Sudah berapa lamakah waktu kita berjalan dan semakin berkurang?
Apakah ada yang menghitungnya? Adakah yang sudah mengira kapan waktu akan
segera berakhir? Atau bahkan akan berlangsung tanpa berhenti? Atau bahkan ada
yang tidak bisa menghitungnya lagi? Atau apakah lupa?
Sofie sendiri juga sudah lupa, sejak kapan ia berdiri lagi
disamping orang yang selalu tidak pernah hilang dari pandangan matanya ini.
Seseorang yang sebenarnya hendak ia nafikan penuh keberadaannya dari ingatan
dan pandangannya. Sudah lama sekali sejak kejadian beberapa tahun yang lalu.
Kejadian yang membuat ia semakin sadar, bahwa orang yang disampingnya ini
bukanlah orang yang biasa hidup tenang dan senang seperti mereka. Dan semenjak
kejadian itu pula Sofie semakin menyadari sebenarnya dia bukanlah orang yang
kuat seperti yang dia berusaha tunjukkan padanya. Dia hanya seorang anak yang
rapuh yang butuh kekuatan dari sekitarnya.
Sofie sudah mengenalnya sejak kecil. Bukan hanya karena mereka
berdua teman sepermainan. Dan juga bukan karena mereka tetangga sejak kecil.
Tapi karena latar belakang kehidupan mereka yang sama, Sofie bisa mengerti
bagaimana sebenarnya orang seperti mereka itu. Dilahirkan dan dibesarkan oleh
ibu tunggal, tanpa kehadiran ayah. Keberadaan mereka yang tidak diakui oleh
keluarga kandung mereka membuat Sofie mengerti bagaimana rasa sakit yang mereka
jalani semasa kecil sampai sekarang ini. Sofie sedikir beruntung karena ibunya
memiliki saudara yang masih mengakuinya sebagai keluarga. Meski terkadang
secara sembunyi-sembunyi pamannya itu mengunjunginya dan ibunya. Setidaknya Sofie
masih merasa beruntung dibandingkan dia. Dia bahkan sejak kecil tidak mengenal
keluarganya sama sekali, kecuali ibunya.
Masih terlekat betul dibenak Sofie mengenai kejadian tiga belas
tahun silam. Saat itu, Sofie sudah kelas tiga SD dan dia baru saja lulus dari
TK. Saat itu Sofie harus ikut dengan Ibunya yang mengajak pindah ke Jakarta
untuk mengadu nasib disana. Sambil membawa sebuah tas ransel sekolah yang sudah
ia isi dengan baju, Sofie menghampirinya yang menatap dengan mata yang entah
apa isi dan maksudnya. Tapi begitu melihat tatapan matanya Sofie ikut menangis.
Rasa sakit yang mereka rasakan bersama dan mereka tanggung bersama. Rasa pedih
yang membuat mereka tahu betapa berartinya orang yang ada disekitar mereka.
Rasa sakit dan kemarahan yang selalu membuat mereka merindukan orang yang pantas
mereka benci namun sekaligus orang yang mereka rindu.
“kak Fie kenapa bawa tas? Kakak mau kemana?” tanya Lintang kecil
sambil memeluk sebuah bola plastik. Matanya yang menatap Sofie kecil menatapnya
lekat meski tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan Sofie.
“kakak mau berpetualang sama Ibu…, kamu tunggu kakak balik dari
berpetualang ya?”
“aku mau ikut…, Lintang takut sendiri…, kalau Mama kerja Lintang
sama siapa?” air mata kesedihan pertama yang Sofie lihat dari mata kecil itu
membuat ia terenyuh untuk yang pertama kalinya. Rasa sayangnya sebagai kakak
dan satu-satunya teman yang ia punya tumpah ruah. Sofie tidak ingat lagi apakah
saat itu dirinya memeluk dan ikut menangis. Atau bahkan dia meronta-ronta tidak
mau pergi dari sana. Yang jelas saat itu ia merasa kasihan dan merasa bersalah
meninggalkannya sendiri.
Sudah lama sejak Sofie dan ibunya, mereka berdua berpetualang di
Jakarta. Mereka kembali lagi ke kota kecil tempat kelahirannya. Begitu banyak
yang berubah semenjak tiga belas tahun yang lalu. Semenjak ia pindah sampai ia mengajukan
dan mendapat surat mutasi kampus untuk kuliah disini. Namun satu hal yang ia
tidak lupa adalah lapangan basket tempat ia dulu bermain dengan teman
sepermainannya dulu. Anak yang sama dengan dirinya yang bernama Lintang
Samudra. Anak yang memiliki tatapan mata yang bisa membuat siapapun menangis
jika menatapnya. Apakah ia masih tinggal disini? Apakah ia masih seperti dulu?
Ataukah ia sudah lupa pada dirinya ini?
Sofie berjalan menuju gerbang kompleks perumahan untuk mengambil
beberapa kardus yang berisi buku-buku kuliahnya. Ia memainkan handphonenya dan
memasang perangkat headset ketelinganya. Ia berjalan dan berpapasan dengan
seorang remaja pria yang berjalan memasuki gerbang kompleks perumahan. Ia
menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. Remaja itu juga menoleh padanya
sambil mengulas senyuman tipis padanya. Ia seperti mengenal senyuman itu, tapi
siapa? Apakah orang yang ia kenal? Tapi siapa? Padahal ia berharap kalau tadi
itu adalah Lintang.
“dia mungkin sudah pindah…,” Sofie mengangkat dua kardus langsung
dan menaikannya keatas sepeda mini bututnya. Sepanjang jalan ia masih dipusingkan
dengan agendanya besok.
Sofie berdiri ditengah-tengah para mahasiswa baru yang terdaftar di
kampus tempat ia kuliah sekarang ini. Sebenarnya ia bukan mahasiswa baru kan?
Tapi karena kebijakan kampusnya yang baru menyuruhnya untuk ikut OSPEK kembali.
Sebenarnya dia tidak ingin ikut kalau saja bukan karena desakan ibunya dan
desakan pamannya yang dengan cerewet dan rajinnya menyuruhnya untuk mengikuti
OSPEK kembali. Dia sebenarnya terkejut karena OSPEK yang diadakan disini
berbeda dengan OSPEK tempat ia kuliah dulu. Kalau dulu ia sering di hajar
seniornya. Kini para senior di kampus
malah mengajak para Maba untuk bergila ria. Ya…, paling tidak bisa membuatnya
tidak stress untuk hari ini.
OSPEK sudah selesai beberapa jam yang lalu. Dan sekarang waktunya
mereka pulang kerumah masing-masing. Semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan
OSPEK pulang naik kendaraan yang sudah disiapkan oleh panitia, yaitu truk.
Sofie tersenyum dan hampir saja tertawa ngakak, jika saja ia tidak sadar kalau
ia berada ditengah-tengah mahasiswi yang berada dalam lingkup pondok pesantren.
Sepanjang hidupnya baru kali ini dia naik truk. Padahal selama di Jakarta dia
selalu naik monorel, kereta api atau mentok naik busway. Dia sudah
memperhatikan kursi yang dijadikan tumpuan naik truk. Tiba-tiba sebuah tepukan
keras mendarat di pundak kanannya. Ia menoleh.
“Sofiana Dewi kan?” tanya seorang remaja pria padanya sambil
menampakkan senyuman padanya. Ia memandanginya dengan seksama. Ia memang pernah
melihatnya sekilas didepan gerbang perumahan. Tapi apa dia mengenalnya?
“ya, tapi…, apa kita saling kenal?” tanya Sofie. Orang itu
tersenyum kembali padanya dan membuka mulutnya. Belum lagi remaja itu
menjawabnya, suara seorang panitia OSPEK yang lain menyuruh mereka untuk segera
naik kedalam Truk. Itu adalah suara Galang, si anak Ekonomi Koperasi yang sejak
OSPEK selalu saja mencari muka dihadapannya. Dan kalau tidak salah dia juga
bilang akan sekelas dengannya nanti. Ah yang benar saja?!
“cepetan naik …, eh, kamu kenapa didepan bak truk? Apa kamu gak ikut
naik sepeda motor?” tanya Galang pada remaja yang berdiri didepan Sofie.
“iya…, aku naik ini aja…,” jawabnya dengan enteng sambil
melambaikan tangannya tanpa beban kepada bak truk yang ada disebelahnya. Mendengarnya,
Sofie membulatkan kedua bola matanya yang memang sudah bulat.
“itukan truk buat anak perempuan?” Neci, panitia cewek yang sejak
kemarin selalu mengusilinya tiba-tiba nongol begitu saja dari belakang Galang.
“ya emangnya kenapa? Bukannya kamu sama Windi? Lagipula truk buat
cowok juga sudah terlalu overcapasity, mending aku disini aja,” jawab Lintang
dengan mudah.
Ia dan Galang hampir saja memelototkan matanya kalau saja Sofie dan
beberapa mahasiswi yang ada disekitar sana tidak memperhatikan mereka. Sofie
memang melihat beberapa tanda-tanda tidak suka yang ditampakkan dari wajah
Galang ke anak yang ada dihadapannya ini. Dan mungkin karena itu juga dia
memilih untuk tidak ada didepan Galang. Tapi mungkin saja ada alasan lain
selain mereka berdua. Orang ini memandangi seseorang yang tiba-tiba mendekati
Neci dengan pandangan tajam.
“Ci…, ayo pulang,” seorang mahasiswa berbadan tegap dan tampan,
memakai kaos lengan panjang berwarna hitam berjalan mendekati Neci. Ia dan Neci
kemudian pulang dari tempat OSPEK mengendarai sebuah sepeda motor sport merek
Ninja Ducati.
“jadi naik mana?” tanya Galang.
“aku bener mau naik ini…, lagipula…, aku mau berbicara panjang lebar
sama kakak aku ini…, ayo naik…,” anak ini tiba-tiba menggelandang tangan Sofie
untuk diajaknya naik keatas bak truk. Tangan yang memegangnya tadi bergetar.
