari, lalu kenapa yang diincar adalah mahasiswa dengan prestasi yang tidak bisa diremehkan? IPK mereka selalu cumlaude…, apa karena ada pihak yang tidak setuju dengan hasil kongres kemarin sehingga mereka semua menjadi sasaran? Atau ada alasan lain…,” Nana tidak jadi menyelesaikan omongannya dan memilih diam. Nana hanya memandangi Lintang dan Sofie bergiliran. Cassandra memandangi Sofie dengan penuh arti sementara Sofie hanya diam dan memandangi beberapa mahasiswa didepan mereka yang membicarakan hal yang sama. Lintang yang merasakan keanehan dengan sikap mereka berdua akhirnya mengajak Sofie pulang bareng. Sementara Nana pergi kerumah Cassandra untuk mengambil draft yang masih tertinggal dirumahnya.
“kenapa kamu tadi memandangi Cassandra dengan pandangan seperti itu?” tanya Lintang tanpa mengalihkan pandangannya dari Sofie yang sedang memesang wajah serius.
“matanya dan auranya penuh dengan kegelapan, gelap dan pekat, aku curiga aja sama dia...,”ucap Sofie dengan mata yang sangat serius.
“ucapanmu itu kayak di komik aja deh Fie, kayak orang yang bisa membaca aura aja, aku enggak percaya dengan hal seperti itu, aku enggak pikir kalau dia kayak gitu, dia juga baik kan selama ini?” jawab Lintang seolah-olah ia menyalahkan apa yang dikatakan oleh Sofie barusan.
“apa kamu sama sekali tidak ngrasain gitu? apa kamu enggak merasa aneh?”
“bukannya itu biasa-biasa aja..., kenapa kamu harus seperti itu sama dia?”
“itu mencurigakan banget tau gak?!” dan akhirnya Sofie menjadi sedikit emosi karena apa yang menjadi balasan atas ucapannya barusan.
“mencurigakan dari mananya sih Fie? Tolong pakai logika dong…, bukannya kita diajarkan untuk selalu objektif dan mengesampingkan perasaan kita…, apalagi ini adalah kasus yang bisa dibilang skalanya tidak kecil, kenapa sih Fie? udah enggak usahlah kamu sentimen sama Cassandra,” Lintang kemudian menaikkan kecepatannya dalam mengayuh sepeda dan berada disisi kanan Sofie.
“kenapa aku mesti sentimen sama dia? Emang sih dia memiliki IPK tertinggi sejurusan, dia juga cantik, tapi bukan berarti aku tidak suka sama dengan keberadaan dia, jadi apa yang perlu aku sentimenkan?”
“beneran?!” tanya Lintang
“segitunya ya kamu? Pikir deh dari awal! Awalnya sebelum dia masuk, dan sebelum dia masuk ke kapus kita, kampus kita baik-baik aja kan? Dan setelah itu bahkan dia sudah mengajukan Neci sebagai moderator…, seolah-olah tuh dia tahu apa yang ada didalam pikiran kamu,” kata Sofie. Dan ia berusaha meyakinkan Lintang.
“hal itu biasa aja kan Fie, lagipula kedatangan dan kemunculan Cassandra dikampus jangan kamu jadikan sebuah alasan untuk kasus ini…, bukannya jika melakukan penyidikan dengan latar belakang yang seperti itu kamu juga harusnya patut dicurigai? Interval kedatangan kalian dikampus juga enggak lama kan? Cuman terpaut seminggu doang jadi apa bedanya coba,” perkataan Lintang kali ini membuat Sofie merasa sesak. Dadanya terasa panas dan perih. Tapi begitu jauh dan tidak terjamah. Rasa sakit yang begitu menghujam dirinya. Rasa sakit yang melebihi semua akumulasi rasa sakit yang ia rasakan selama ini. Bagitu sakit dan sangat sakit, begitu sakitnya sampai ia bahkan tidak bisa berkata sama sekali.
“bahkan sampai seperti ini…,” Sofie semakin merasa sesak dan tidak bisa lagi ia menahannya. Sehingga melelehlah airmatanya dari kedua matanya. Air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.
“bahkan sampai kamu mengatakan hal itu sama aku…, ya…, lebih baik memang kamu percaya sama dia, dan sepertinya kamu jauh lebih baik kalau aku tidak kembali lagi kesini! selamat bersenang-senang dengan sahabat baru kamu itu! dan terus saja curigai aku!” Sofie langsung mempercepat kayuhannya dan mendahului Lintang. Dia menangis sepanjang jalan.
Dia tidak menyangka jika ternyata Lintang jauh lebih percaya pada Cassandra dibandingkan dirinya. Karena insiden itu Sofie bahkan tidak pernah sama sekali pergi kuliah bareng dengan Lintang. Bahkan ia sempat mendiamkannya sampai beberapa minggu. Ia sangat sakit hati dengan perkataan Lintang yang menyebut bahwa dirinya terlibat.
Lintang yang sedang mengayuh sepedanya dari parkiran belakang tiba-tiba berbalik arah setelah sebelumnya ia berhenti. Sekedar mengecek sebuah pesan singkat yang masuk kedalam handphonenya sesaat lalu. Dia mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju sebuah kafe dikampus. Karena ada seseorang yang menunggunya disana.
“kenapa? Kenapa tiba-tiba manggil aku buat kesini lagi? Ada apa emangnya?” tanya Lintang dengan raut wajah dingin dan kaku.
“duduk dululah…, aku udah pesen makanan buat kamu,” Zayn yang tadi ia temui diperpustakaan sedang duduk dikursi didalam kafe. Lintang berdiri memandangi Zayn dengan perasaan yang masih sama dengan yang kemarin. Marah, marah dan hanya marah.
“langsung aja, kenapa? Emang ada apa kamu kirim pesan dan nyuruh aku duduk disini?” Tanya Lintang dengan raut wajah yang sama sekali tidak berubah.
“duduk dulu lalu makan baru kita bicara, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan sama kamu,” jawab Zayn dengan nada yang rendah. Ia memandangi Lintang yang masih berdiri didepannya dengan raut muka yang masih marah. Zayn kembali memainkan handphonenya.
“sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan? Bukan hal yang penting kan?”
“duduk dulu, Lintang,” kata Zayn dengan tenang.
“aku tidak ingin duduk semeja denganmu dan aku juga tidak ingin makan makanan yang kalian pesan, aku bukan orang rendah yang bisa kalian jatuhkan semau kalian,” kata Lintang dengan wajah yang memerah. Zayn memandanginya dan meletakkan hapenya kedalam saku jaketnya.
“kenapa kamu berlaku tidak sopan seperti ini? Apa kamu lupa? Aku ini Kakakmu,”
“sejak kapan kalian memberiku keluarga? Aku juga tidak pernah memiliki Kakak, kalian hanya memberiku ketakutan dan air mata, jadi jangan pernah sekalipun…,”
“kenapa tidak selesai? Kesulitan mencari kalimat? Benarkan?” tanya Zayn.
“sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Lintang yang masih saja tetap berdiri tanpa duduk sama sekali. Dan sekarang mereka sukses menjadi pusat perhatian.
“aku sudah menyuruhmu untuk duduk kan? Makanan kita juga masih dimasak,”
“aku rasa tidak penting untuk berada disini…, dia juga akan mentertawakanku lagi seperti waktu itukan? Dan ibuku akan dihina lagi? Lalu apalagi? Bahkan…, sudahlah ku pikir sudah tidak ada hal yang penting lagi yang akan kau dibicarakan,” Lintang tidak menyelesaikan perkataannya dan langsung berjalan dengan cepat menuju tempat ia memarkir sepedanya. Zayn memandanginya dengan pandangan nelangsa.
“kenapa masih tidak bisa? Kenapa kamu tidak bisa memanggilku Kakak…, apa begitu dalam luka itu? Kenapa bahkan kamu tidak mau duduk semeja denganku…, padahal kita memiliki darah yang sama…, apa sebegitu dalam?”

“aku heran kenapa kamu dan Lintang berjauhan…, apa kamu sudah mulai sadar?” tiba-tiba Neci menghampirinya yang sedang berusaha mengeluarkan sepedanya dari parkiran. Hari ini Sofie berangkat kuliah dan pulang sendiri. Bahkan dia tidak memarkir sepedanya diparkiran FEB. Dia memarkirnya diparkiran umum yang jaraknya lumayan jauh. Dan ia tidak menyangka jika Neci membuntutinya dan mencegatnya disini.
“apa kamu sudah sadar siapa kamu yang sebenarnya?” tanya Neci dengan nada mengejek.
“seharusnya kamu yang berkaca, aku atau kamu yang harusnya sadar…,” kata Sofie
“jangan menyulut emosiku yang masih merendah ya Sofie…,” ucapnya dengan manis.
“emosimu? Enggak kebalik? Jujur ya aku males kalo bertemu sama kamu, jadi sebaiknya kamu jangan ganggu aku sekarang Ci, aku lagi enggak mood untuk berantem, dan juga, kalau kamu masih seperti ini, masih ngomong agar aku menjauh dari dia, aku malah akan berbuat sebaliknya, aku akan merebut dia dari hadapan kamu, aku bisa merebut dia dari kamu, karena aku bahkan lebih tahu siapa dirinya, aku tahu lebih mengenai dirinya daripada dia mengenal dirinya sendiri, permisi,” Sofie menaiki sepedanya. Ia menengadahkan wajahnya menuju lantai sebuah tiga gedung yang berada dibelakang parkiran. Ia kembali mengarahkan pandangannya kesepedanya dan bergumam sendiri.
“kenapa aura itu selalu ada dikampus ini? Sebenarnya kenapa?”

Nana berjalan menuju rumahnya setelah turun dari angkot. Dia masih belum bisa tenang meski Lintang sempat berkata padanya kalau dia akan baik-baik saja. Dia masih terpikirkan dengan beberapa kejadian yang terjadi. Dua sepupunya terbunuh dengan kondisi yang sama, sebenarnya apa yang terjadi?
Beberapa hari lalu saat ia berkunjung kesuatu tempat, ia merasa ada yang aneh. Tapi apa benar sebenarnya hal itu yang terjadi? Tapi motifnya apa? Dia, sambil berjalan, ia merasakan ada seseorang yang mengikutinya. Sesekali dia menoleh kebelakang dan berjalan dengan tergesa-gesa dan kembali menoleh kebelakang. Dia tidak menyadari kalau ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya.
“hai…, aku heran kenapa kamu masih tidak mengatakannya padahal kamu sudah tau…,” suara yang muncul ditengah kesunyian jalan membuat Nana terjingkat. Kaget.
“kamu…, kenapa ada disini?” ucap Nana dengan nada gemetar. Dia berjalan mundur perlahan. Berusaha mencari perlindungan dari sosok menakutkan ini.
“kenapa aku ada disini? Itu karena kamu…,” jawabnya dengan seringai mengerikan.
“ha? Aku? Bukannya selama ini aku diam aja…, kenapa kamu kesini?”
“kenapa harus mundur? Toh, kamu tidak akan bisa lari dari kenyataan bahwa kamu sebentar lagi juga akan menyusul dua saudara sepupu kamu itu,” jawabnya sambil terus berusaha melangkah mendekati Nana yang terus berjalan mundur darinya.
“aku tidak ada hubungannyakan dengan masalah ini? Lalu kenapa harus aku dan sepupuku?” Tanya Nana, ia berusaha menutupi ketakutannya.