Wajah anak inipun berubah drastis, dengan wajah yang menegang dan berwarna
merah. Sofie kembali berusaha berkonsentrasi mengingat siapa dia ini. Sofie masih
belum bisa mengenali siapa yang sekarang ada didepannya ini. Sudah lama ia
tidak kemari, dan siapa orang yang ada dihadapannya sekarang ini. Dia ini
bukannya panitia non-pengurus OMIK yang selalu dikejar-kejar mahasiswi baru
selama OSPEK berlangsung? Sebenarnya dia ini siapa? Kenapa malah menjadikannya
alasan untuk tidak berkumpul dengan panitia OSPEK yang lain?
“masih belum bisa mengenali aku ini siapa?” tanyanya sambil
tersenyum. Mereka berdua duduk dibak truk tersebut sambil saling berhadapan.
Sesekali ekor mata anak itu melirik ke beberapa mahasiswi yang memandangi Sofie
dan dirinya dengan penuh rasa curiga. Sementara Sofie sama sekali tidak
menyadari jika beberapa mahasiswi yang satu truk dengan mereka memandang fokus
ke arah mereka berdua. Dia tetap saja fokus mengingat siapa orang yang berada
didepannya sekarang ini.
“siapa ya? Sumpah…, Aku bener-bener tidak kenal…,” jawab Sofie
dengan sepolos-polosnya.
“hemmm lagian udah tiga belas tahun sih kamu enggak balik-balik,
katanya berpetualang sama mama aja, padahal kamu pindah ke Jakarta selama tiga
belas tahun, dan dengan teganya tanpa kasih tahu dan tanpa kasih kabar kamu
pergi gitu aja…, dan biarin aku sendirian disini selama tiga belas tahun
menunggu kepulangan kamu dari berpetualang, tega kamu, bener-bener tega tau nggak‼”
ucapnya dengan mulut manyun.
“pe-tu-ala-ngan???” mendengar kata petualangan terasa tertohok
perasaan Sofie. Ia memandangi orang yang ada dihadapannya ini dengan seksama.
Betapa jauh berbedanya dari dulu saat ia pergi. Anak kecil dengan tatapan mata
sedih itu sudah menjelma menjadi seorang remaja pria yang disebut anak
kuliahan. Dimana tatapan mata sedih itu? Dimana anak kecil yang selalu membawa bola plastik sambil menangis meminta
ditemani untuk bermain basket. Siapa orang berwajah tampan yang ada
dihadapannya sekarang ini? Apa benar dia Lintang Samudra? Kenapa bisa berbeda
sekali? Apa benar ini dia? Benarkah? Kenapa berbeda sekali?
“Petualangan…,
jangan-jangan kamu…, kamu…,” sedemikian rupa ia berusaha mengingat wajah orang yang selama
tiga belas tahun ia tinggalkan dulu. Dan hanya sebuah nama yang tiba-tiba
terlintas begitu saja dibenaknya.
“Lintang?! Lintang Samudra?! Bener gak sih kalau kamu ini Lintang?”
yang ditebak namanya langsung tersenyum lebar. Wajah Sofie langsung
berseri-seri begitu ia memastikan orang yang sedang ada didepannya ini. Tak
terkecuali dengan Lintang yang sudah bergitu lama tidak bertemu dengan teman
sepermainannya dulu, Sofie. Mereka berdua langsung mengarahkan kedua telapak
tangan mereka ke telapak tangan lainnya sambil tertawa lebar dan
berlonjak-lonjak karena gembira, seperti masa kecil mereka dulu. Semua
mahasiswi yang ada didalam truk, melihat mereka berdua melongo. Mereka berdua
baru sadar setelah lama tertawa dan memperhatikan sekitarnya.
“sorri-sorri…, soalnya aku kalau udah lama enggak ketemu sama orang
pasti gini…,” ujar Sofie sambil tersenyum.
“sorri, sorri banget…,” Sofie tersenyum kembali, begitu juga dengan
Lintang yang mengulas senyuman bahagia dikedua bibirnya. Senyuman yang sudah
tiga belas tahun tidak pernah Sofie lihat.
“aku pikir kamu enggak balik
lagi kesini Fie…,”
“aku pikir juga gitu…, soalnya aku udah sempet kuliah disana dapat
dua semester lagi…, eh kenapa kamu tidak panggil aku kakak lagi? Enggak sopan
tahu‼,”
“suka-suka aku, lagian kitakan bakal jadi satu angkatan…, lagian
emangnya kenapa? enggak boleh? Lah terus kenapa kamu pindah disini? Di
Universitas yang di pusat kota kan bisa? Kenapa malah ke pinggir kota? Hayo…,”
tanya Lintang sambil membuka pesan yang masuk di hapenya sementara Sofie
menjawab pertanyaan dari Lintang tadi.
“ya bisalah,
lagian masalah buat kamu? Lagipula akukan dapat surat mutasi dari kampusku yang
lama, hayo… SMS dari siapa tuh?
Pacar kamu ya? Cie-cie, hayo ngaku
sama aku…,”
“bukan cuma temen deket aja kok! Anak cewek yang tadi…, Oh ya
kenapa kemarin enggak nyapa aku? Sombong banget kamu…, mentang-mentang anak
jakarta pulang sombong banget kamu...,”
“maaf…, kan aku udah bilang kalau aku minta maaf…, aku kan enggak
mengenali wajah adek kecil aku yang imut-imut ini…,” jawab Sofie sambil
mengacak-acak rambut Lintang.
“jangan perlakukan aku kayak anak kecil lagi…, bosen aku…,”
“yah…, gimana lagi…, soalnya kamu kayak anak kecil sih…,” oh…, anak
yang tadi? Neci itu? Apa mungkin dia temen spesialnya dia ya? Lalu mahasiswa
tadi itu siapa? Kenapa dia langsung marah seperti tadi? Sebenarnya kenapa dia
berubah saat orang itu datang?
Sofie berusaha menetralkan pikirannya dan sebisa mungkin ia
melupakan insiden yang barusan. Mereka berdua tertawa bersama. Berusaha melebur
rasa rindu yang sudah bertumpuk selama tiga belas tahun ini. Rasa rindu yang
terakumulasi dengan rasa sayang dan rasa penderitaan yang sama dan sejenis,
yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Mereka membiarkan puluhan pasang mata
mahasiswi yang satu truk dengan mereka yang sedari tadi memperhatikan mereka
tanpa berkedip sama sekali. Yang pasti sekarang ini mereka telah kembali
menjadi sahabat sepermainan seperti dulu.
Baru-baru ini Sofie juga mengetahui kalau sahabat masa kecilnya ini
membuka sebuah toko olahraga kecil-kecilan. Dan mungkin dari sana pula, Lintang
bisa menyambung hidupnya dengan Mamanya yang sejak dulu membuka sebuah toko
baju kecil-kecilan. Toko baju yang dulu menjadi langganan mamanya untuk
membelikannya baju ulang tahun. Ia tersenyum melihat Lintang yang jauh berbeda
dari dulu. Lintang kecil yang cengeng dan rapuh sudah menjelma menjadi Lintang
dewasa yang tegar dan kuat serta mandiri. Ia sendiri memandangi dirinya yang
sedang memakai seragam toko mamanya yang menjual berbagai baju dan aksesoris.
Ia dan mamanya berusaha mendirikan usaha kecil di pasar tradisional di
sekitaran sana. Ia dan mamanya ingin berdiri sendiri tanpa bantuan pamannya.
Karena jika pamannya membantu pasti kakeknya akan selalu mengungkit semua itu.
“DOR‼‼ ngelamun aja! Ngelamunin apaan sih? Aku ya?” tiba-tiba
Lintang berada disampingnya yang sedang duduk dilapangan basket. Dia baru saja
selesai olahraga ringan, terlihat dari kostum yang ia pakai sebuah kaos lengan
panjang dan celana olahraga adidas panjang serta sebuah hijab yang baru-baru ini
ia pakai untuk menutup auratnya.
“wheeiiiisss, keren pake hijab…., gitu dong…, masak rambut dibiarin
kepanasan…, kasian tau!” ucap Lintang sambil memainkan bola basket yang ia
bawa. Ia kemudian duduk disamping Sofie.
“udah lama ya kita enggak main disini…, terakhir main sama kamu…,
aku masih belum bisa melakukan three point shoot ke sana…,” kata Lintang
sambil menunjuk ke arah ring basket. Sofie tersenyum lalu berdiri dan merebut
bola yang sedang dimainkan oleh Lintang.
“gimana kalo kita main lagi…,” kata Sofie sambil mendrible bola
basket yang ada ditangannya.
“entar kalo kamu kalah gimana? Kan sekarang tinggian aku daripada
kamu…,” mereka berdua kemudian bermain basket berdua. Bernostalgia dengan
kenangan mereka masa kecil dulu. Kenangan yang entah kenapa masih belum bisa
dia lupakan. Walaupun sudah tiga belas tahun berlalu, walau semua sudah
berubah. Walaupun semua sudah hilang dan berbeda. Entah kenapa semua terasa
susah untuknya lupa. Meski ia di Jakarta sudah punya dunia yang baru. Entah
kenapa dunianya yang disini selalu egois dan meminta dirinya untuk selalu
ingat. Bahkan sekecil apapun itu. Pada saat yang sama sebuah mobil avanza putih
melaju disisi jalan yang berada disekitar lapangan basket. Mobil berplat B560AC
itu berhenti didepan sebuah rumah yang baru saja direnovasi oleh pemiliknya
yang baru. Entah tidak jelas siapa pemilik rumah itu.
Siang hari saat jam kuliah mulai ‘goblok’, tepat saat mata kuliah
Akuntansi Keuangan sedang berlangsung. Seorang mahasiswi dengan sepatu pentoheels berwarna hitam berlari-lari memasuki kelas dimana Lintang sedang
mengikuti jalannya perkuliahan. Kebetulan waktu itu Sofie yang sedang sit-in
karena kelasnya kosong juga duduk disebelah Lintang. Dia sedang memberikan
beberapa pengertian kepada Lintang mengenai mata kuliah hari ini. Tiba-tiba saja
pintu ruangan kelas terbuka. Seorang mahasiswi datang dengan napas memburu dan
keringat bercucuran disekitar wajahnya. Ia belum pernah sama sekali melihat
wajah mahasiswi itu. Dari tampilannya, sepertinya dia anak yang bukan berasal
dari pinggiran kota. Dia malah terlihat seperti seorang model hijabers yang
sedang roadshow kemari. Dia sangat borjuis. Siapa orang ini.
“sst.., siapa dia?” tanya Lintang sambil setengah berbisik. Sofie
cuma mengangkat kedua bahunya. Mereka berdua kemudian memperhatikan
“maaf pak saya terlambat…, tadi saya kesasar ke semester tujuh…,
maaf pak…,”
“ya tidak apa-apa silahkan duduk,”
“terima kasih pak…,” mahasiswi baru itu duduk tepat dibangku kosong
yang berada disebelah Lintang. Sekilas Sofie melihat ada yang tersembunyi dari
mahasiswi itu. Tatapan matanya memang terlihat bersahabat dan sangat teduh.
Tapi sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua itu. Tapi apakah
benar itu semua? Atau apakah karena ia hanya tidak suka pada mahasiswi baru ini
karena duduk disebelah Lintang. Bukannya selama ini dia sudah dianggap sebagai
adik dan kakak?
“hai…, boleh kenalan?” mahasiswi baru ini mengulurkan tangannya
pada Lintang. Lintang tersenyum dan menolak dengan halus uluran tangan
tersebut.
“sorri sebelumnya, namaku Lintang…, kamu?”
“oh…, seharusnya aku yang minta maaf…, aku Cassandra Cassanova, aku
pindahan dari suarabaya, kalau kamu?” tanya Cassndra, si Mahasiswi baru yang
terlambat tadi sambil mengulurkan tangan pada Sofie. Sofie yang sejak tadi
memperhatikannya terkejut.
“aku Sofie…,” jawab Sofie sambil menyalami uluran tangan dari
Cassandra.
“kamu juga sekelas dengan Lintang?” tanya Cassandra sambil berjalan
keluar dari kelas. Ia mengikuti Sofie yang tadi bilang ingin ke perpustakaan.
“enggak…, aku tadi sit-in aja…, aku di kelas sebelah, cuman karena
kelasku kosong dan aku harus mengejar mata kuliah yang tadi ya…, aku harus
sit-in dikelasnya dia…,”
“Lintang..., Lintang
tunggu..., tunggu sebentar,”Sofie berlari mengejar Lintang yang sudah berjalan
mendahuluinya.
“ada apa Fie?” tanya Lintang yang sudah membalikkan wajahnya ke
arah Sofie.
“nih buku catatan kamu dan Al Qur’an terjemahan kamu…, ketinggalan dirumah aku pas kemarin sebelum setor makalah
dan hafalan ke Bu Mira....,” Sofie memberikan sebuah buku kecil berwarna
cokelat kepada Lintang dan sebuah Al Qur’an terjemahan berwarna kuning emas.
“ya Allah..., syukron ya...., aku kira buku ini udah hilang..., kalau
hilang... wah aku udah nggak bisa ngapain lagi,” jawabnya sambil memasukkan
buku dan Al Qur’an itu kedalam tasnya.
“aku masih belum tau lho…, mengenai alasan kenapa kamu pindah kuliah?
Hm.... kamu pasti gak bisa jauh dari aku kan? Ngaku deh kamu,” Lintang mulai
menggoda kawan kecilnya yang sejak dulu selalu bersama dengannya, tapi sesudah
dia lulus TK malah ditinggalkan.
“kumat lagi narsisnya.....dasar narsis!! Udah udah aku mau masuk
kelas, padahal dulu kamu itukan tidak suka kalau narsis…, dan juga kamu itukan
suka menatap orang dengan mata yang bisa membuat orang nangis…, kenapa malah
jadi narsis sih?” Sofie mendahuluinya. Dia mengikuti Sofie sambil tersenyum.
“biarin... emangnya kenapa enggak boleh? Lagipula sekarang ini aku
kan tampan... imut, baik hati, dan tidak sombong rajin menabung lagi ,wajarlah
kalau aku sedikit, ehem narsis...., dan juga dengan wajahku yang tampan nan
imut seperti ini siapa yang tidak suka sama aku? kamu juga iya kan? Iya kan iya
kan?”
“ihhhhh.... eh!!!! inget dong... aku ini lebih tua tiga tahun dari
kamu....!!!,”
“biarin.... akukan lebih suka cewek yang lebih tua dari aku....,
kan yang ada dihatiku cuman kamu,” kemudian dia menunjuk dada kanannya dengan
telunjuk kirinya lalu menjulurkan lidahnya dan setelah itu dia pergi.
“ih!!! Dasar.... Lintang....,” Sofie berlari lalu mendorong tasnya Lintang,
dan Lintang hanya tertawa dan tidak mengelak sama sekali. Sudah lama sekali.
Sangat lama mereka tidak tertawa bersama. Sudah lebih dari satu dekade dan dia
berubah menjadi seseorang yang seperti ini.
“hai Lintang,” Cassandra datang dari pintu gerbang dan berjalan
mendahului mereka berdua. Baru sepuluh langkah dari mereka berdua, dia berhenti
dan berjalan mendekati Lintang. Sofie melihatnya, ia kembali merasakan aura
yang begitu gelap yang menyelimuti wajah hangat Cassandra.
“makasih ya, buat materi perkuliahan yang kamu kasih…, itu sangat
berguna banget buat aku, oh ya ini flashdisk kamu…, makasih ya dan maaf karena
baru bisa ngembaliin sekarang,” ucap Cassandra sambil menyerahkan sebuah
flashbisk merek Toshiba berwarna hitam berkapasitas 16 gigabytes.
“it’s okay, aku seneng kalo bisa bantu sesama temen,”
“aku ke kelas dulu ya, Lintang,
Sofie,” ucap Cassandra sambil berjalan meninggalkan mereka berdua yang masih
berdiri diujung lantai lorong kelas.
“Lintang,” sebuah suara mahasiswi terdengar ditelinga mereka
berdua. Mereka langsung menoleh. Mata mereka berdua tertuju pada seorang
mahasiswi yang sangat cantik sekali. Mahasiswi sejurusan dengan mereka berdua,
yang seangkatan pula dengan mereka berdua dan juga panitia OSPEK dan
jugaseorang model sekaligus presenter beberapa acara offair dan radio. Neci,
primadona kampus datang dengan tampilan yang berbeda. Semenjak Lintang kenal
dan dekat dengan Sofie, dia sepertinya merubah dandanannya menjadi jauh lebih
keren dan modis serta lebih feminim dari yang dulu. Dan hal itupula yang
membuat Lintang semakin terpesona dengan wajah cantik sang primadona. Dia
tersenyum pada mereka berdua dengan senyuman manis. Lintang bahkan cuma sanggup
berdiri dan terdiam mematung dihadapan Neci.
“well, aku harus masuk ke kelas karena tiga menit lagi kelas aku
akan dimulai,” Sofie langsung pergi dari hadapan mereka berdua. Ia tahu tidak
baik menjadi pengganggu orang yang sedang kasmaran. Apalagi dia adalah orang
yang dia anggap sebagai adiknya. Adik yang sudah tiga belas tahun ini dia
tinggalkan begitu saja ke Jakarta.
“Lintang…., aku belum bisa nyelesain tugasnya ke Bu Mira, bantuin
aku ya buat ngomong sama Bu Mira? Kan kamu mahasiswa kesayangan dia,” ucap
gadis itu dengan manja. Sofie yang mendengarnya mendengus kesal. Berulang kali
ia melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri mengenai permintaan
konyol nan menakutkan dari primadona kampus ini. Bayangkan saja Bu Mira, dosen
paling killer yang pernah memberi Lintang yang nilainya semua A+ menjadi B.
“emh… gimana ya soalnya…, aku…, aduh gimana ya?” Lintang
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil sesekali melihat ke arah
Sofie yang berjalan pergi meninggalkan dirinya.
“bisa kan? Pliiss…, aku tau kalau kamu abis kena marah Bu Mira…,
tapi aku cuman minta tolong bantu minta dispensasi aja…, itu juga sama aku
kok…, ya? Pliiisss…, kalo enggak semester ini aku enggak dapat nilai dari Bu
Mira…,” kata Neci sambil mengatupkan kedua telapak tangannya didepan wajah
imutnya. Ia benar-benar memohon pada Lintang.
“gimana ya? Ya udah deh aku usahain…, tapi kalau enggak boleh ya
mungkin aku akan bantuin buat papernya aja…, kamu boleh kok minta data kuliah
atau e-book dari aku…, em…, buat plan B gitu…,” kata Lintang sambil tersenyum
tipis. Sebenarnya ia sendiri juga sudah bisa menduga kalau nanti permintaan ini
tidak akan dikabulkan oleh Bu Mira. Ia sudah kenal betul dengan Bu Mira. Meski
ia pernah membantu beliau dalam mengoreksi kuis beberapa minggu yang lalu,
tetap saja ia mendapatkan sanksi yang cukup berat karena terlambat masuk
kuliah. Dan cuman karena itu, nilainya yang seharusnya adalah A+ menjadi B. Hal
yang sangat memalukan baginya.
“thanks ya…, makasih…, aku ke kelas aku dulu ya?” Neci berlari
menuju kelasnya yang terletak agak jauh dari kelasnya Lintang maupun kelasnya
Sofie. Lintang masih berdiri, bingung.