“kamu dan mereka bertiga…, ada hubungan atau tidak, itu bukan urusanku…, lagipula orang yang sudah tahu rahasia orang lain mustahil tidak memberitahukannya ke orang lain, nah sudah waktunya…, ada kata-kata terakhir?”
Tiba-tiba orang itu menusukkan sebuah pisau keperut Nana. Nana menahan rasa sakit itu sambil membela diri. Dia yang pernah mendapatkan pelajaran beladiri saat sekolah berusaha agar sebisa mungkin keluar dari kuncian orang ini. Terjadi perkelahian yang cukup lama dan akhirnya ia tertusuk untuk kedua kalinya dibagian yang sama. Dan kali ini ia berhasil memukul diafragma orang yang menusuknya ini dengan sangat keras. Akibatnya orang ini terjerembab ke belakang. Tendangannya cukup keras dan membuat orang ini jatuh agak lama. Dia memiliki kesempatan untuk berlari dan bersembunyi. Dia berlari menuju balik tembok semua rumah yang dilindungi oleh pepohonan yang rindang. Ia mengawasi kondisi sekitarnya yang tampak sunyi. Ia menghela napas lega saat mendengar suara mobil yang sudah pergi dari lokasi tempat ia tertusuk tadi.
“alhamdulillah… akhirnya dia pergi juga…,” gumamnya.
Dia duduk dengan menahan dua luka tusuknya yang lumayan lebar. Ia menutupnya dengan hijabnya yang sudah basah dengan darah yang terus keluar dari lukanya. Ia membuka tasnya dan membuka ponselnya. Disana ada sebuah pesan singkat yang masuk dari nomer yang tidak ia kenal. Belum sempat ia membaca isi pesan tersebut, ia melihat ada sebuah sinar bulat kecil berwarna merah yang mengarah ke padanya. Dia tersadar bahwa ada sinar laser yang mengarah tepat padanya. Belum sempat dia menghindar dari sinar laser senjata yang mengarah padanya itu, Nana langsung rubuh dan menjerit kesakitan. Pemilik rumah yang mendengar jeritan Nana langsung berlari keluar rumah dan mencari sumber suara. Mereka menemukan Nana yang sudah tidak sadarkan diri bersimbah darah dibawah tembok dengan hape yang masih menyala.
Sehari menjelang UAS barulah Lintang mendengar berita mengenai Nana dari beberapa temannya di BEM FEB. Menurut kabar yang ia dapatkan Nana juga ditemukan tertembak. Sekarang dia sedang koma. Dokter tidak bisa memprediksi kapan dia akan sadar penuh. Karena selain terkena luka tembakan yang parah, tusukan pisau itu juga mengenai hatinya dan sangat dalam. Bisa saja dengan luka tersebut Nana akan meninggal. Lintang benar-benar frustasi mendengarnya. Terlebih ia juga pernah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja karena kasus kemarin tidak berhubungan dengan dirinya. Namun nyatanya Nana juga tertembak dan bahkan sekarang ini dia koma.
Lintang pulang dari kampus dengan langkah gontai. Sejak kejadian kemarin, sudah beberapa hari ini Sofie berangkat kuliah sendiri. Dia juga tidak kelihatan setor hafalan ke Bu Mira. Ia bahkan tidak sadar jika seseorang sedang mengintainya. Orang itu langsung menjalankan mobilnya menjauhi Lintang. Sesaat sesudah mobil itu pergi Lintang menoleh kebelakang dan dia tidak menemukan apapun. Lintang pulang kerumahnya dan mengambil bola basket. Ia iseng menghampiri mamanya yang sedang membuat pola baju.
“Ma…, tadi Sofie main kesini nggak?” tanya Lintang sambil duduk manis disamping mamanya.
“enggak tuh…, memangnya dia enggak kuliah apa? Kalian kan sering berangkat bareng?” Tanya Mamanya sembari menghentikan pekerjaannya dan melihat ekspresi anak semata wayangnya yang beranjak dewasa ini.
“udah beberapa hari ini dia enggak bareng kalau berangkat kuliah, di kampus juga seperti main petak umpet…, dia hilang gitu aja Ma…,” jawab Lintang sambil manyun.
“hem…, jangan-jangan kamu kangen lagi sama dia ya?” Mamanya tersenyum dan menggodainya
“Mama…, udah deh jangan godain Lintang sama Sofie lagi, berasa masih anak SD aja aku ini…, ya udah aku pergi dulu Ma…, assalamu’alaikum,”
“waalaikumussalam,”
 Lintang berjalan menuju lapangan basket dan sesekali mendribel bolanya ke aspal. Pikirannya masih saja penuh dengan Sofie. Sebenarnya selama ini dia pergi kemana?
Sesampai dilapangan basket dia melihat Cassandra yang sedang duduk, dan akhirnya Lintang menegur Cassandra yang sedang duduk terdiam dilapangan basket tersebut dan mengajaknya bermain basket. Sesudah bermain basket mereka berdua duduk di tepi lapangan basket dan bercakap-cakap.
“tumben akhir-akhir ini kamu enggak bareng Sofie? Kemana dia? Beberapa hari ini dia juga enggak berangkat kuliah bareng kamukan? Emang kalian lagi berantem? marahan?” tanya Cassandra
“ya, mungkin itu karena kesalahanku juga,” jawab Lintang pelan. Dia terdiam dan tiba-tiba saja ia memikirkan kalimat yang diucapkan Sofie mengenai Cassandra.
“kenapa diam?” tanya Cassandra
“lah aku harus gimana dong?” Tanya Lintang kebingungan.
“ya…, seperti biasa aja…, enggak usah diam kayak sekarang ini…,” ucap Cassandra. Lintang memperhatikan Cassandra sambil tersenyum.
“sebenarnya kamu kenapa diam sih? Apa karena kamu berantem sama Sofie? Apa dia cemburu sama kamu? Atau kamu yang buat dia marah?” Tanya Cassandra
“enggaklah, enggak mungkin, dia itu enggak mungkin cemburu sama aku, kita itu udah sahabatan sejak kecil, sejak keciiiil banget tau, jadi mana mungkin dia cemburu sama aku, dan… aku juga tidak mungkin juga cemburu sama dia, kita itu udah seperti saudara malahan,” jawab Lintang sambil beberapa kali memutar bola basket yang ada ditangannya.
“nah… karena itu, karena kalian itu terlalu dekat, kalian berdua sampai-sampai tidak sadar seberapa sayang dan khawatirnya kalian berdua antara satu sama lain… rasa sayang sebagai sahabat dan saudara yang kemudian menjadi berkembang menjadi rasa sayang yang tidak sewajarnya…,” kata Cassandra sembari tersenyum penuh arti.
“enggak tuh ye, sok tau kamu Ndra, aku dan Sofie itu hanya sayang sebagai sahabat…, no more…,” kilah Lintang
“aku enggak yakin tuh kalau kamu hanya menyayanginya sebagai sahabat aja… pasti kamu sendiri juga punya perasaan sama dia kan? Karena itu kamu berusaha untuk menekan perasaan kamu itukan? Halah… ngaku aja deh kamu,”
“bukan, serius bukan itu,” Lintang berusaha berkilah atas ucapan yang ditujukan padanya. Melihat ekspresi dari Lintang, Cassandra tersenyum hampir tertawa bahkan.
“kamu itu… kapan sih tidak berkilah seperti ini? Kenapa kamu malah selalu menghindari perasaan kamu sendiri sih? Dia itu sudah ada didepan mata kamu lho, dekat banget malah, kamu kok malah selalu berkilah sama perasaan kamu dan dirinya? Kalo dia hilang nyesel loh,” kata Cassandra dengan nada suara jenaka.
“udah-udah jangan bahas itu lagi, lagian juga… hm.... ada  satu hal yang selalu membuatku kesal, tapi aku juga tidak bisa melepasnya…, tapi karena hal ini juga aku terlihat seperti orang bodoh dimata beberapa orang, bahkan Bu Mira juga mengatakan hal itu padaku, aku bingung tidak tahu alasan kenapa ada orang yang sama sekali tidak pernah melihatku dan cuma melihatku jika butuh, apa aku ini memang tidak berhak untuk dikasihi dan disayangi?” Lintang terdiam beberapa saat setelah mengatakan kalimat tersebut. Cassandra yang ada disebelahnya juga ikut terdiam begitu selesai mendengarkan keluhan Lintang. Tiba-tiba Lintang merasa ada seseorang yang diam-diam sedang memperhatikannya. Dia menoleh kesana kemari dan berusaha mencari dan menemukan siapa yang memperhatikannya. Ia bahkan berharap bahwa itu adalah Sofie yang diam-diam memperhatikannya. Itupun jika perkataan Cassandra tadi benar adanya.
“cie… pasti lagi berpikir andai aja Sofie lihat aku disini, cie…,”
“ngacau kamu, enggak lagi…,” ucapnya kemudian menundukkan wajahnya.
“semua orang yang hidup didunia ini berhak kok untuk disayangi dan dikasihi, siapapun dan dari golongan apapun dan dari kasta manapun dia, dia berhak untuk disayangi, termasuk kamu… kamu itu sangat pantas untuk disayangi dan dikasihi semua orang… aku juga… meski terkadang kita harus memberikan perhatian dan sayang yang lebih kepada mereka, meski terkadang ada satu rasa yang sangat sakit kalau kita tidak diperhatikan oleh mereka, tapi semua orang berhak merasakan hal yang sama termasuk… rasa cinta, rasa sayang dan perhatian…,
“tapi kebanyakan orang yang kita perhatikan tidak sadar bahwa ada orang yang sangat khawatir dan sangat sayang padanya melebihi sayangnya untuk dirinya sendiri dan orang itu adalah kita, orang yang selama ini selalu berada disampingnya, tapi terkadang mereka tidak sadar betapa berartinya orang-orang seperti kita untuknya, orang-orang yang sangat mencintainya lebih dari mencintai dirinya sendiri… dan mereka akan sadar jika kita sudah hilang dari pandangan mereka dan tiada untuk selamanya” ucap Cassandra dengan dalam.
“tapi kenapa orang seperti kita harus terluka?” tanya Lintang dengan wajah yang masih tertunduk. Cassandra juga menundukkan wajahnya. Ia meneteskan sebulir air mata.
“mereka memang ditakdirkan untuk terluka, tapi mereka pasti akan bahagia… mereka akan selalu menemukan yang namanya bahagia… tapi terkadang ada juga yang tidak…,” ucapnya dengan pelan. Seolah ada luka yang ia sembunyikan dalam setiap perkataannya.
“tapi sekali lagi luka dan bahagia itu adalah pilihan, dan lagi-lagi pilihan itu yang akan menyadarkan kita untuk berbuat satu hal yang tidak kita inginkan yaitu egois… kalau kita ingin bahagia, kita pasti akan meninggalkan rasa sakit itu kan? Dan pasti kita akan memilih perasaan bahagia itu, padahal dengan rasa sakit itu kita bisa melihat betapa indahnya dan menyenangkannya memperlakukan seseorang dengan istimewa dihati kita… tapi terkadang perlakuan seperti itu juga akan membuat kita sakit hati diakhirnya nanti,” ujar Cassandra sambil memperhatikan mimik wajah Lintang yang semakin dalam dan semakin dalam dari biasanya. Baru kali ini ia melihat Lintang seperti ini. Baru kali ini ia melihat wajah terluka Lintang.