“dasar Neci‼ memangnya Lintang siapa?! Superman? Apa dia enggak tau
Bu Mira kan pernah menskors Lintang dari perkuliahan selama dua kali pertemuan
mata kuliahnya cuma gara-gara terlambat masuk kuliah…, apalagi bantuin kamu
buat tugas atau minta dispensasi waktu, bisa habis Lintang entar,” gumamnya
sambil berjalan menuju kelas. Sofie langsung masuk kedalam kelasnya dan duduk
dibangku yang masih kosong. Dia melihat sekelilingnya dan tersenyum saat
seorang mahasiswa yang duduk di ujung bangku depan berbalik memandangnya dan
tersenyum padanya. Dia adalah panitia OSPEK dulu, namanya Galang.
“Sofie, tumben baru berangkat? Kok enggak barengan sama adek kamu?”
tanya Galang
“heem,” Sofie terdiam dan memandangi jendela. Disana ada lintang
yang sedang bermuka bingung karena Neci, mahasiswi yang ia sukai sejak OSPEK
angkatannya dulu sekarang merajuk minta dibantu. Dia menyadari tatapan mata Sofie
yang menuju padanya. Tapi apa daya dia tetap hopeless. Sofiepun tidak bisa
membantunya, atau mau mendapat skorsing dari Bu Mira.
“emang lagi mikirin apa sih? Kok seperti bingung banget?” tanya
Galang pada Sofie.
“enggak…, enggak mikirin apa-apa kok…, emang ada apa?” Sofie balik
bertanya
“nggak ada apa-apa, cuman aneh aja…,” kata Galang sembari
mengalihkan matanya dan pandangannya menuju buku ekonomi perbankan yang sedang
ia buka.
“nggak ada yang aneh tuh…, mungkin kamu aja yang ngerasa aneh,
lagian meski ada apa-apa sama aku…, ya apa aku bakalan kasih tau kamu?” ucap
Sofie sambil mengambil sebuah kertas presentasi yang diberikan oleh temannya
kemarin, karena hari ini temannya itu akan presentasi. Ia menghiraukan Galang
dan memilih untuk terus memperlajari paper itu. Sebagai orang yang sudah
berusia lebih dari duapuluh tahun, Sofie sudah paham betul. Apa yang
diungkapkan oleh Galang tadi bukan cuma kalimat yang biasa. Kalimat itu adalah
ungkapan rasa cemburunya karena selama ini dia selalu bersama dengan Lintang.
Sofie keluar dari kelasnya setelah mata kuliahnya selesai dan
berjalan menuju perpustakaan. Langkahnya gontai berjalan dengan malas. Semenjak
melihat kejadian tadi pagi saat melihat
Lintang yang dimintai tolong oleh Neci, ia menjadi malas mendengarkan kuliah
dari dosennya. Apalagi ditambah dengan Galang yang selalu saja ingin tahu dan
berusaha ikut campur mengenai masalah pribadinya. Dan juga mahasiswi baru yang
sejak beberapa hari ini selalu saja berusaha mendekati Lintang. Ia tahu dengan
kesadaran penuhnya sebagai seorang yang waras. Ia tidak berhak melarang Lintang
bergaul dengan siapa saja. Karena ia bukanlah orang yang berada dalam kapasitas
tersebut. Terlebih lagi ia juga tidak berhak mencegah Lintang untuk berhubungan
dengan wanita manapun. Karena dia cuma temannya saja dan tidak boleh melakukan
hal tersebut.
“kamu Sofie? Temannya Lintang kan?” Neci yang berada dibalik rak
buku ekonomi makro menghamprinya sambil membawa sebuah buku karangan Yusuf
Qardhawi. Ia memandangi Sofie dengan pandangan yang penuh dengan rasa tidak
suka yang begitu besar. Pandangan yang Sofie sudah rasakan semenjak OSPEK
berlangsung. Pandangan yang selalu ia sembunyikan jika didepan Lintang.
“memangnya kenapa? Kenapa tidak kamu bilang saja didepan Lintang?
Kenapa harus sembunyi seperti ini, pengecut kamu Ci! Aku udah tau apa yang mau
kamu bilang…, kamu pasti nyuruh aku untuk menjauhi Lintangkan? Iya kan?” Sofie
langsung begitu saja mengucapkan apa yang selama beberapa detik langsung
mengerubunginya. Neci tersenyum dan menggerakkan bibirnya untuk berbicara.
“baguslah kalau kamu sadar…, aku enggak akan susah-susah untuk
menyadarkan kamu untuk jauh dari Lintang…, karena bagaimanapun dia itu cuma
tertarik sama aku, dan kamu itu cuma dianggap sebagai kakaknya aja…, jadi kamu
tidak usah kege-eran ya? Dan aku rasa kamu juga sudah sadar akan hal itu…,”
kata Neci sambil berjalan dari rak buku tersebut. Mereka berdua sedang saling
memunggungi satu sama lain. Sofie tersenyum dan menggerakkan bibirnya kembali.
“aku heran kenapa seorang Neci mengatakan hal itu sama seseorang
yang tidak selevel dengannya, apa kamu takut kalau Lintang aku ambil dari kamu?
Kamu takutkan? Dan karena itu kamu mengatakan hal ini kan? Oke… aku tau kalau
dia tertarik sama kamu, tapi ya apa kalian itu berjodoh? Kamu sendiri juga
tidak tahu akan hal itukan?” Sofie tersenyum dan membalikkan badannya menatap
Neci yang juga sedang memandangnya.
“apa maksudmu?” tanya Neci
“seharusnya kamu harus lebih tau apa isi hati Lintang jika kamu
memang menyukai dia dengan tulus, dan apa kamu pernah berpikir ketika kamu
bersama orang lain apa yang dia rasakan?” mendengar kalimat yang diucapkan oleh
Sofie, Neci terdiam tidak mengeluarkan sepatah kalimatpun. Melihat Neci yang
terdiam, Sofie langsung pergi begitu saja. Dia berjalan rak buku Ekonomi Bisnis.
Ia berpapasan dengan seorang mahasiswi yang satu kelas dengan Lintang. Mahasiswi
yang datang terlambat dan salah masuk di semester tujuh. Mahasiswi yang datang
dengan napas memburu dan keringat yang memenuhi wajahnya dan melunturkan bedak
tipis yang menghiasi wajahnya.
Gadis yang ternyata sangat ramah namun terkadang pendiam,
tatapannya terkadang dingin namun kadang juga hangat dengan sendirinya. Dia
jarang sekali berbicara dengan mahasiswa yang lain. Sepanjang yang dia ketahui,
mahasiswi ini lebih sering menghabiskan waktu diperpustakaan. Dan baru kali ini
semenjak ia sit-ini dikelasnya Lintang, untuk pertama kalinya ia berpapasan sendiri
dengan mahasiswi ini. Dia berjalan dengan hening menuju pegawai perpustakaan yang
sedang serius membenahi katalog elektrik perpustakaan. Ia menyerahkan setumpuk
buku tebal yang ada ditangannya. Sofie terus saja memandanginya dengan seksama
dari balik rak buku.
Lintang yang juga berada didalam perpustakaan memandangi Sofie yang
sedang serius memandangi mahasiswi yang ada disamping pintu tersebut. Ia memasuki
perpustakaan sesudah selesai kena semprot untuk beberapa kalinya karena
permintaan dari Neci. Sejenak ia memperhatikan mata Sofie yang sejak tadi fokus
mengarah pada Cassandra. Sofie melihat ekor mata gadis itu yang mengarah pada
lintang. Ia baru sadar kalau ternyata Lintang ada didalam perpustakaan juga. Ia
mengedarkan pandangannya untuk mencari Lintang kembali. Lintang sudah
menghilang dari pandangannya. Dan tiba-tiba saja ia sudah ada didepan Sofie
yang sedang bingung mencarinya. Lintang berdiri didepannya, dan dengan tatapan
seperti anak kecil ia mengagetkan Sofie sambil mengibaskan telapak tangannya
didepan wajah Sofie. Sayup-sayup mereka berdua mendengar beberapa mahasiswi
yang bergosip ria.
“siapa sih dia...., cantik sih…, tapi sinis banget..., siapa sih
dia sebenarnya?” tanya mahasiswi yang berada diperpustakaan.
“dia? Tau siapa…, enggak jelas darimana dia datangnya…, ,” gumam
mahasiswi yang lain.
“bukannya dia itu pengurus BEM FEB?” seorang mahasiswi datang lagi.
“iya… dia emang pengurus BEM FEB, dia mahasiswi baru dan sudah
menjadi pengurus BEM fakultas, dan juga prestasinya udah enggak bisa diraguin
lagi…, dan juga dia itu salah satu mahasiswi yang sangat diprioritaskan oleh
kampus,” seorang mahasiswa yang juga merupakan pengurus HMJ BK datang menengahi
gosipan mereka. Dia datang untuk meminjam beberapa buku yang akan dia gunakan
untuk menjadi bahannya menulis skripsi. Namanya Sandhi Wirya seorang mahasiswa
Bimbingan konseling yang baru menginjak semester lima dan satu-satunya
mahasiswa semester lima sudah mengajukan proposal skripsi pada doden
pembimbingnya.
“Lintang…, tumben di perpus…,?” Sandhi menghampiri mereka berdua
sambil membawa setumpuk buku. Lintang tersenyum dan menjawabnya dengan ringan.
“yah…, lagi pengen membaca buku, kapan sidang?” tanya Lintang
“sebulan lagi,” jawab Sandhi. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang
Sofie lihat saat OSPEK beberapa bulan yang lalu datang ke perpustakaan. Dia
menghampiri mereka bertiga sambil tersenyum.
“Lin…, bagaimana jersey yang aku pesan kemarin?” tanyanya sambil
tersenyum
“oh…, masih dikerjakan, seminggu lagi bisa diambil sesuai dengan
kontrak, aku mau ke kantin dulu, entar kalau sudah jadi aku akan telpon,” suara
Lintang seperti terhambat ditenggorokannya. Ia kemudian mengambil tasnya dan
langsung pergi begitu saja dari hadapan Sofie dan Sandhi.
“hai…, kamu temannya Lintang ya?” tanya mahasiswa itu.
“ya, Sofie…,” Sofie memperkenalkan dirinya. Dia memandangi pintu
perpustakaan, dan Lintang sudah keluar lewat sana.
“aku Zayn, sepupunya Sandhi…, kamu pengurus BEM FEB juga kan?”
tanya Zayn pada Sofie
“ya, emang kenapa kak?” tanya Sofie
“enggak ada apa-apa…,”
“aku masih ada kelas duluan ya kak…,” Sofie langsung berjalan pergi
dari perpustakaan. Ia hanya meminjam tiga eksemplar buku untuk bahan tugas
akhir semester. Setelah dari perpustakaan ia berlari mencari Lintang yang
katanya pergi ke kantin.
Suasana didalam kantin benar-benar penuh dengan keramaian. Anak-anak
dari Fakultas Ekonomi Bisnis sedang banyak yang berdiskusi dan hang out
dikantin kampus. Hampir tidak ada tempat duduk untuk bagian dalam. Ini
merupakan satu keajaiban yang hanya terjadi ketika para mahasiswa semester
akhir menyelesaikan skripsi. Untung saja ada kantin outdoor yang membuat
dirinya dan Lintang tenang sambil menikmati makanan yang mereka pesan. Sofie
memandangi Lintang sambil berusaha mencerna apa alasan Lintang seperti tadi.
Kenapa ekspresi dan wajahnya berubah begitu saja saat mendengar nama Zayn. Ini
bukan untuk yang pertama kalinya. Semenjak ia mendengar Zayn Hasan, anak
semester tujuh FEB yang sebentar lagi lulus ini jadian dengan Neci, dia menjadi
sering seperti ini. Tapi sepertinya bukan semenjak itu saja. Tapi entah sejak
kapan persisnya ia tidak tahu sama sekali.
“oh ya…, emangnya bener ya Fie kalau Cassandra pindahan dari Surabaya?”
tanya Lintang sambil memasukkan mie ayam kedalam mulutnya. Mendengar pertanyaan
dari Lintang, Sofie mengurungkan niatnya. Terlebih lagi mendengar suaranya yang
masih terdengar sangat serak ini. Tapi yang lebih mengejutkan adalah kenapa
Lintang bertanya mengenai Cassandra? Kenapa bukan mengenai Zayn Hasan atau
Neci? Gadis beraura gelap itu, kenapa jika bersama dengan Lintang begitu
berbeda dari biasanya? Lintang juga begitu tampak senang jika bersama dengannya
“ya..., namanya itukan Casandra Cassanova ya..., aneh ya namanya?
Kayak bukan nama islami aja…, tunggu-tunggu‼ dia itu..., bukannya sekelas sama
kamu? Iya kan? Gimana bisa kamu enggak tau sih soal dia? Kamu kuliah atau apa
sih?”
“oh ya?! Masalahnya itu aku lupa? Eh... yang bener itu aku enggak tahu....,” ucap Lintang
yang tentu saja membuat Sofie sangat geram dan kesal.
“dasar Lintang!!.... nilainya saat ujian akhir semester kemarin
adalah nilai tertinggi sefakultas…, dia juga satu-satunya mahasiswi baru yang
langsung bisa mengajukan lamaran menjadi pengurus BEM FEB yang langsung
keterima…, bahkan aku aja harus empat kali mengajukan lamaran ke BEM FEB, ”
“emangnya siapa?” tanya Lintang sambil menyuapkan mie kedalam
mulutnya.
“Cassandra...,” jawab Sofie
“…, yang tanya ..,” Lintang kemudian tertawa dan kemudian dia
melihat ekspresi Sofie yang kesal.
“tapi..., kenapa dia misterius banget ya..., apa harus semua orang
yang pintar itu sinis dan misterius? Kenapa enggak kayak aku aja? Humble dan
care gini..,” Lintang mulai narsis sambil melirik Sofie dengan lirikan yang
aneh. Dan juga ia kembali tersenyum.
“dasar..., tukang narsis..., kalau semua orang pintar seperti kamu
mau jadi apa negara ini...., yang ada itu kepala negaranya dan ilmuwannya suka
main mata dengan wanitanya,”
“lah..., itu kan sifatnya yang luar aja…, harusnya seseorang yang
intelek itu bukan cuma harus serius aja…, dia harus bisa tersenyum terus biar
awet muda, masa aku harus serius terus... kan ntar aku cepat tua.. lagipula
tenang aja... itukan masalah ini... (menunjuk dada kanan atasnya dengan
telunjuk kirinya) ini masalah hati nurani mereka, aku kan fine-fine aja,”
“bukannya hati itu ada disebelah kiri?” Sofie menunjuk ke arah jantungnya
dengan garpunya.
“suka-suka aku dong hatiku dimana..., kan hatiku sudah lama ada
dihatimu...,” Lintang kembali menggodanya sambil tersenyum.
“ye... ni anak..., kumat lagi..., inget dong aku lebih tua dari
kamu…,” kemudian mereka berdua menikmati makan siang mereka setelah beberapa
jam yang lalu mendapat kuliah dari dosen mereka. Tak berapa lama Casandra
menghampiri mereka berdua yang sedang asik menikmati semangkuk mie ayam ala
kantin kampus, yang maknyuusss. Ia langsung menaruh dan menggeletakkan sebuah
amplop berwarna cokelat dihadapan Lintang dan Sofie. Lintang terkejut saat
melihat amplop yang tiba-tiba digeletakkan didepannya itu. Ia tanpa menatap
Cassandra langsung bertanya kepada Cassandra yang sedang berdiri disampingnya.
“dari siapa?” tanya Lintang sambil membuka amplop tersebut.
“dari BEM Fakultas, ehm…, aku pergi duluan ya soalnya masih ada
sedikit urusan di kantor BEM,” jawab Cassandra singkat ia hendak pergi begitu
saja. Baru beberapa langkah dia sudah ditubruk oleh Nana bendahara BEM pusat.
Dia ini juga masih kerabat dekat dengan Sandhi dan Zayn. Mereka ini merupakan
keluarga yang memiliki IQ diatas rata-rata. Karena itu, dia mengambil double
degree, ia mengambil jurusan Hukum dan juga kuliah di Ekonomi. Dan juga ia
memperoleh IPK cumlaude disetiap jurusan yang ia ambil. Dan yang bisa menyaingi
adalah mahasiswi baru ini, Cassandra.
“ups! Sorri…, maaf…,” Nana membau
mengambili buku dan amplop Cssandra yang berserakan dilantai. Beberapa bahkan
hampir saja diinjak oleh mahasiswa yang melewati mereka. Nana menyerahkan
sebuah majalah jurnal penelitian kampus berwarna merah pada Cassandra.
“oh.. ya, terima kasih Nana...,” jawab Cassandra sambil hendak
berlalu dari kantin.
“okay...,” Nana langsung menghampiri Lintang dan memberikan sebuah
amplop padanya.
“amplop lagi…, kenapa kalian enggak pesen aja jersey ke toko aku…,”
gumam Lintang sambil memasang muka agak kesel dan agak jutek yang dipaksa.
“itu dari dosen, fee sebagai asdos buat kamu, BEM FEB katanya mau
ngadain seminar? bukannya dari HMJ ekonomi koperasi akan mengadakan seminar juga....,”
tanya Nana, tiba-tiba dia berlari mengejar Cassandra dan mengajaknya duduk
bersama.
“menurut kamu bagaimana Ndra?” tanya Nana
“enggak papa sih...keduanya bagus-bagus...., keduanya positif kan?”
ucapnya pelan. Ia kemudian duduk disamping Sofie.
“maksud aku begini Ndra, apa enggak sebaiknya kalau dua-duanya kita
gabung dua acara itu....,” tanya Nana
“boleh aja sih lagian sekarang udah pertengahan tahun dan dana
pasti sulit cair, enggak papa selama buat kemajuan bersama juga kan? Mungkin
bisa kamu ajukan saat rapat besok, Maaf Aku pergi duluan, aku masih ada
urusan,”
“okay....,” Nana menatap kertas yang dia bawa sementara Cassandra
pergi jauh. Lintang memandangi Nana yang menurutnya terlihat sangat dekat
dengan Cassandra.
“kamu kenal dia ya?” tanya Lintang. Entah sejak kapan ia menjadi kepo
tentang Cassandra.
“enggak, seperlunya aja... dia tertutup banget jadi aku nggak
mungkin meminta dan memaksanya membuka diri kepadaku dan kepada orang lain,
kalian berdua tumben makan disini...., Lintang kenapa kamu dapat undangan itu?
Itukan undangan buat panitia seminar, kamukan bukan pengurus HMJ dan juga bukan
pengurus BEM FEB kamu juga bukan pengurus OMIK kan? Kalau Sofie sih…, karena
dia udah melamar jadi pengurus di FEB dan sekarang udah diterima jadi dia
enggak ada alasan untuk nggak dijadikan panitia, yang aku heranin tuh kamu…,
kok kamu dapat undangan itu ya?” Nana melihat undangan itu sambil mengerutkan kedua
alisnya. Dia sepertinya sedang berusaha memikirkan sesuatu.
“mana aku tahu...., bukannya kemarin waktu OSPEK aku yang bukan
pengurus OMIK ini juga menjadi panitia…, seharusnya kan enggak boleh,” jawab
Lintang dengan entengnya.
“iya juga sih Lin…,” jawab Nana sambil menggaruk-garuk jilbab belakangnya yang sebenarnya tidak
gatal sama sekali.
“udahlah... kamu gak pulang Fie?” tanya Lintang sambil melirik Sofie.
Sofie yang merasa jengah sejak tadi dilirik oleh Lintang langsung mengutarakan
ketidaksukannya akan kelakuan Lintang.