“ya, itu memang benar, aku baru tau sekarang, bahkan orang yang tampan dan pintar sepertiku pun merasakan hal seperti itu,” sesudah mengatakannya Lintang menggembungkan pipinya.
“ternyata benar ya, kalau kamu itu suka memuji diri sendiri..,” Cassandra tersenyum.
“tapi kan tidak apa-apa... lagipula aku kan memang tampan... ya lumayan pinter juga kan? Meski aku tidak suka ikut organisasi, tapi koneksiku juga tidak kalah dari mereka, tidak salah kalau aku memuji diriku sendiri kan? Daripada aku dipermalukan coba?
“yayaya, terserah kamu aja... daripada kamu menangis karena patah hati,”
“sudah sore Ndra... kamu enggak pulang?” Tanya Lintang
“ini aku juga mau pulang, oh ya seminggu lagi kita akan mengadakan seminar, jangan lupa ya? Jangan datang telat apalagi enggak datang cuman gara-gara cewek,” Cassandra berdiri dan berjalan menjauh dari lapangan. Beberapa langkah agak jauh dari lapangan dia berbalik kearah Lintang lagi. Lintang mengawasinya sambil tersenyum tipis melambaikan tangan kanannya. Cassandra membalas lambaian tangan itu lalu pergi. Lintang berjalan menuju rumahnya Sofie dan berharap jika Sofie ada dirumahnya. Begitu memasuki rumahnya Sofie, ia melihat sepedanya dan sepeda motornya ada dirumah. Otomatis sekarang ini Sofie sedang ada dirumah. Dan kemungkinannya untuk bertemu dengannya sangat besar. Dia bertemu Mamanya Sofie yang sedang membaca sebuah buku. Ia mengetuk pintu pagar dan memberi salam.
“Tante…, Sofie ada?” Tanya Lintang sembari memamerkan senyuman terbaiknya yang bisa membuat segerombolan remaja putri pingsan karena terpesona.
yah… Lintang, dia baru aja pergi ke Sukabumi, tadi pamannya datang kesini dan ngajak ke rumahnya, soalnya anak pamannya baru saja wisuda dan sekarang mereka ngadain syukuran,” jawab mamanya Sofie setelah menaruh bukunya diatas meja terlebih dulu. Mendengr jawaban dari mamanya Sofie, Lintang menjadi sangat kecewa.
“oh… gitu ya Tante,”
“duduk dulu Lin minum teh sama Tante, sudah lama lho kamu tidak main ke sini,”
“iya tante, tapi kapan-kapan aja ya? Ehm…, maaf ya Tante kalo udah ganggu,” Lintang berjalan dengan gontai dari rumah Sofie. Dia berulang kali berusaha untuk menemuinya. Namun hasilnya sama saja, nihil. Sepertinya perkataan Cassandra tadi ada benarnya juga. Sekarang ini ia baru sadar, betapa berharganya Sofie bagi dirinya. Karena sekarang ia tidak bisa bertemu dengan Sofie, ia tidak punya tempat yang bisa dia curahkan isi hatinya. Ia bagaikan sebuah layangan yang putus dari talinya. Kehilangan arah dan kendali dalam taraf yang sangat parah. Dia sudah berulangkali menelpon Sofie namun handphone Sofie dialihkan ke pesan suara. Sofie sepertinya sangat marah padanya. Ia sudah menyakiti hatinya, tapi ia benar-benar tidak bisa hidup tanpa Sofie. Dan akhirnya dia meninggalkan pesan suara ke handphone Sofie.
 “aku sudah menelponmu berulang kali... mungkin sudah seratus sembilan kali aku berusaha menghubungimu tapi  aku tetap tidak mendapat jawaban darimu, kenapa kamu tidak mengangkat panggilan dariku? Baik aku tahu kalau aku salah, aku begitu naif dan tidak mau mendengarkan ucapanmu, aku tahu kalau aku salah… tapi aku mohon… dnegarkan aku, tolong dengarkan aku Fie, Aku membutuhkan kamu Fie, sangat membutuhkanmu, aku sangat membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu, hanya kamu yang aku punya, cuma kamu, aku hanya memiliki kamu Fie..., tolong... tolong, tolong maafkan aku…, dan tolong jawab pesanku sekali saja, ku mohon…,”
Lintang berjalan pulang ke rumahnya. Ia berusaha menghubungi Sofie sampai tengah malam. Sampai ia tertidur dengan lelap dengan muka lelah. Ditempat yang lain, Sofie  sedang bersama pamannya yang ternyata adalah salah satu anggota intelejen dari kepolisian. Sofie sedang berada di tempat kerja pamannya karena sedang dimintai keterangan oleh polisi. Dan beberapa hari yang lalu polisi mendapatkan sebuah bukti yang belum begitu kuat namun bisa dijadikan pengembangan pada kasus ini. Dan bukti itu berhubungan dengan Sofie dan Lintang. Disana Sofie mendengarkan pesan suara itu berulang kali. Dan tiap kali mendengarkannya dia terus bersimbah air mata.
“anak yang dekat denganmu itu dia pasti baik-baik saja…,” kata pamannya.
“jika seperti itu kenyataannya…, dia pasti akan mempertaruhkan nyawanya untuk orang itu, dia itu hanya anak bodoh yang belum tau apa-apa…, bagaimana jika nanti dia benar-benar melakukan hal itu? Dia itu nekat dan egois, tidak bisa berpikir panjang dan logis…, bagaimana ini?” Sofie menangis.

Seminggu kemudian Sofie datang kerumah Lintang bersama dengan pamannya, dan juga seorang anggota polisi pria. Dia mengunjungi rumah Lintang bersama dua polisi itu pada malam hari. Lintang sangat bahagia melihat Sofie baik-baik saja. Apalagi dia kelihatan sangat sehat. Sofie mengajak Lintang berbicara dikamar belajarnya Lintang. Sementara pamannya sedang memberikan pengertian kepada mamanya Lintang. Lintang tersenyum lebar, dan hampir saja ia memeluk Sofie, jika saja ia tidak ingat bagaimana hukumnya melakukan hal tersebut.
“Fie!” Lintang tersenyum lebar saat melihat Sofie dihadapannya.
“kamu kemana aja selama ini? kenapa pesan suaraku tidak kamu balas?” Lintang menatap tajam Sofie. Sofie memandanginya dengan cemas.
“semua ini demi keselamatan kamu…, karena kamu pasti akan rela mengorbankan nyawa kamu jika kamu tahu sebenarnya yang terjadi,” ucapan Sofie membuat Lintang yang duduk langsung berdiri dari kursinya. Sofie membuka sedikit tirai kamar Lintang yang mengarah langsung menuju rumah Cassandra. Ia terus saja mengamatinya dengan seksama. Lintang menghampirinya dan menutup tirai kamarnya. Ia menatap Sofie dengan serius sekali.
“sebenarnya apa yang sedang kalian sembunyikan?”
“sekarang yang terpenting adalah kamu harus selamat, polisi juga sudah merencanakan semuanya dengan rapi dan aku yakin mereka akan berhasil, dan aku juga tidak ingin kamu terlibat terlalu jauh…,” Sofie mengatakannya dengan sangat yakin.
“ceritakan padaku tentang apa yang terjadi sebenarnya, aku masih bingung Fie,” mereka berdua berjalan menuju ruang tamu.
“Lintang,” suara pamannya Sofie berdentam ditengah ruangan Lintang. “dia itu bukan orang yang bernama Cassandra, Cassandra yang asli sebenarnya sudah mati, sedangkan orang yang bermain basket denganmu namanya itu Cassanova, dia yang melakukan pembunuh berantai itu,”jawab polisi pria temannya pamannya Sofie dengan tegas.
“lalu apakah orang yang berusaha membunuh Nana juga sama?” tanya Lintang
“iya,” jawab pamannya Sofie dengan tegas lagi. Lintang langsung terduduk disofa begitu saja. Dia kemudian teringat dengan analisis kilatnya dan Neci yang mereka sudah lupakan. Alasan ia telah melupakannya adalah karena satu hal yang tidak mungkin terjadi. Pelaku itu mengincar semua orang yang berhubungan dengan keluarga Nana, Dion dan Sandhi mereka keluarga kak Zayn. Orang yang selama ini tidak akan dia incar adalah Zayn, karena dia sudah ada diluar kota. Dan itu jauh dari jangkauannya. Kak Zayn sekarang ini tidak memiliki saudara yang kuliah disana, yang ada hanya…
 “Neci dimana?” tanya Lintang dengan tiba-tiba.
“Neci baik-baik saja, dia ada di kantor polisi, lagi pula besok ada agenda besar tidak mungkin Cassanova akan melakukan pembunuhan didepan banyak orang, kau juga harus bersembunyi sampai semua aman karena kamu memiliki hubungan dengan kak Zayn,” ucap Sofie. Ucapannya ini membuat Lintang terperanjat. Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui hubungannya dengan Zayn Hasan. Hubungan yang lebih kental dari hubungannya dengan Sofie dan Neci. Lebih dekat dan kental dari semuanya. Hubungan yang selama hidupnya ini ia sembunyikan dengan erat.
“tidak, aku tetap akan melindungi Neci, nyawanya terancam...,”
“aku tau Lintang‼ tapi kamu sadar dong kamu itu siapa?! Sekarang kamu masuk mobil dan kamu serta Neci akan aman, aku jamin Neci pasti aman,” ucap Sofie yang berusaha menenangkan Lintang.
“aku tidak perduli‼ meski mereka menghalangi…,” Lintang menatap tajam mata Sofie. Sofie memandanginya dengan pandangan memohon. Akan tetapi dia sadar bahwa hal itu tidak akan bisa membuat Lintang sadar akan kapasitas dan kapabilitasnya sekarang. Lintang tetap Lintang, dia akan nekat melakukan apapun termasuk mati demi melindungi orang yang dia cintai. Bahkan dua orang itu besok akan ada didepan kematian. Sehingga mau tidak mau dia harus menaikkan nada suaranya.
“Lintang‼‼,”
“aku tidak mau!”
“kamu jangan bodoh!!! Kamu tahu siapa yang kamu hadapi sekarang, dia sudah banyak orang, sementara kamu bisa apa?‼ apa kamu mau mati konyol ha?‼!”
“sekalipun mati konyol aku akan melakukannya!!,”
“bodoh!!! Dia itu bukan orang biasa kayak kita‼ sekali ini aja…, apa kamu tidak bia tidak melakukan hal yang membahayakan dirimu sendiri??”
“jika demi cinta aku akan melakukannya,” jawab Lintang dengan lantang. Sofie mulai naik pitam.
“apa kamu bodoh ha?‼ harusnya kamu sadar bodoh‼ sadar kalau semua itu akan sia-sia…,” teriak Sofie
“eku enggak perduli…,” Lintang berjalan hendak keluar rumah.
“Lintang jangan bodoh‼,” kata Mamanya dan Sofie bersamaan.
“lintang‼‼” Sofie berbicara dengan nada tinggi untuk mencegahnya. Namun Lintang tidak menggubrisnya sama sekali. Bahkan Lintang kembali marah dan sebelum sampai didepan pintu dia langsung rubuh dilantai. Pamannya Sofie menembakkan jarum bius keleher Lintang dan langsung membawa Lintang ketempat yang aman.