“bisa nggak sih gak pakai lirik-lirik segala? Ya emang aku mau pulang
tapi engak bareng sama kamu,” Sofie langsung berdiri dan hendak pulang, namun Lintang
kembai menggodanya dan tertawa
“eh emangnya siapa yang mau ngajakin kamu pulang bareng..... ngarep
kan? Iya kan? Ngaku aja deh...., iya kan?”
“iiihhhh narsis lo!,” Sofie langsung berjalan pulang.
“bisa enggak sih kamu hilangin sikap narsis kamu Lin? Bosen
lihatnya,” kata Nana.
Lintang berjalan melewati lorong-lorong kelas sendirian. Ia harus pulang
sendiri karena Sofie kesal dengannya yang terus-terusan narsis tanpa ada
henti-hentinya. Sejak Sofie kembali dari OSPEK sampai sekarang ia terus narsis
didepan Sofie. Tidak perduli dimanapun dan kapanpun ia selalu melakukannya.
Hampir seperti sebuah makanan poko baginya. Ia tersenyum geli jika terus
mengingat hal tersebut. Lintang berjalan melewati perpustakaan kampus dan tidak
sengaja melihat Cassandra ada disana sendirian. Dia sebenarnya tidak hendak
masuk. Namun ia akhirnya masuk juga karena dia takut melihat mata Cassandra yang
memandangnya. Akhirnya dia masuk keperpustakaan untuk kedua kalinya dan meminjam
sebuah novel. Sesudah itu mereka berjalan menuju parkiran berdua.
“kenapa belum pulang?” tanya Cassandra kepada Lintang.
“belum, lagi malas pulang…,”
“kenapa enggak bareng sama Sofie? Kaliankan tadi dikantin berdua?”
“enggak berdua juga…, bertiga sama Nana…,”
“ehm…, oh ya kamu punya contoh file tentang studi kelayakan bisnis
nggak?” tanya Cassandra
“ada…, besok aku kasih, soalnya flashdisk aku ketinggalan dirumah,”
“makasih ya Lintang…, kamu baik deh, aku duluan ya?” Cassandra
menaiki angkot yang lewat.
“ya, hati-hati,” jawab Lintang sambil melambaikan tangan kanannya.
Lintang terus berjalan menuju parkiran dan menaiki sepeda lipat miliknya
menuju rumahnya yang berjarak cukup dekat dari kampus. Sepanjang perjalanan
pulang dari kampus dia selalu terbayangi dengan wajah Cassandra yang menyimpan
banyak misteri. Dia juga entah kenapa mendadak ingin tahu banyak mengenai
mahasiswi yang berhasil memecahkan rekor menjadi pengurus BEM FEB padahal ia
baru kuliah selama beberapa bulan disini. Padahal Sofie saja yang dia anggap
selalu menjadi pemecah rekor harus sampai mengirimkan empat surat lamaran
kepada pantia seleksi.
Cassandra sedang berdiri didepan ketel berisi air yang sedang
mendidih. Ia lalu mengangkatnya dari atas kompor, kemudian menyeduh teh yang
sudah ia siapkan disebelah ketel. Ia mematikan kompornya dan berjalan membawa
teh yang ia seduh barusan ke meja belajarnya. Ia duduk dikursi belajarnya
sambil membuka laptop yang tertutup diatas meja belajarnya. Ia membukanya dan
menekan tombol power untuk menghidupkannya. Ia menengok ke cangkir tehnya yang
sudah agak dingin. Ia mengambilnya dan meminumnya separuh, Cassandra kemudian memandangi
laptopnya dengan sangat serius. Cassandra melirik tehnya yang kemudian ia minum
dan ia habiskan. Ia melirik ke arah meja lainnya dengan pandangan malas. Ia
meraih sebuah botol yang berisi obat berbentuk tablet berwarna putih. Ia
mengambil dua butir lalu menelannya. Dan akhirnya Cassandra kembali menatap
layar laptopnya dengan sangat serius. Setelah itu dia keluar dari rumahnya
sambil membawa sebuah bola basket. Ditengah perjalanan menuju lapangan
Cassandra bertemu dengan Lintang yang juga tengah berjalan menuju lapangan
sambil memainkan bola basket. Dia berhenti sejenak dan tersenyum memandangi Lintang.
Ia menghampiri Lintang yang tengah asik mendrible bola basketnya.
“hai,” Cassandra menghampirinya dan segera Lintang menghentikan
aksinya
“hai juga, Cassandra…, Ngomong-ngomong kenapa disekitar sini?”
tanya Lintang
“rumah pribadi kami ada disebelah sana…, enggak jauh dari rumahnya Sofie,”
jawab Cassandra sambil menunjuk sebuah
yang beberapa hari bulan yang lalu direnovasi oleh pemiliknya. Dan ternyata
pemiliknya adalah keluarnganya Cssandra.
“aku bolehkan ikutan main basket?”
“emang kamu bisa?” tanya Lintang sambil memandangi Cassandra dengan
pandangan tidak percaya. Lintang sepertinya meragukan keahlian Cassandra dalam
bermain basket. Namun keraguannya pada Cassandra terjawab sudah. Ia kalah
sepuluh poin dari Cassandra. Padahal dia adalah pencetak angka terbanyak
sewaktu SMA dulu.
“oh ya flashdisknya besok ya?” kata Cassandra sambil berjalan
menuju rumahnya.
“iya…, kapan-kapan kita main basket lagi ya?” ucap Lintang
Beberapa hari kemudian Cassandra, Lintang dan juga Sofie bermain
basket dihari minggu. Saat mereka libur kuliah dan libur setoran hafalah kepada
Bu Mira, mereka menyempatkan diri untuk bermain basket bertiga. Mereka berhenti
bermain basket saat Lintang mendapatkan telpon dari Neci. Casssandra melirik Lintang dengan lirikan mata
yang tajam. Sofie tidak sengaja melihat ekspresi Cassandra dan ia melihat ekor
matanya yang tertuju pada Lintang. Tiba-tiba ia merasakan aura yang sama saat
ia melihat Cassandra untuk pertama kalinya. Aura yang penuh dengan warna hitam
kelam dan pekat.
“aku pulang dulu, ada urusan dirumah,” Cassandra langsung pergi
meninggalkan mereka dilapangan basket.
“ya, hati-hati Andra...,” ucap Lintang yang masih meletakkan
hapenya ditelinga kanannya
Sofie terdiam, memandangi dan memperhatikannya dengan seksama. Sofie
memandangi Lintang yang akhir-akhir ini akrab dengan Cassandra dan kemudian dia
memandangi punggung Cassandra yang semakin menjauhi mereka berdua. Seperti ada
sebuah benda gelap dan pekat yang dia lihat tiap kali Cassandra dekat dengan
Lintang. Dan bahkan lebih parah lagi saat ia mendengar nama Zayn dan Neci.
Sepertinya dua orang itu memiliki korelasi yang cukup kuat dengan hawa dan aura
yang penuh kegelapan ini.
Dua hari kemudian saat mereka masuk kuliah aktif disemester ganjil,
mereka dikejutkan dengan insiden meninggalnya seorang mahasiswa jurusan
Bimbingan Konseling yang katanya gantung diri di kamar mandi. Sofie ingat
dengan betul itu adalah kak Sandhi, salah satu mahasiswa berbakat di kampus
yang bahkan sudah menjadi salah satu finalis di olimpiade BK tingkat nasional beberapa
bulan yang lalu. Para mahasiswa yang berada didalam semua kelas dan kantin sedang
riuh membicarakan hal tersebut. Tidak ketinggalan dengan beberapa panitia
Seminar yang sedang bersiap rapat.
Sofie terdiam dan memperhatikan Cassandra yang sudah berada didalam
ruang rapat sejak tadi pagi. Cassandra diam saja dan berlalu begitu saja dari ruangan
setelah rapat selesai. Dia seperti menolak untuk ikutan berspekulasi mengenai
masalah tersebut. Sepertinya sia tidak ingin begitu jauh mengomentari kejadian yang
menggemparkan fakultas ini. Dia juga hanya bicara seperlunya saat rapat
mengenai seminar wirausaha yang mereka adakan tiga bulan yang akan datang. Yah,
seperti Cassandra yang biasanya yang hanya mau bicara jika diawali oleh orang
lain yang mengajaknya berbicara. Tapi, memang bukan Cassandra jika tidak
membuat hal yang membuat para panitia terkejut. Termasuk rapat kali ini.
“kenapa tidak kita gunakan moderator dari anak kelas ekonomi juga?
Neci juga bisa kan? Dia juga sering menjadi MC offair dibeberapa radio dan
stasiun TV lokal kan? Dan juga ayahnya Zayn Hasan…, Pak Firman Hasan…, dia kan
seorang dosen Internasional yang juga seorang entrepreneur sukseskan? Kenapa
tidak kita undang beliau…, lagipula seminar ini hanya untuk region kampus aja
kan?”
Lintang terkejut mendengar nama gadis yang selama ini dia suka
disebut oleh Cassandra. Sofie yang dari awal tahu kalau Neci adalah orang yang
disukai Lintang terperanjat dan memandangi Cassandra dengan pandangan penuh
curiga. Tapi ada yang membuat Sofie lebih terkejut lagi yaitu mengenai ekspresi
wajah Lintang yang langsung berubah drastis tatkala ia mendengar nama Firman
Hasan. Ekspresinya begitu berbeda dari sebelum rapat. Biasanya Lintang selalu
mempunyai usul yang jitu. Tapi hari ini sepertinya ia tidak bisa melakukan
apapun. Ia cuma diam saja sampai rapat selesai. Setelah rapat selesai Lintang
berjalan keluar dari ruangan rapat dengan gontai. Lagi-lagi ia mendapat kejutan
saat hendak menuju toilet. Pintu toilet pria kembali dikerumuni banyak
mahasiswa dan dipasangi garis polisi. Dia
terkejut karena sebelumnya ia tidak menduga kejadian yang menimpa Sandhi akan
terulang kembali.
“ada apa Na?” tanya Lintang kepada Nana yang melintas diepannya.
“kali ini adiknya kak Sandhi, Dioniriya, dia itu masih sepupuan
sama aku, sepertinya kejadian ini udah direncanakan, apa salah sepupu aku itu?
Mereka enggak salah sama sekali…, bahkan mereka udah membawa harum nama
Universitas ini, dan juga…, dan juga…,” ucap Nana dengan nada gemetar. Ia
menangis melihat dua kejadian beruntun yang menimpa kedua sepupunya tersebut.
Kematian dua mahasiswa itu menjadi pukulan telak dan membuat citra kampus
menjadi buruk. Bukan hanya itu saja, kematian dua mahasiswa berbakat itu juga
merupakan sebuah teror yang mengancam berbagai mahasiswa yang ada disana.
Disangkal atau tidak, banyak mahasiswa yang takut termasuk Nana.
“dua orang yang mati itu
adalah keluarga Kak Zayn, kamu tau kan orang itu dan keluargaku juga memiliki
hubungan dengan mereka... aku tidak mau ada target lain yang menjadi sasaran
pelaku ini,” Nana melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi digenggam oleh
Lintang.
“ssstt.... jangan ngomong yang buruk dululah Na…,”
“tapi bisa jadikan? Bisa jadikan kalau ada…,” Nana berbisik sambil
memegangi jari-jarinya. “dan bisa jadikan kalau kta sendiri adalah target selanjutnya...,”
ucap Nana setengah berbisik.
“itu enggak akan pernah terjadi, kamu tenang aja…,”
Mereka berdua, Lintang dan Nana duduk disebuah bangku dikantin
indoor. Dan juga tidak ketinggalan dua wanita lainnya lagi, Cassandra dan
Sofie. Mereka sendiri terkejut dengan banyaknya mahasiswa yang berkerumun
disekitar toilet. Mereka baru saja menyelesaikan proposal yang harus diberikan
pada dekanat dua hari lagi. Dan melewati toilet tersebut. Namun setelah melihat
kerumunan itu untuk kedua kalinya mereka langsung mencari Lintang dan Nana yang
sudah ada dikantin. Mereka berdua belum tau dengan jelas apa yang terjadi dan
juga kronologinya. Sehingga mereka memilih untuk membicarakan apa yang mereka
dapatkan dari petuga polisi.
“motif pembunuhan ini belum diketahui secara pasti, jadi kita
mungkin bisa tenang sedikit, lagipula sebagai mahasiswi hukum kamu tau ini
lebih dari kita Na” ucap Sofie.
“Dion? Bukannya dia itu
Kosma Ekonomi Pembangunan? Bukannya dia juga Anggota MPM? Koq bisa sih?” tany
Cassandra pada mereka bertiga. Ya, mereka bertiga baru ingat siapa yang
terbunuh. Nana mematung dan memandangi jus yang dia pesan.
“itu yang aku bingungin, bahkan pelakunya tidak meninggalkan bukti
sama sekali, tidak ada jejak kaki apalagi sidik jari, lalu kenapa yang diincar
adalah mahasiswa dengan prestasi yang tidak bisa diremehkan? IPK mereka selalu
cumlaude…, apa karena ada pihak yang tidak setuju dengan hasil kongres kemarin
sehingga mereka semua menjadi sasaran? Atau ada alasan lain…,” Nana tidak jadi
menyelesaikan omongannya dan memilih diam. Nana hanya memandangi Lintang dan
Sofie bergiliran. Cassandra memandangi Sofie dengan penuh arti sementara Sofie
hanya diam dan memandangi beberapa mahasiswa didepan mereka yang membicarakan
hal yang sama. Lintang yang merasakan keanehan dengan sikap mereka berdua akhirnya
mengajak Sofie pulang bareng. Sementara Nana pergi kerumah Cassandra untuk
mengambil draft yang masih tertinggal dirumahnya.
“kenapa kamu tadi memandangi Cassandra dengan pandangan seperti
itu?” tanya Lintang tanpa mengalihkan pandangannya dari Sofie yang sedang memesang wajah
serius.
“matanya dan auranya penuh dengan kegelapan, gelap dan pekat, aku
curiga aja sama dia...,”ucap Sofie dengan mata yang sangat serius.
“ucapanmu itu kayak di komik aja deh Fie, kayak orang yang bisa
membaca aura aja, aku enggak percaya dengan hal seperti itu, aku enggak pikir
kalau dia kayak gitu, dia juga baik kan selama ini?” jawab Lintang seolah-olah
ia menyalahkan apa yang dikatakan oleh Sofie barusan.
“apa kamu sama sekali tidak ngrasain gitu? apa kamu enggak merasa
aneh?”
“bukannya itu biasa-biasa aja..., kenapa kamu harus seperti itu
sama dia?”
“itu mencurigakan banget tau gak?!” dan akhirnya Sofie menjadi sedikit emosi karena apa
yang menjadi balasan atas ucapannya barusan.
“mencurigakan dari mananya sih Fie? Tolong pakai logika dong…,
bukannya kita diajarkan untuk selalu objektif dan mengesampingkan perasaan
kita…, apalagi ini adalah kasus yang bisa dibilang skalanya tidak kecil, kenapa
sih Fie? udah enggak usahlah kamu sentimen sama Cassandra,” Lintang kemudian
menaikkan kecepatannya dalam mengayuh sepeda dan berada disisi kanan Sofie.
“kenapa aku mesti sentimen sama dia? Emang sih dia memiliki IPK
tertinggi sejurusan, dia juga
cantik, tapi bukan berarti aku tidak suka sama dengan keberadaan dia, jadi apa
yang perlu aku sentimenkan?”
“beneran?!” tanya Lintang
“segitunya ya kamu? Pikir deh dari awal! Awalnya sebelum dia masuk,
dan sebelum dia masuk ke kapus kita, kampus kita baik-baik aja kan? Dan setelah
itu bahkan dia sudah mengajukan Neci sebagai moderator…, seolah-olah tuh dia tahu apa yang ada didalam pikiran kamu,” kata Sofie. Dan ia berusaha meyakinkan
Lintang.
“hal itu biasa aja kan Fie, lagipula kedatangan dan kemunculan
Cassandra dikampus jangan kamu jadikan sebuah alasan untuk kasus ini…, bukannya
jika melakukan penyidikan dengan latar belakang yang seperti itu kamu juga
harusnya patut dicurigai? Interval kedatangan kalian dikampus juga enggak lama
kan? Cuman terpaut seminggu doang jadi apa
bedanya coba,” perkataan
Lintang kali ini membuat Sofie merasa sesak. Dadanya terasa panas dan perih.
Tapi begitu jauh dan tidak terjamah. Rasa sakit yang begitu menghujam dirinya.
Rasa sakit yang melebihi semua akumulasi rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
Bagitu sakit dan sangat sakit, begitu sakitnya sampai ia bahkan tidak bisa
berkata sama sekali.
“bahkan sampai seperti ini…,” Sofie semakin merasa sesak dan tidak
bisa lagi ia menahannya. Sehingga melelehlah airmatanya dari kedua matanya. Air
mata yang tidak bisa ia tahan lagi.
“bahkan sampai kamu mengatakan hal itu sama aku…, ya…, lebih baik
memang kamu percaya sama dia, dan sepertinya kamu jauh lebih baik kalau aku tidak
kembali lagi kesini! selamat bersenang-senang dengan sahabat baru kamu itu! dan
terus saja curigai aku!” Sofie langsung mempercepat kayuhannya dan mendahului
Lintang. Dia menangis sepanjang jalan.
Dia tidak menyangka jika ternyata Lintang jauh lebih percaya pada
Cassandra dibandingkan dirinya. Karena insiden itu Sofie bahkan tidak pernah
sama sekali pergi kuliah bareng dengan Lintang. Bahkan ia sempat mendiamkannya
sampai beberapa minggu. Ia sangat sakit hati dengan perkataan Lintang yang
menyebut bahwa dirinya terlibat.
Lintang yang sedang mengayuh sepedanya dari parkiran belakang tiba-tiba berbalik arah setelah sebelumnya ia berhenti. Sekedar
mengecek sebuah pesan singkat yang masuk kedalam handphonenya sesaat lalu. Dia mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju sebuah kafe dikampus. Karena ada seseorang yang menunggunya
disana.
“kenapa? Kenapa tiba-tiba manggil aku buat kesini lagi? Ada apa
emangnya?” tanya Lintang dengan raut wajah dingin dan kaku.
“duduk dululah…, aku udah pesen makanan buat kamu,” Zayn yang tadi ia
temui diperpustakaan sedang duduk dikursi didalam kafe. Lintang berdiri
memandangi Zayn dengan perasaan yang masih sama dengan yang kemarin. Marah,
marah dan hanya marah.
“langsung aja, kenapa? Emang ada apa kamu kirim pesan dan nyuruh aku duduk disini?” Tanya Lintang dengan raut wajah yang sama sekali
tidak berubah.
“duduk dulu lalu makan baru kita bicara, ada banyak hal yang ingin
aku tanyakan sama kamu,” jawab Zayn dengan nada yang rendah. Ia memandangi
Lintang yang masih berdiri didepannya dengan raut muka yang masih marah. Zayn
kembali memainkan handphonenya.
“sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan? Bukan hal yang penting
kan?”
“duduk dulu, Lintang,” kata Zayn dengan tenang.
“aku tidak ingin duduk semeja denganmu dan aku juga tidak ingin
makan makanan yang kalian pesan, aku bukan orang rendah yang bisa kalian
jatuhkan semau kalian,” kata Lintang dengan wajah yang memerah. Zayn
memandanginya dan meletakkan hapenya kedalam saku jaketnya.