Cassandra alias Cassanova sang pelaku sedang berdiri didepan meja kamarnya. Dihadapannya ada beberapa obat dan segeas air putih. Dia menatap laptopnya yang masih menyala dan menghampirinya. Dia kemudian membuka laci meja belajarnya dan mengambil sebuah foto. Foto dua orang remaja putri memakai baju SMA sedang tersenyum. Keduanya tampak bahagia sambil memegangi sebuah trofi berwarna perak, dan sebuah medali emas dileher masing-masing. Mereka berdua berwajah sama dan keduanya kembar identik.
“kamu yang sabar ya? tinggal satu orang lagi... satu orang lagi,” ucapnya pelan.
“satu orang lagi dan dendammu akan terbalas, sabar ya adikku, dan setelah itu kakak akan ke sana, kakak akan menyusul kamu… dan disana kita akan bersatu, kita akan berkumpul lagi dan tertawa seperti dulu, kakak sayang sama kamu, sangat sayang, kakak akan membuat mereka membayar semuanya! Semuanya! Semua penderitaan kamu dan kematian kamu! Dan penderitaan kita berdua‼” aku harap… kamu akan sadar siapa orang yang selama ini kamu kejar, aku juga ingin kamu bahagia, jangan sepertiku…

Di hall meeting FEB terjadi kehebohan dan keramaian karena seminar akan berlangsung sepuluh menit lagi. Para mahasiswa baik dari dalam kampus dan diluar kampus datang kesana. Diantara para mahasiswa yang datang ada beberapa polisi yang menyamar menjadi mahasiswa. Dan mereka (mahasisswa) tidak mengetahuinya. Sementara itu pamannya Sofie berada diluar gedung Hall Meeting, dia mencari tempat yang bisa digunakan untuk mengintai. Dia terkejut karena Cassanova datang ketempat itu dengan wajah yang biasanya. Dia memasuki gedung Hall Meeting dan diperiksa. Beberapa polisi menggeledahnya dan tidak ditemukan senjata sama sekali, sehingga mereka membiarkan Casanova memasuki Hall Meeting. Dan dia kemudian berpikir dua kali, apakah benar anak ini pelakunya.
“komandan…, Rusa sedang menuju sarang harimau,” ucap seorang anak buahnya melalui telepon. Pamannya memandangi Cassanova dengan menggunakan fokus yang ada disenjata apinya.
“pantau terus,” pamannya Sofie sedang gusar karena Cassandra yang begitu saja masuk kedalam.
“baik,”
Beberapa polisi mengikutinya yang duduk ditengah-tengah para peserta seminar. Sebagai panitia SC dia akan dengan tenang duduk diHall Meeting. Dia tersenyum melihat dua orang pria yang duduk dibelakangnya. Dia dengan tenang mengeluarkan handphonenya. Dia kemudian memperhatikan sekitarnya, mencari seseorang. Cassanova heran ketika melihat Sofie datang sendiri, dia tidak melihat Lintang di Hall Meeting. Dengan wajah agak kecewa dia memainkan handphonenya. Dia menghubungi nomer hape Lintang. Namun karena insiden tadi malam, hapenya Lintang dimatikan dan disembunyikan oleh Mamanya dilaci rumahnya. Sementara mereka berdua diamankan ditempat yang berbeda. Cassandra yang hanya mendapati nomernya tidak aktif langsung menegakkan wajahnya. Wajahnya terlihat memerah karena marah dan geram. Ia melihat ke arah Sofie yang sedang berjalan kesana-kemari. Tangannya mengepal dan ia duduk dengan tegang.
 Sementara ditempat yang lain Neci, sedang di brifing oleh beberapa panitia. Setelah selesai dia dibriefing oleh polisi yang semalam juga membrifingnya. Ia memakai jaket rompi anti peluru. Begitu juga dengan Firman Hasan. Mereka kemudian langsung memakai jasnya lalu Neci masuk ke Hall Meeting. Terdengar riuh tepuk tangan dari audience yang menyambut kedatangan Neci. Para panitia dan para anggota kepolisian yang ada disana sedang menahan degupan jantung mereka yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Akankah tragedi ini terjadi kembali? Didepan umum.
Mungkinkah?
Lintang baru saja tersadar dan langsung merasakan pusing dan rasa sakit yang luar biasanya diseluruh kepalanya. Dia berjalan terhuyung untuk mencari jalan keluar. Dia berusaha keluar dari kamar itu sambil mencari handphonenya. Tidak ada handphone yang ia bawa sejak semalam. Ia ingat bahwa semalam ia meletakkan hapenya diatas meja belajarnya. Yang ada malah sebuah pesan di sebuah kertas memo dari Sofie kalau handphonenya di bawa Mamanya. Dia berjalan dan menemukan sebuah I-pad, dia lalu mendapat kunci sepeda motor dan langsung menuju kampusnya. Dia ngebut dijalan raya dan hampir beberapa kali terjatuh karena kepalanya masih terasa pening akibat pengaruh obat bius yang semalam menancap dilehernya.
Sesampai dikampus, dia langsung memarkirkan sepedanya dengan sembarangan. Dia berlari sekencang yang ia bisa untuk menuju Hall Meeting FEB.  Dia menghentikan langkah kakinya tatkala melihat wajah seorang anggota polisi yang semalam datang kerumahnya. Dia langsung saja mencopot dan  meminjam topi serta kacamata baca milik seorang mahasiswa yang lewat tepat didepannya. Ia kemudian menghambur masuk menggunakan cocard peserta seminar yang dengan sengaja sejak tadi malam dia simpan disakunya.
Neci...., kamu harus keluar dari sini...., bisiknya dari dalam hati.
Lintang masuk kedalam Hall Meeting lalu membuka kaca matanya dan melihat Neci sudah ada didepan. Dia dengan wajah cantik dan kepandaiannya dia sedang memandu seminar. Lintang tersenyum, ia selalu mengagumi Neci karena hal ini. Menurutnya Neci  berbeda dari mahasiswi kebanyakan yang hanya mengandalkan cantik saja. Tapi Neci berbeda selain cantik dia juga pintar dan hebat.
Lintang masih berdiri dan mencari kursi yang kosong. Dia berusaha menghindari Sofie yang sedang menerima telpon dari seseorang. Lintang yakin kalau orang ditelepon itu mengatakan kalau dia kabur, benar saja Sofie melihat kesana dan kemari seolah mencari seseorang. Dan akhirnya Lintang duduk dibaris kedua, tanpa sepengetahuan Sofie. Ditempat duduknya Casanova tersenyum tipis melihat Lintang sudah masuk ke Hall Meeting. Dia masih saja memperhatikan Sofie yang seperti sedang mencari seseorang. Sebentar saja dia mengerutkan alisnya untuk berpikir. Kemudian ia menghidupkan layar handphonenya dan memandangi seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang bertanya dari tempat duduknya.
Sofie berdiri dan memandangi para peserta seminar dengan penuh keringat dinngin. Dia berlari menuju pintu dan mencoba menghubungi handphone Lintang. Dia baru sadar kalau handphone Lintang ia nonaktifkan dan tersimpan dikamarnya yang terkunci. Ia ingat jika ia meninggalkan Ipadnya, ia yakin anak itu membawa Ipadnya. Sofie lalu memandangi ruangan itu berkali-kali dan melihat kebeberapa peserta. Namun tetap saja ia tidak bisa menemukan Lintang sama sekali. Padahal ia yakin jika anak itu pasti kabur agar bisa menyelamatkan Neci dari sini. Sementara itu Lintang merendahkan tubuhnya yang tinggi agar tidak terlihat Sofie. Dia tersenyum lega karena Sofie masih saja khawatir padanya. Ia lega.
“Ya Allah… lindungi anak bodoh itu.... kemana dia ya Allah? Tolong lindungi dia ya Allah, jangan biarkan dia melakukan hal yang sanagt nekat sampai dia menjadi korban ya Allah, ya Allah… kamu dimana sih Lintang?? Tolong balas pesanku dong Lintang… kamu kenapa bisa sebodoh ini sih?” Sofie berlari keluar menuju parkiran, lalu mencoba menghubungi Ipadnya yang dibawa oleh Lintang.
“angkat bodoh narsis!!!! Angkat!!!! Dasar bodoh!!!!!,” hampir saja Sofie membanting handphonenya karena Lintang sama sekali tidak meresponnya. Sofie lalu memandangi Hall Meeting itu dari luar dan menghubungi Lintang kembali.
“kenapa kau tidak mengangkat telponku bodoh… apa yang ada didalam otakmu...,” tiba-tiba seorang mahasiswa yang tampaknya mengenal Sofie langsung menghampirinya dan nyeletuk.
“nunggu siapa Fie? Adik kamu itu?” tanya Galang sambil tersenyum sinis. Sofie langsung menghubungi Lintang  kembali, dan seperti tadi tidak akan dijawab dan akhirnya dia mengirimkan pesan suara. Dia tetap tidak menghiraukan mahasiswa bernama Galang tadi yang masih saja berdiri disampingnya. Dia tetap berusaha menghubunginya sambil bercucuran air mata. Berulang kali ia menghubungi Lintang. Namun berulangkali pula ia tidak mendapat jawabannya.
“Lintang bodoh... kamu dimana sekarang?! Lintang angkat… pliiiis angkat, Ya AllahLintang kamu dimana? Tolong angkat Lintang, kamu jangan nekat., kamu jangan bodoh Lintang... Bodoh... kamu dimana???” tumpah sudah air mata Sofie. Ia menangis sejadinya sambil tetap saja berusaha menghubungi nomernya yang ia pasang di Ipadnya.
“dia enggak akan mengangkatnya lagi Fie, dia akan tetap berusaha menyelamatkan Neci, Fie…, kenapa kamu selalu memperhatikan dia?” tanya Galang seolah dia marah kepada Sofie.
“kenapa?! Kamu mau marah?! Apa urusannya sama kamu? Apa karena aku terlalu memperhatikan dia dibanding ucapan sayangmu itu? Tapi maaf…,” selesai mengatakan itu Sofie langsung pergi.
“karena aku tau kamu pasti terluka, dia selalu menyakiti hatimu Fie, kenapa? Kenapa kamu membiarkan dia menyakiti hatimu, kenapa tidak sekali saja kamu menengok ke arahku? Yang tidak pernah menyakitimu,” Galang bergumam. Sofie mendengarnya dan berbalik lalu membalas ucapannya.
“aku bahkan sama dengannya, aku akan rela mati karenanya…, karena aku tidak lagi hanya mencintainya, aku sudah menganggapnya sebagai adik dan sahabat terbaikku, dan aku mengenal dia jauh lebih baik daripada aku mengenal diriku,” Sofie benar-benar pergi dari hadapan Galang.
Ditempat duduknya Lintang tersenyum bahagia namun dia tetap saja mencemaskan Neci. Namun betapapun cemasnya dia, dia tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya karena mendengar suara omelan Sofie. Kembali pesan suara dari Sofie masuk, dan dia mendengarkan melalui earphone yang terpasang ditelinganya.
“Lintang tolong beritahu aku... kamu sekarang duduk dimana?!! Beritahu aku... jawab aku...,aku sangat khawatir sama kamu..., kamu jangan nekat…, Lintang tolong balas pesanku..., jangan kamu lakukan hal nekat yang bisa membahayakan dirimu lagi Lintang…, Lintang bodoh..., tolong balas pesanku...,” namun kali ini Lintang merasakan ada sesakan tangis yang tersembunyi didalam pesan suara itu. Dia kembali menengok kebelakang dan ingin membalas pesannya. Tapi dia melihat Sofie yang sudah pergi dari Hall Meeting.
Cassanova melihat Neci dan memperkirakan jaraknya. Perlahan dia menyentuh layar handphonenya sekali lagi. Disebuah jendela, sebuah ruangan yang tidak pernah dipakai sebuah senjata api yang dikendalikan dari jarak jauh sedang mengarah pada Neci. Cassanova lalu menyentuh YES pada layar handphonenya dan Neci langsung terjatuh kebelakang dengan berlumuran darah. Lintang yang sedang ingin membalas pesan suara Sofie langsung berdiri dan berlari ke depan berteriak memanggil nama Neci. Para mahasiswa yang ada digedung itu langsung panik dan berebut ingin keluar. Sementara itu Lintang menentang arus mahasiswa dia berusaha menolong Neci yang terkena tembakan.
“NECI‼,” teriaknya sambil berlari berusaha menghampiri Neci
Sofie dan Zayn yang sedang berbicara serius didepan pintu Hall Meeting terkejut lantaran mendengar suara tembakan. Mereka berdua langsung berlari menentang arus mahasiswa yang sedang berlarian menyelamatkan diri dari insiden tersebut. Zayn yang baru tahu apa yang sebenarnya terjadi langsung berlari dengan cepat meninggalkan Sofie. Dia pasti sedang berusaha menyelamatkan Neci yang mungkin saja tertembak.
“Lintang…, kenapa kamu? Kenapa kamu menyia-nyiakan semua yang dilakukan Sofie untukmu?” gumam Cassanova
Casanova geram melihat ulah Lintang. Dia mengarahkan senjata itu pada Neci sekali lagi. Dan tragisnya tembakan yang seharusnya mengarah kepada Neci malah mengenai pundaknya. Lintang menahan lukanya dan berusaha mendekati Neci yang bersimbah darah. Saat dia menghampiri panggung sebuah tembakan mengarah tepat didada kirinya dan Lintang langsung tersungkur sambil memegang dadanya yang kini terasa sesak dan perih. Casanova langsung keluar dari Hall Meeting dan menghilang begitu saja. Bahkan polisi yang mengikutinya kehilangan jejaknya.
“Lintang…,” Sofie tiba-tiba merasakan sesutu yang buruk pada Lintang. ia melihat Cassanova yang berjalan keluar dari Hall Meeting. Ia menghiraukannya dan memilih masuk ke Hall Meeting.
Sofie yang melihat kondisi seluruh mahasiswa yang seperti itu langsung berlari menyibak arus kerumunan mahasiswa yang berebut keluar. Sofie berlari dengan lambat menghampiri panggung, mengingat tubuhnya yang mungil sulit baginya untuk masuk kesana dengan mudah. Dari kejauhan dia melihat Lintang yang tergeletak di panggung sambil berlumuran darah. Tanpa pikir panjang Sofie langsung melepas jas almamaternya dan menutup luka tembak itu dengan jasnya.
“Fie…,” Lintang berbicara dengan lemah sambil mengggenggam tangan Sofie. Sofie diam saja sambil mengucurkan air mata dan berusaha meminimalisir pendarahan dengan jas almamaternya.
“jangan bicara lagi…,” Sofie menangis tanpa henti. Tangannya dan jasnya dipenuhi dengan darah yang keluar dari luka tembak Lintang. Lintang hendak menggerakkan bibirnya untuk berbicara.
“tolong… jangan bicara lagi… aku tidak mau kehilangan kamu lagi…,” kata Sofie sambil mengucurkan air matanya. Lintang memandangi Sofie dengan pandangan matanya yang mulai kabur. Tanpa ia sadari air matanya perlahan meleleh dan keluar begitu saja. Ia melihat Neci yang sedang duduk disebelah orang yang paling ia benci sekarang dan seumur hidupnya. Ayahnya dan Kakaknya. Tiba-tiba pandangan matanya gelap dan ia tidak mendengar apapun lagi. Sunyi dan sepi.
“LINTANG‼‼ bangun…,” Sofie berteriak saat Lintang tidak sadarkan diri.
“kenapa lama sekali?! Apa sengaja ingin dia mati? Ha‼” teriaknya.
Tak lama kemudian ambulance datang dan membawa Lintang masuk kedalam mobil tersebut. Ia berjalan memperhatikan petugas yang mengangkat Lintang ke ambulance. Disebelahnya Neci sedang terduduk dan sedang ditenangkan oleh kak Zayn dan beberapa panitia perempuan yang lain.  Neci  tidak terluka karena sebelumnya ia memakai rompi anti peluru. Tapi dia shock berat. Sofie menatap tajam Neci yang selalu memandanginya dengan mata shocknya. Sofie langsung masuk kedalam ambulance dan menunggui Lintang yang sedang dibaringkan dan dipasangi selang oksigen. Ia menangis kembali.

“Lintang... bodoh... apa yang sudah kamu lakukan...,”
Dia berjalan dengan tidak tenang didepan ruang operasi. Dia hilir mudik kesana kemari karena khawatir. Sofie tidak bisa menangis begitu melihat kenyataan kalau Lintang menjadi satu-satunya korban insiden hari ini. Sementara Neci yang ingin ia tolong malah tidak terluka sama sekali. Dia tahu bagaimana isi hati Lintang selama ini. Rasa sakitnya selama ini. Mengejar cinta seorang perempuan yang tidak pernah sama sekali memandangnya sebagai seorang yang ada didekatnya. Dan ia sekarang bersama Zayn, saudara seayah dan sebiologis dengan Lintang. Mau rasanya ia menampar Neci jika saja dia tidak menjadi korban diseminar tadi pagi.
“Ya Allah berikan kekuatan pada Lintang, dia harus bisa bertahan ya Allah… ya Allah… dia adalah karunia terindah yang ada dihidup kami semua, seorang anak yang lahir tanpa dosa dan sekarang harus lagi memikul lara yang tidak ada habisnya… aku mohon jangan tinggalkan dia ya Allah… aku mohon... tolong jangan ambil dia dari sisi kami…,” ucapnya sambil tertunduk dikursi tunggu didepan ruang operasi. Air matanya meleleh dengan deras mengaliri kedua pipinya dan membasahi hijabnya. Zayn duduk disampingnya dengan Neci yang juga bercucuran air mata.
“seandainya aku tau ini sejak awal, seharusnya aku yang mencegahnya, dan hal ini tidak akan menimpanya, seharusnya aku tidak merenggangkan hubungan kami yang begitu kental lebih dari darah, harusnya aku juga melakukan hal yang sama…,” kata Zayn.
“tapi kata-kata kakak sudah tidak berguna lagi kan?” ucap Sofie dengan suara serak.
“aku tau itu… tapi aku juga tidak bisa melakukan apapun meski aku tahu hal itu…,” ucapan Zayn terdengar lebih seperti suatu hal yang ingin ia laksanakan tapi sama sekali tidak bisa terrealisasikan. Seperti sebuah pengakuan atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat.
“aku juga minta maaf… ak-aku tidak bermaksud…,” ucapan Neci terpotong karena kalimat yang keluar dari kedua bibir Sofie yang sudah tidak bisa ditahan lagi.
“seandainya kamu sadar sejak awal mengenai apa yang kamu perbuat Lintang tidak akan pernah seperti ini… cuman gara-gara kamu dia rela mengorbankan nyawanya dan sekarang kita tidak tau apa dia masih bisa bertahan atau tidak, seandainya kamu dari awal sudah tahu kalau kamu hanya akan menjadi sakit untuk hatinya, seandainya kamu sadar… dia tidak akan seperti ini…,”
“apa maksudmu?” tanya Neci yang masih tidak mengerti sama sekali mengenai apa yang dibicarakan oleh Sofie.
“kamu penyebab Cassandra membunuh Dion dan Sandhi, dan kamu juga penyebab semua ini‼,” teriaknya dengan emosi yang meluap-luap.

Casanova duduk mengunci kamarnya dan membuka laptopnya. Dia memandangi foto seorang yang sedang merangkul dirinya. Fotonya dengan Cassandra saat masih hidup dulu. Dimejanya ada foto Neci yang sudah ia coret-coret dengan spidol merah. Ia memandangi sebotol obat berwarna merah yang ada didepannya. Ia mengambil foto adiknya dan memeluknya.
 “sudah seribu hari dari kematianmu Cassandra hari ini aku sudah mempersembahkan kematian Neci untukmu, aku sudah membalaskan dendammu…, dan aku ingin menyusulmu adikku sayang, kakak akan datang dan memberi kabar bahagia ini padamu tentang kematian mereka semua.... sebentar lagi aku menyusulmu,” Cassanova meminum beberapa butir obat yang ada dimejanya setelah itu ia meletakkan botolnya di meja. Dia menyandarkan kepalanya kesofa dan tangan kirinya yang menggenggam foto Cassandra terkulai lemas dan foto itu terjatuh dilantai dan bingkainyapun pecah berserakan.

Sofie sedang duduk menunggu dengan cemas operasi pengangkatan proyektil peluru dari tubuh Lintang. Dia berdiri disamping mamanya Lintang yang sudah berbicara dengan dokter yang tadi mengoperasi lintang. Sementara kedua orang tadi entah sudah kemana perginya. Ia bahkan tidak ingin melihat wajah mereka lagi.
 “alhamdulillah peluru itu, dua-duanya sudah bisa kami keluarkan dari tubuhnya,” kata dokter
“syukurlah…,” ucap mamanya Lintang dengan tenang.
“setelah melewati masa krisisnya malam ini kemungkinan dia akan sadar,”
“loh tapi bukannya tembakan itu tepat dijantung kan Dokter?” tanya Sofie
 “sepertinya Lintang adalah seseorang yang sangat istimewa... Allah pasti sangat menyayanginya, bukan begitu bu? karena sepertinya sejak kecil dia memiliki kelainan, begini…, jantungnya yang seharusnya ada didada sebelah kiri malah ada disebelah kanan..., jadi kelainan itu menyelamatkan nyawa Lintang,” kata Dokter itu.
“jadi....?” Lintang memiliki kelainan pada jantungnya
“iya..., itu benar Fie, jantung Lintang ada disebelah kanan, Lintang pasti selamat..., setelah dia melalui masa krisisnya malam ini dia bisa sembuh total,” ibunya Lintang tersenyum memandangi Sofie yang masih tidak percaya. Dia melongo dan sekarang dia baru tahu kenapa Lintang selalu meletakkan tangannya didada kanan saat dia mengatakan hal tentang hatiku, jantungku dan sebagainya. Jadi karena itu, karena sejak awal dia sudah sadar jika jantungnya ada disana.
Sofie menggantikan Mamanya Lintang untuk berjaga. Mamanya sendiri juga menemani Mamanya Lintang pulang kerumah. Sofie lalu menjenguk Lintang yang masih tertidur karena pengaruh obat bius. Sofie lalu duduk dan tersenyum memandangi wajah tertidur Lintang. Ia hendak menyentuh rambutnya, namun urung ia lakukan.
“meskipun pingsan, kamu tetap terlihat sangat narsis, matamu mata narsis, senyummu juga narsis, apalagi wajahmu in… sangat narsis, Lintang-Lintang bisa gak sih kamu enggak buat orang jadi khawatir? bahkan sekali ini saja, bisa enggak sih kamu,” Sofie tersenyum melihat Lintang yang tertidur.
“bahkan walaupun kamu bodoh, nekat, narsis, dan terkadang egois, kenapa kamu tidak berhenti membuatku khawatir? kenapa kamu tidak menuruti permintaanku saja? pasti kalau kamu turuti kamu tidak akan seperti inikan? Hemmm? dasar anak bodoh, “ Sofie menguap dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Dia akhirnya menunggui Lintang sampai tertidur dan menelungkupkan wajahnya disebelah tangan kanan Lintang. Pagi harinya, Sofie terbangun dan melihat Lintang sudah terbangun dan tersenyum aneh. Lalu ia tertawa kecil padanya.
“seharusnya yang menjaga aku itu kamu, bukan aku yang menjaga kamu, aku yang sakit malah aku yang menjagamu… kau ini bagaimana? Sampai-sampai aku harus makan sendir, seharusnya kan kamu tahu kalau bekas jahitan operasi ini masih sakit, malah aku harus makan sendiri, padahal kan pundakku masih sangat sakit sekali,” Lintang tersenyum dan melirik Sofie
“memangnya kenapa? Enggak boleh? Aku juga lelah tau!! Empat jam nunggu kamu di operasi dan balik ke sini tengah malam,” Sofie sewot.
“ya gak boleh, apa kamu tidak khawatir kalau nanti aku, Lintang teman spesialmu ini akan meninggalkan kamu untuk selamanya, untung saja Tuhan berbaik hati meletakkan jantungku disini, kalau tidak kamu udah nangis atau bahkan pingsan mungkin didepan makam aku...,” ucap Lintang sambil meletakkan telunjuknya didada kanannya.
“siapa yang khawatir? Enak aja!! kalau bukan karena kita berteman sejak kecil aku enggak bakalan ada disini,” Sofie berusaha berkilah. Mengingkari apa yang memang sebenarnya ia rasakan. Khawatir.
“hm… sudah bilang saja kalau kamu hawatir… waktu aku sakit demam berdarah waktu TK dulu kamu juga nungguin aku bermalam-malam dan bilang kalau khawatir sama akukan?” lata Lintang dengan senyum devilnya.
“oon‼ itu kan kita masih kecil banget, dan itu emang karena kau kasihan sama kamu yang tiap hari nangis terus…, aneh kamu ini‼,”
“berarti beda dong dengan yang kemarin malam? yang bilang kalau kamu masih terlihat narsis walau tidur, mataku narsis senyum ku narsis, terus yang bilang kalau aku selalu buat kamu khawatir, terus yang minta pesannya supaya diangkat terus yang minta supaya enggak nekat tadi siapa hayo... siapa hayo?” tanya Lintang sambil tertawa kecil dan sesekali mengangkat kedua alisnya. Dan kalimatnya barusan berhasil membuat wajah Sofie seperti kepiting rebus yang kemudian di goreng. Merah padam.
“jadi kamu pura-pura tidur semalam?! Masya Allah‼! Nih anak jailnya enggak ilang-ilang ya? Lagian kenapa sih? enggak bisa ya kamu sekali aja enggak bodoh enggak nekat dan enggak membuat orang bingung nyari kamu sampai khawatir banget sama kamu? bisa enggak sih?” Tanya Sofie dengan kesal
“enggak bisa..., soalnya aku suka buat kamu jadi begitu....,” kata Lintang sambil tersenyum manja.
“dasar!!!,”
“dasar apa? Dasar aku ganteng kan? Iya kan? Eh... tapi aku udah gantengkan?” Lintang tertawa dan Sofie yang kesal lalu mencubit lengan kirinya
“dasar tukang narsis!!! Bisa enggak sih sehari enggak narsis,”
“gak bisa, aw.. sakit... aw...,aw... ,” Lintang memegangi pundak kirinya yang sakit, dan Sofie tampak sangat khawatir
“maaf... masih sakit ya? Maaf... ya... aduh... maaf banget...,”
“tuh kan khawatir...ya kan ya kan?  bilang aja kalau suka sama aku? Iya kan?” Lintang tersenyum sambil mengangkat alisnya
“ih enggak...,” Sofie berkilah lagi
“kamu suka sama aku kan?” tanya Lintang dengan senyuman yang seperti biasanya.
“enggak!!
“bohong, enggak bohong maksudnya,” Lintang kembali menggodanya.
“ih udah diberi tahu juga,” Sofie ngeles
 “ye…, ngeles…,aduhh-duhh,” Lintang kembali memegangi pundak kirinya yang sakit, dan Sofie tampak sangat khawatir
“tuh kualat kan?”
“iya-iya maaf, tapi beneran lho ini jahitannya masih sakit..., eh, tapi benerkan? Kamu suka sama aku?” tanya Lintang sekali lagi.
“siapa juga yang suka sama orang narsis setengah gila kayak kamu, kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sih? Ngipi apa kamu selama kena obat bius?” tanya Sofie. Dia memang merasa aneh karena baru pertama kalinya Lintang mengatakan hal yang tidak pernah ia katakan sama sekali padanya. Sejak kapan ia menyadari bagaimana perasaannya yang sesungguhnya? Dan dari siapa?
“aku… selalu berusaha untuk tahu makanya aku nanya itu ke kamu…,”
“enggak dikasih tahu Cassandra kan?” Sofie berusaha menebaknya. Bukan karena dia cemburu, tapi memang karena selama ini Lintang sangat dekat dengan Cassandra alias Cassanova. Terlebih dia tahu betul latar belakang Cassnova yang sebenarnya. Jadi tidak mustahil jika ia memberitahu Lintang.
“bukan…,” Lintang berusaha berkilah.
“jangan bohong! aku udah tau semuanya, iya semuanya, semua yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Cassanova, aku tau apa yang kamu ingin tanyakan? Dari mana aku tau hal itukan?”
“iya…, darimana kamu tau? Padahal selama ini kamu di Sukabumi…, kenapa kamu bisa tahu?”
“dia itu sama sepertiku, jadi aku bisa tahu dengan mudah apa yang dia pikirkan dan apa yang kalian bicarakan jika bertemu, aku tahu kalau kalian tidak mempunyai perasaan khusus seperti kamu ke Neci, dan juga sebaliknya, dia menganggapmu sebagai copian dirinya, bahkan lebih parah darinya,”
 “seharusnya aku juga memperhatikan ucapannya dulu…, jika saja aku memperhatikannya tidak akan seperti inikan jadinya? Kalau saja sejak awal aku percaya sama kamu, pasti dia tidak akan melakukan itu sama Neci…, dan sekarang aku baru sadar kalau kamu itu selalu khawatir padaku, ternyata aku juga menjadi orang yang kejam juga ya? Padahal selama ini aku selalu menganggap orang lain kejam pada diriku sendiri” Lintang berusaha duduk, dan Sofie membantunya. Sofie masih diam mendengar ucapan Lintang. Ia anggap itu sebagai ucapan atas kesadarannya selama ini. Ia senang jika pada akhirnya Cassanova yang ternyata membuatnya membuka mata akan kenyataan yang harus dia pilih. Sehingga dia tidak akan lagi menyakiti hari dan perasaannya lagi.
“tapi benerankan kalau kekhwatiran kamu itu bukan hanya kekhawatiran yang biasa? Bukan karena kamu sayang sama aku?” tanya Lintang sembari menatap tajam kedua bola mata Sofie.
“itukan karena aku sudah menganggapmu sebagai adik…,” ucap Sofie.
“ jangan bohong…, karena aku serius tanya sama kamu...., aku sekarang lagi enggak main-main...,” ucapnya dengan nada serius.
“emangnya yang kemarin-kemarin bohongan ya?,”
“tuh kan ngambek...,” kata Lintang
“siapa juga yang ngambek…, orang aku minta penjelasan,” ucap Sofie
“berarti benarkan dari dulu kamu itu sudah suka sama aku.., hah.. kalau tahu gitu dari dulu aku nembak kamu aja...,” dia menarik napas yang panjang.
 “tapi seandainyapun kamu benar suka sama aku, aku tidak bisa menjamin kalau kita akan bahagia, satu kamu baru kalau jantungku ini tidak normal dan itu membuatku dan Mama berusaha untuk terus membuat jantung ini tetap berdetak, sekalipun bisa selamat karena ada disini… tapi konsekuensinya juga tidak mudah… aku akan dengan mudah hilang selamanya dari edaran bumi ini,
 “tapi perasaanku yang sebenarnya aku juga baru sadar sekarang, aku tidak bisa hidup tanpa kamu, kalau kamu tidak ada rasanya tidak ada yang menjadi pegangan dalam jalan hidupku, hampa dan gelap, seandainya aku sudah tahu dari dulu perasaan ini lebih dari sekedar teman aku pasti akan terus melindungimu, dan tidak akan membuatmu khawatir seperti ini, dan juga kamu harus tahu banyak hal lagi mengenai penderitaan yang masih bertumpuk dan belum terurai jika hidup denganku nanti,
“salah satunya adalah aku tidak mungkin memberikan harta apapun jika kita seandainya kita benar-benar menikah, aku tidak tahu darimana kamu tahu kalau Zayn adalah kakak tiriku, sedarah denganku dan karena itu kamu tidak bisa mengharapkan harta apapun dariku karena aku ini hanya anak orang biasa-biasa, anak orang miskin yang kuliah karena beasiswa prestasi..., aku ini orang yang tidak punya apa-apa...,
“hidupku ini juga tidak mudah, kalau ini kamu pasti sudah tahulah… karena kita juga sama, aku yang harus bersembunyi demi kebaikan orang tuaku, dan juga kamu, ditambah lagi nantinya kita akan menjadi orang yang hidup dalam pelarian, tapi hanya itu yang aku punya, karena kau memang tidak punya apa-apa, tapi aku janji aku akan menjadi orang yang lebih baik nantinya dan aku juga akan menjadi orang yang bertanggung jawab dan aku akan bersikap lebih dewasa lagi, aku juga berjanji tidak akan membuat kamu kecewa dan membuat kamu khawatir lagi, aku menyayangimu Fie,” Lintang memegang erat tangan Sofie. Beberapa butir air mata menggantung dikedua sudut matanya.
“sejak kita kecil kita berdua tahu problem kita masing-masing..., ayahmu yang meninggalkanmu dan kau harus bersembunyi..., ayahku dan kakekku tidak mau mengakuiku hanya karena aku anak perempuan..., ibu kita yang sama-sama single parent..., aku tidak pernah berharap mendapat apapun…, sama sekali tidak pernah, karena aku tahu bagaimana rasanya memikul penderitaan yang begitu besarnya selama ini…, rasanya sakit dan berat, apapun itu aku akan menerimanya dengan rela…, aku senang karena Cassanova yang memberitahumu…, artinya dia sebenarnya sangat sayang sama kamu…, dia tidak ingin kamu terluka seperti ini, sama seperti aku…,” kata Sofie.
“ terima kasih....,” sepertinya ada sesuatu yang berat mengiringi perkataanya dan terdengar sebagai tangisan. Tiba-tiba saja mamanya Lintang dan Bu Mira membuka pintu dan mengagetkan mereka berdua. Mereka berdua salah tingkah dengan sendirinya sambil senyum-senyum malu karena ketahuan mamanya Lintang dan salah satu dosen mereka yang terkenal killer.
“mama.... kenapa enggak ketuk pintu dulu..., kan aku terkejut ma,” Lintang kembali membuat mamanya tersenyum.
“oh iya mama lupa..., maaf...,” ucap mamanya
“bagaimana kondisi kamu sekarang? Baikan?” tanya Bu Mira. Dia duduk sambil mengelus bahu Sofie. Dia tersenyum memandangi Sofie dan Lintang.
“agak baikan bu…,” jawab Lintang.
“kalau memang kalian sudah mantap…, langsungkan saja…,” ucap dosennya itu. “jangan memperbanyak dosa, seperti yang ini…,” Bu Mira langsung melepas telapak tangan Sofie yang masih digenggam oleh Lintang. Bu mira tersenyum kepada mereka berdua. Dan langsung membuat wajah mereka berdua seperti kepiting rebus.
“jangan berbuat dosa ya? Ibu pergi dulu ya Lintang…, Sofie…, cepat sembuh ya? Assalamu’alaikum,” bu Mira tersenyum sambil melambaikan tangan dengan ramah. Suatu pemandangan yang tidak pernah mereka temukan jika dikampus.
“oh ya kondisi Neci gimana? Dia baik-baik aja kan?” tanya Lintang pada mamanya.
“dia baik-baik aja...., malah sama Zayn dan Nana,” jawab mamanya
“o..., Nana?! Apa dia sudah sadar?” sepertinya Lintang agak kecewa namun dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan dia memaksakan senyumnya kepada mamanya lalu memandangi Sofie. Sofie tahu maksudnya dan tersenyum memandangi Lintang, berusaha membesarkan hatinya. Tak berapa lama omanya Lintang, mamanya papa Lintang masuk keruangan inap Lintang. Dengan wajah yang menyeramkan dia melemparkan dua buah tiket pesawat terbang ke atas ranjang rawat Lintang.
“ini tiket ke Swiss, pergilah berobat kesana dan akan aku tanggung biaya hidup kalian berdua,” katanya dengan tegas tak terbantahkan. Itu dulu, dan sekarang berbeda lagi.
Lintang diam saja melihat kedua tiket pesawat terbang itu. Dia beralih memandangi omanya yang menampakkan wajah kesal dan berangnya. Lama sekali Lintang memandangi omanya yang masih tegak berdiri didepannya ini. Terkadang dalam hatinya ia berharap jika omanya ini segera mati saja. Tapi ia sadar jika hal itu tidak baik untuk ia minta pada Allah SWT.  Tapi disisi lain ia sebenarnya sangat sayang kepada Omanya ini. Seandainya ia boleh bilang, ia ingin merasakan kasih sayang yang sama seperti Zayn. Tapi itu mustahil baginya. Omanya sudah terlanjur membecinya sampai ke ubun-bubunnya.
Sofie yang baru pertama kali melihat omanya Lintang diam melihat wanita itu. Ini benar-benar baru pertama kalinya  ia bertatap muka dengan seorang wanita ningrat yang kejam ini. Ia memperhatikannya dari ujung rambut sampa ujung sol sepatu yang ia kenakan. Sementara mamanya Lintang berusaha tegar menghadapi mamanya Firman Hasan ini. Ia tidak ingin banyak bicara, karena toh semua juga akan percuma saja akhirnya. Oma kembali melanjutkan ucapannya lagi.
“aku tidak ingin kalian menampakkan wajah kalian didepan anakku dan keluargaku lagi jika kalian ingin bahagia, oh ya kamu! jangan berusaha menjadi pahlawan kesiangan untuk Neci, bagaimanapun Neci itu...,” belum selesai omanya berbicara Lintang langsung menyahut.
“bagaimanapun Neci itu adalah tunangan cucu anda Zayn Hasan bukan? Nyonya Hasan yang terhormat… anda tenang saja… aku dan mamaku tidak akan mendekati mereka sesentipun, apalagi meminta uang dari kalian semua… tidak akan pernah… itu tidak akan pernah terjadi, jadi sekarang silahkan anda keluar dan ambil tiket ini kembali, kami tidak butuh ini sama sekali, jadi silahkan anda ambil kembali tiket dan uang anda ini, karena kami ini bukan pengemis,” Lintang tidak mau kalah.
“berapa lama kalian bisa hidup tanpa uang dari kami? aku sangat ingin melihatnya,” mendengar hal itu Lintang langsung naik darah, sambil menahan sakit di bekas operasinya yang berdenyut. Lintang memandangi omanya dengan wajah merah. Sejak dulu hal ini yang selalu ingin katakan hal yang selama ini dia dan mamanya simpan sendiri. Kenyataan pahit dan ketegaran yang selama ini ia jalani.
“apakah anda selalu berpikir bahwa selama dua puluh tahun ini kami menggunakan uang dari anda?! Tidak sama sekali, mama selalu mengembalikan semuanya ke rekening papa, jadi selama ini nyonya pikir kami hidup dengan uang nyonya?! Oh…, Tidak sama sekali…, jadi silahkan anda pergi dari sini dan lebih baik anda jangan kembali kehadapan kami jika ingin kami tidak menyampuri urusan keluarga anda… silahkan anda pergi dari sini pintu rumah sakit terbuka lebar untuk anda keluar dari tempat ini,”
“jangan merasa hebat dulu nak, Nah kita lihat sejauh mana kalian bisa bertahan…,” dia pergi dengn kemarahan yang sudah memuncak.
Lintang memegangi dadanya yang masih sakit dan memandangi neneknya dengan pandangan penuh amarah. Neneknya juga langsung pergi begitu Lintang menyelesaikan perkataannya tadi. Sofie terdiam dan beralih memandangi wajah Lintang yang menjadi semu merah. Lintang menghela napas dan melihat Sofie yang sedang serius menatap wajahnya sejak tadi. Mamanya lalu pergi keluar, katanya ingin menemui dokter. Sementara Lintang melihati Sofie tanpa mengejutinya sama sekali.
“udah puas lihatinnya?” tanya Lintang sambil tersenyum.
“hem? Apa? Siapa yang lihatin wajah kamu? aku cuman berpikir kalau ternyata kamu itu jeleeeek banget kalau marah, merah seperti rajungan rebus, aku lebih suka kalau kamu narsis..., kelihatan lebih menggemaskan,” kata Sofie sambil tersenyum seperti anak kecil.
“oh ya? Masa sih? Terus menurut kamu oma aku itu gimana? Siap ketemu sama dia teruskan? setiap kali kita bertemu dengannya loh, apalagi kita satu kampus sama Zayn,” tanya Lintang
“harusnya kamu juga tanya bagaimana dengan kakekku…, dia dan kegalakannya jauh melebihi nenekmu dan mungkin juga akan membuatmu ketakutan,” kata Sofie
“tapi lebih menakutkan suara kamu pas kamu bilang bodoh kamu dimana?! Angkat telponku sekarang..., jangan nekat bodoh....,” Lintang tersenyum
“ ya sekarang aku sadar aku ini sangat bodoh, kalau aku tahu Neci menggunakan rompi anti peluru dan juga kalau ada kak Zayn, aku akan tenang-tenang saja, diam dirumah dan makan dengan kenyang... hhhh... kenapa baru sekarang kau tahu kalau dia itu saudara tiriku? sekarang aku juga bertemu dengan oma......, aku harus dirawat dirumah sakit dan aku membuat kamu khawatir lagi...,”
“menyesal nih ceritanya...,” kata Sofie
“tergantung.... tergantung kamu mendengar dari segi siapanya....,” Lintang tersenyum manis, dan Sofie juga membalas senyumannya. Tiba-tiba saja beberapa teman sejurusannya datang mengejutkan mereka berdua. Termasuk kedatangan Galang dan Zayn serta Neci.
“hayo.... ketahuan sekarang kamu Sofie... jadian sama adik kamu kan? Adik Lintang...., yah... enggak papa sih kalian berdua..., emang cocok banget,” ucap Galang.
“jadi... kedatangan kita ganggu gak nih....,” ucap Kak Zayn sambil tersenyum.
“ganggu banget Kak...., heheheemmmm,” kata Lintang sambil menahan tawa. Kata Kakak yang selama ini Zayn harapkan keluar dari mulut Lintang akhirnya keluar juga. Ia sangat sayang padanya karena dia memang berbeda dengan Omanya. Ia sangat menyayangi adiknya tirinya ini, Lintang.
“oh, Neci juga ikut…,” ucap Lintang pelan.
“sorry ya sebelumnya orang yang kamu sukai aku ambil dulu, soalnya aku tidak tahu…, kalau aku udah tahu dari dulu mungkin akan berbeda ceritanya…,” ucap Zayn sambil berusaha tersenyum. Neci juga berusaha untuk tersenyum meski akan berbeda dari sebelumnya.
“enggak papa, aku juga udah punya gantinya,”kata Lintang sambil melirik Sofie.
“ehm… aku pergi sebentar, aku harus ke toilet, permisi,” Sofie langsung berjalan keluar ruangan rawat dan menutup pintu. Ketiga orang itu memandangi Lintang yang sedang berbaring.
“maaf ya sebelumnya… aku bener-bener minta maaf,” ucap Neci
“aku udah nglupain itu semua…, asalkan seterusnya aku bisa hidup bahagia tidak masalah kan? Bukan begitu Zayn?” tanya Lintang. Zayn terkejut karena dia kembali mendengar Lintang menyebut namanya lagi, bukan Kakak.
“maaf, seperti yang aku bilang pada nenek, aku tidak akan menganggapmu sebagai keluarga lagi, aku sudah menemukan kebahagiaanku, bahagiaku yang baru aku sadari tempatnya, orang itu, aku sudah terlalu sering membuatnya menangis… dan aku ingin dia bahagia,” kata Lintang.
“aku yakin kamu akan membuatnya bahagia,” kata Galang dengan senyuman seperti biasanya.
“hei‼‼ aku punya kejutan buat kalian,” tiba-tiba Sofie membuka kamar rawat Lintang. Sedetik kemudian seorang mahasiswi cantik memasuki ruangan tersebut sambil menaiki kursi roda. Nana Aname, yang beberapa bulan lalu sempat koma sudah sadar.
“hai Lintang! hai semuanya!,” Nana tersenyum ceria meski duduk dikursi roda.
“jadi apa yang melakukan hal itu ke kamu itu Cassanova?” tanya Zayn pada Nana.
“lah apa kamu tidak bercerita sama mereka Fie?” tanya Nana kepada Sofie yang sedang duduk di sofa. Dia terkejut karena mendengar namanya disebut. Padahal dia sangat ingin tidur sejenak sudah hampir tiga hari dia tidak tidur sama sekali untuk menjaga Lintang.
“iya…, darimana kalian berdua tau kalau yang malakukannya itu Cassanova?” tanya Zayn.
“kalian belum mendengar ceritanya dari Sofie?” tanya Nana
“udah Fie ceritain aja…, lagipula dia juga udah enggak ada kan?” ujar Nana.
“oke…, tapi aku bingung harus cerita dari mana…, oke gini…, aku udah curiga sama dia sejak rapat pagi di kantor BEM…, sehari sebelum rapat aku lihat kukunya Cassanova yang halus tiba-tiba hari itu patah, dan pas bertepatan dengan kematian Dion…, terus juga dia itu sebenarnya adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa yang berkasnya tertukar dengan pasien yang lain, kata pamanku sebelum dia masuk rumah sakit jiwa dia juga pernah membunuh kedua teman dekatnya dan hampir dihukum mati,
“dan juga saat berkunjung kerumahnya, Nana nggak sengaja menemukan sebotol obat berwarna putih yang berbeda dengan obat aspirin biasa…, dan setelah diteliti ternyata itu adalah obat untuk penenang syaraf…, itulah kenapa selama ini dia terlihat biasa saja didepan kita semua…,” Sofie menghentikan ceritanya karena Lintang menyelanya. Sofie menguap berkali-kali karena kantuk berat.
“dan karena itu dia berusaha melenyapkan kamu yang sudah tau rahasianya itu…, rahasia jika sebenarnya dia itu adalah orang yang tidak waras dan berusaha membunuh orang…, tapi aku heran kenapa dia mengincar sepupu kakak dan juga kamu? Apa alasannya?” tanya Lintang kepada Nana.
“semua itu Sofie yang tahu…, aku cuman tau masalah obat dan riwayat rumah sakit jiwa aja…,”
“Fie cerita dong…,” semua orang yang ada diruangan itu memaksanya untuk bercerita mengenai kenyataan yang sebenarnya tidak ingin ia ceritakan. Ia yang tengah mengantuk berat kembali bercerita.
“motifnya itu sederhana…, dia itu dendam sama kak Zayn dan Neci, Kak Zayn itu dulu pacarnya Cassandra, iya kan kak Zayn? Aku mati-matian menyelidiki ini sama kepolisian selama semingu loh…,  adiknya tewas…, iya kan Kak? Sesudah kakak pindah kemari dan mengatakan putus Cassandra meninggalkan? dan Cassanove membalas dendam ke orang-orang yang dia anggap memiliki hubungan dengan kematian adiknya,” kata Sofie, dia menguap sekali lagi.
“apa adiknya mati bunuh diri?” tanya Galang
“heem, dan dia berjanji untuk membalas dendam, setelah berusaha membunuh Neci waktu seminar dan juga dia tidak sengaja menembak Lintang setelah itu dia bunuh diri dengan mengkonsumsi obat tidur dalam jumlah yang banyak,” mendengar penuturan Sofie semua orang didalam sana terkejut. Nana juga heran karena menurutnya Lintang tidak ada hubungannya dengan Neci dan Zayn. Mereka memandangi Sofie dengan sejuta pertanyaan.
“aku juga baru tahu saat terjadi insiden penembakan di Hall Meeting,” kata Zayn.
“dari hasil rekonstruksi kepolisian…, senjata itu digerakkan secara otomatis lewat sebuah software yang sudah dirancang khusus oleh Cassanova…, sebenarnya senjata itu hanya diarahkan pada Neci, tapi karena Lintang berusaha menghalanginya maka dia terkena tembakan itu…, ya…, karena itulah kenapa tidak ditemukan sidik jari pada senjata itu…, dan kematian kak Sandhi juga kak Dion entahlah bagaimana kejadiannya aku tidak tahu, dan juga karena Nana sudah siuman sebelum seminar berlangsung dia memberitahu kepolisian guna pengintaian dan hasilnya kemarin itu…,” ucap Sofie. Mereka semua memandangi Sofie sambil melongo dan tidak percaya dengan keterangan yang ia berikan. Lintang dan Nana tersenyum melihat Sofie yang sudah duduk diatas sofa. Sofie menguap beberapa kali, ia kemudian tertidur dengan sangat lelap. Setelah semua orang yang menjenguknya keluar, Nana mendekati Lintang.
“ada sesuatu yang aku mau tanyain ke kamu sejak aku sadar dari koma,”
“apaan…,” jawab Lintang
“aku jadi heran kenapa orang yang begitu dekat dengan Cassanova seperti kamu tidak menjadi sasarannya, kalau mendengar pernyataan dari Sofie tadi Cassanova pasti kecewa dengan apa yang kamu lakukan…, terlebih Sofie juga memberitahuku mengenai Cassanova yang sudah membuatmu sadar dengan perasaanmu yang membuatmu bingung kan? Iya…, aku udah tahu hal itu, Cassanova juga memberitahu Sofie mengenai perasaannya sendiri…, aku sedikit heran saja…,” ucap Nana
“kamu tau banyak ya rupanya…, ya…, dia juga berkata akan hal yang sama ke aku sehari yang lalu, cuma aku yang terlalu bodoh aku tidak memikirkan dan menggunakannya,”
“aku sendiri masih tidak percaya kalau dia yang melakukannya,” tanya Nana
“kamu pikir aku tidak? Setelah kita berbicara banyak aku baru sadar kalau dia itu sama denganku, dari luarnya aja terlihat kuat…, tapi sebenarnya sangat rapuh, dia hanya ingin saudarinya berhak untuk mendapatkan cinta dari Kak Zayn, dia tidak bisa kehilangan saudarinya sehingga dia harus dirawat dirumah sakit jiwa, dan hasilnya dia kabur dan melakukan pembunuhan itu semua…, semuanya dia lakukan karena kehilangan orang yang sangat ia sayangi, dia cuma ingin kak Zayn sadar bahwa Cassandra itu sangat berarti dan dia begitu ingin menyadarkan kak Zayn sampai seperti ini, dan dia juga yang membuatku sadar…, jika saja aku tidak sadar dengan apa yang terjadi sebenarnya dia pasti juga bisa menjadi korban yang sama denganku,” jawab Lintang sambil memandangi Sofie yang tertidur.
“jadi kamu baru sadar dengan perasaanmu sendiri?” tanya Nana yang juga memandangi Sofie.
“ya, aku baru sadar jika hati ini sejak dulu hanya penuh dengan dirinya…, sudah sering kita bersama sampai aku sendiri tidak tahu batasnya dimana, dan sekarang aku baru sadar bahwa disinilah perasaanku yang sebenarnya,”
“ya…, aku sebenarnya ke sini sekalian mau pamit ke Singapura…, aku akan kesana untuk menyelesaikan master…, kapan-kapan kita bertemu lagi…, aku senang karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu yang sebenarnya…, seandainya dulu aku tidak melepaskanmu begitu saja pasti kamu juga tidak akan seperti inikan?” ujar Nana dengan suara serak.
“itu semua hanya masa lalu kita berdua, aku juga ingin kamu menemukan cintamu lagi…, cinta yang bisa membuatmu berdiri dan tersenyum kembali…, semoga sukses,” ucap Lintang sambil tersenyum. Nana tersenyum dan kemudian melambaikan tangannya keluar dari ruang rawatnya Lintang. Nana menangis tergugu karena dirinya begitu saja melepaskan ikatannya dengan Lintang dulu. Seandainya saja dia dan Lintang masih bersama, mungkin tidak akan begini jadinya.
 Lintang sedang duduk dikursi rodanya. Dia masih dalam kondisi perawatan. Ia memperhatikan Sofie yang sedang pergi dari rumah sakit untuk kuliah. Ia duduk sendiri ditaman rumah sakit, ditemani oleh seorang perawat yang sedang duduk bergosip dengan perawat yang lain. Lintang tersenyum memandangi dua angsa yang sedang berada didalam kolam taman. Ia jadi teringat ketika dirinya dan Cassanova sedang berbicara setelah bermain basket beberapa waktu yang lalu. Ia baru sadar jika rasa sakit yang Cassanova rasakan adalah rasa sakit yang sama dengannya. Dan mungkin rasa sakit yang sama dengan yang Sofie rasakan selama ini. Rasa sakit yang hanya akan menumpuk begitu saja jika tidak diobati oleh orang yang juga memiliki rasa sakit yang sama. Rasanya sekarang sakit itu agak mendingan dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Sofie berjalan keluar dari kelasnya. Ia berjalan menuju ruang dosen sambil membawa setumpuk makalah dari Bu Mira. Untuk sementara ini dia yang menggantikan Lintang menjadi asisten dosen untuk Bu Mira. Setelah selesai dengan kewajibannya, Sofie berjalan menuju taman kampus. Ia sedang mengamati beberapa mahasiswa yang sedang belajar ditaman. Ia tersenyum sendiri, matanya beralih pada arakan awan putih yang sedang berjalan mengikuti arah angin.
“awan yang hitam sudah pergi…, dan sekarang tinggal seputih kapas…, apa hatimu masih juga sama denganku?” gumam Sofie. Tiba-tiba hapenya menyala dan sebuah pesan masuk. Ada sebuah gambar kucing tertawa sambil membawa sebuah buku. Pesan singkat dari Lintang yang membuatnya tertawa. Benar, orang itu adalah pecahan perasaannya yang sebenarnya. Mungkin agak terdengar gila jika ia hanya orang yang sama akan saling mengobati satu sama lain. Padahal keduanya sama-sama terluka. Entahlah, tapi memang terdengar aneh. Hanya saja jika memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi. Rasa sakit akibat kehilangan orang yang disayang bisa membuat seseorang kehilangan arah dan tujuan dalam hidupnya. Kehilangan seseorang yang sangat berarti didalam kehidupan juga membuat luka didalam hati akan semakin dalam, dalam dan semakin dalam. Dan yang bisa mengobatinya adalah rasa rela dan ikhlas, bukan balas dendam. Balas dendam karena kehilangan orang yang disayangi hanya akan mengakibatkan dendam baru terlahir begitu saja. Dan tidak akan pernah berhenti.
Lintang dan suster yang menjaganya berjalan menuju tempat fisiotheraphy. Ia tak henti tersenyum mengingat nama Sofie yang baru ia sadari keberadaanya sekarang ini. Dia akan berjalan lagi, dan akan berdiri tegak untuk melindunginya agar tak berair mata kembali.

Dan, menyadari orang yang sangat mencintai dengan penuh kesadaran adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Seringkali orang itu ada disekitar kita sendiri. Bahkan bisa jadi sangat dekat, sampai kita tidak bisa membedakan apakah dia sahabat atau sebuah tempat terakhir untuk berlabuh. Tidak ada yang bisa sadar dengan penuh dan mengakuinya dengan sebenarnya. Karena begitu kaburnya batasan yang memisahkan antara keduanya. Tapi pahamilah bahwa mereka tidak pernah jauh dari kita sendiri. mereka ada didekat kita, sangat dekat dan merekalah orang yang selalu ada disamping kita. Dan Merekalah orang yang dengan senang hati mengorbankan nyawa dan hidupnya untuk orang yang mereka sayangi. Mereka bahkan rela tersakiti asalkan orang yang mereka sayangi bahagia dan tersenyum lebar. Bahkan mereka tidak perduli dengan rasa sakit yang menusuknya tatkala melakukan hal itu. Sungguh semua ini seperti sebuah kegilaan yang dilakukan oleh orang yang sudah penuh dengan orang yang disayanginya.
Seperti Kahlil Gibran yang selalu menuliskan tentang kegilaan orang yang sudah dirasuki hal gila bernama cinta. Orang yang sudah menjadi pengikut cinta akan terus selalu melakukan apapun, asalkan orang yang dicintainya berbahagia. Bahkan segala harinya akan selalu dipenuhi oleh cinta, sekalipun rasanya akan menyakitkan. Dan hanya cinta yang bisa mendamaikan dunia, hanya cinta. Selama masa muda, orang yang sudah menjadi pengikut cinta hanya akan menjadikannya sebagai guru mereka. Dalam usia setengah bayanya cinta yang menjadi penolong mereka. Dan dimasa tuanya, cintalah yang akan menjadi penghibur mereka. Dan selamanya cinta akan menjadi penghibur dan tinggal bersama mereka hingga akhir hayat dan bahkan sesudah kematian. Dan hingga tangan Tuhan menyatukan mereka kembali (kahlil ghibran).
Cuma pengikut cintalah yang bisa membuat mereka mendengarkan panggilannya. Dan kini aku sudah mendengarkannya. Mendengarkan panggilan cinta yang berasal dari seseorang yang sejak dulu sudah berada disisiku. Orang yang memang menyayangiku dengan setulus hatinya. Tanpa pamrih dan tanpa alasan. Dialah panggilan cinta itu.