“kenapa kamu berlaku tidak sopan seperti ini? Apa kamu lupa? Aku
ini Kakakmu,”
“sejak kapan kalian memberiku keluarga? Aku juga tidak pernah
memiliki Kakak, kalian hanya memberiku ketakutan dan air mata, jadi jangan
pernah sekalipun…,”
“kenapa tidak selesai? Kesulitan mencari kalimat? Benarkan?” tanya Zayn.
“sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Lintang yang masih
saja tetap berdiri tanpa duduk sama sekali. Dan sekarang mereka sukses menjadi pusat
perhatian.
“aku sudah menyuruhmu untuk duduk kan? Makanan kita juga masih
dimasak,”
“aku rasa tidak penting untuk berada disini…, dia juga akan
mentertawakanku lagi seperti waktu itukan? Dan ibuku akan dihina lagi? Lalu
apalagi? Bahkan…, sudahlah ku pikir sudah tidak ada hal yang penting lagi yang
akan kau dibicarakan,” Lintang tidak menyelesaikan perkataannya dan langsung
berjalan dengan cepat menuju tempat ia memarkir sepedanya. Zayn memandanginya
dengan pandangan nelangsa.
“kenapa masih tidak bisa? Kenapa kamu tidak bisa memanggilku
Kakak…, apa begitu dalam luka itu? Kenapa bahkan kamu tidak mau duduk semeja
denganku…, padahal kita memiliki darah yang sama…, apa sebegitu dalam?”
“aku heran kenapa kamu dan Lintang berjauhan…, apa kamu sudah mulai
sadar?” tiba-tiba Neci menghampirinya yang sedang berusaha mengeluarkan
sepedanya dari parkiran. Hari ini Sofie berangkat kuliah dan pulang sendiri.
Bahkan dia tidak memarkir sepedanya diparkiran FEB. Dia memarkirnya diparkiran
umum yang jaraknya lumayan jauh. Dan ia tidak menyangka jika Neci membuntutinya dan mencegatnya
disini.
“apa kamu sudah sadar siapa kamu yang sebenarnya?” tanya Neci
dengan nada mengejek.
“seharusnya kamu yang berkaca, aku atau kamu yang harusnya
sadar…,” kata Sofie
“jangan menyulut emosiku yang masih merendah ya Sofie…,” ucapnya
dengan manis.
“emosimu? Enggak kebalik? Jujur ya aku males kalo bertemu sama
kamu, jadi sebaiknya kamu jangan ganggu aku sekarang Ci, aku lagi enggak mood
untuk berantem, dan juga, kalau kamu masih seperti ini, masih ngomong agar aku
menjauh dari dia, aku malah akan berbuat sebaliknya, aku akan merebut dia dari
hadapan kamu, aku bisa merebut dia dari kamu, karena aku bahkan lebih tahu
siapa dirinya, aku tahu lebih mengenai dirinya daripada dia mengenal dirinya
sendiri, permisi,” Sofie menaiki sepedanya. Ia menengadahkan wajahnya menuju
lantai sebuah tiga gedung yang berada dibelakang parkiran. Ia kembali
mengarahkan pandangannya kesepedanya dan
bergumam sendiri.
“kenapa aura itu selalu ada dikampus ini? Sebenarnya kenapa?”
Nana berjalan menuju rumahnya setelah turun dari angkot. Dia masih
belum bisa tenang meski Lintang sempat berkata padanya kalau dia akan baik-baik
saja. Dia masih terpikirkan dengan beberapa kejadian yang terjadi. Dua sepupunya
terbunuh dengan kondisi yang sama, sebenarnya apa yang terjadi?
Beberapa hari lalu saat ia berkunjung kesuatu tempat, ia merasa ada
yang aneh. Tapi apa benar sebenarnya hal itu yang terjadi? Tapi motifnya apa? Dia,
sambil berjalan, ia merasakan ada seseorang yang mengikutinya. Sesekali dia
menoleh kebelakang dan berjalan dengan tergesa-gesa dan kembali menoleh
kebelakang. Dia tidak menyadari kalau ada seseorang yang tengah memperhatikan
dirinya.
“hai…, aku heran kenapa kamu masih tidak mengatakannya padahal kamu
sudah tau…,” suara yang muncul ditengah kesunyian jalan membuat Nana terjingkat.
Kaget.
“kamu…, kenapa ada disini?” ucap Nana dengan nada gemetar. Dia
berjalan mundur perlahan. Berusaha mencari perlindungan dari sosok menakutkan ini.
“kenapa aku ada disini? Itu karena kamu…,” jawabnya dengan seringai mengerikan.
“ha? Aku? Bukannya selama ini aku diam aja…, kenapa kamu kesini?”
“kenapa harus mundur? Toh, kamu tidak akan bisa lari dari kenyataan
bahwa kamu sebentar lagi juga akan menyusul dua saudara sepupu kamu itu,” jawabnya
sambil terus berusaha melangkah mendekati Nana yang terus berjalan mundur
darinya.
“aku tidak ada hubungannyakan dengan masalah ini? Lalu kenapa harus
aku dan sepupuku?” Tanya Nana, ia berusaha menutupi ketakutannya.
“kamu dan mereka bertiga…, ada hubungan atau tidak, itu bukan
urusanku…, lagipula orang yang sudah tahu rahasia orang lain mustahil tidak
memberitahukannya ke orang lain, nah sudah waktunya…, ada kata-kata terakhir?”
Tiba-tiba orang itu menusukkan sebuah pisau keperut Nana. Nana
menahan rasa sakit itu sambil membela diri. Dia yang pernah mendapatkan pelajaran
beladiri saat sekolah berusaha agar sebisa mungkin keluar dari kuncian orang ini.
Terjadi perkelahian yang cukup lama dan akhirnya ia tertusuk untuk kedua
kalinya dibagian yang sama. Dan kali ini ia berhasil memukul diafragma orang
yang menusuknya ini dengan sangat keras. Akibatnya orang ini terjerembab ke
belakang. Tendangannya cukup keras dan membuat orang ini jatuh agak lama. Dia memiliki
kesempatan untuk berlari dan bersembunyi. Dia berlari menuju balik tembok semua
rumah yang dilindungi oleh pepohonan yang rindang. Ia mengawasi kondisi
sekitarnya yang tampak sunyi. Ia menghela napas lega saat mendengar suara mobil
yang sudah pergi dari lokasi tempat ia tertusuk tadi.
“alhamdulillah… akhirnya dia pergi juga…,” gumamnya.
Dia duduk dengan menahan dua luka tusuknya yang lumayan lebar. Ia
menutupnya dengan hijabnya yang sudah basah dengan darah yang terus keluar dari
lukanya. Ia membuka tasnya dan membuka ponselnya. Disana ada sebuah pesan
singkat yang masuk dari nomer yang tidak ia kenal. Belum sempat ia membaca isi
pesan tersebut, ia melihat ada sebuah sinar bulat kecil berwarna merah yang
mengarah ke padanya. Dia tersadar bahwa ada sinar laser yang mengarah tepat padanya.
Belum sempat dia menghindar dari sinar laser senjata yang mengarah padanya itu,
Nana langsung rubuh dan menjerit kesakitan. Pemilik rumah yang mendengar
jeritan Nana langsung berlari keluar rumah dan mencari sumber suara. Mereka
menemukan Nana yang sudah tidak sadarkan diri bersimbah darah dibawah tembok
dengan hape yang masih menyala.
Sehari menjelang UAS barulah Lintang mendengar berita mengenai Nana
dari beberapa temannya di BEM FEB. Menurut kabar yang ia dapatkan Nana juga
ditemukan tertembak. Sekarang dia sedang koma. Dokter tidak bisa memprediksi
kapan dia akan sadar penuh. Karena selain terkena luka tembakan yang parah,
tusukan pisau itu juga mengenai hatinya dan sangat dalam. Bisa saja dengan luka
tersebut Nana akan meninggal. Lintang benar-benar frustasi mendengarnya.
Terlebih ia juga pernah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja karena kasus
kemarin tidak berhubungan dengan dirinya. Namun nyatanya Nana juga tertembak
dan bahkan sekarang ini dia koma.
Lintang pulang dari kampus dengan langkah gontai. Sejak kejadian
kemarin, sudah beberapa hari ini Sofie berangkat kuliah sendiri. Dia juga tidak kelihatan setor hafalan ke Bu Mira. Ia bahkan tidak
sadar jika seseorang sedang mengintainya. Orang itu langsung menjalankan
mobilnya menjauhi Lintang. Sesaat sesudah mobil itu pergi Lintang menoleh
kebelakang dan dia tidak menemukan apapun. Lintang pulang kerumahnya dan
mengambil bola basket. Ia iseng menghampiri mamanya yang sedang membuat pola
baju.
“Ma…, tadi Sofie main kesini nggak?” tanya Lintang sambil duduk
manis disamping mamanya.
“enggak tuh…, memangnya dia enggak kuliah apa? Kalian kan sering
berangkat bareng?” Tanya Mamanya sembari menghentikan pekerjaannya dan melihat ekspresi
anak semata wayangnya yang beranjak dewasa ini.
“udah beberapa hari ini dia enggak bareng kalau berangkat kuliah,
di kampus juga seperti main petak umpet…, dia hilang gitu aja Ma…,” jawab
Lintang sambil manyun.
“hem…, jangan-jangan kamu kangen lagi sama dia ya?”
Mamanya tersenyum dan menggodainya
“Mama…, udah deh jangan godain Lintang sama Sofie lagi, berasa masih
anak SD aja aku ini…, ya udah aku pergi dulu
Ma…, assalamu’alaikum,”
“waalaikumussalam,”
Lintang berjalan menuju
lapangan basket dan sesekali mendribel bolanya ke aspal. Pikirannya masih saja penuh dengan Sofie. Sebenarnya selama ini dia pergi kemana?
Sesampai dilapangan basket dia melihat Cassandra yang sedang duduk,
dan akhirnya Lintang menegur Cassandra yang sedang duduk terdiam dilapangan
basket tersebut dan mengajaknya bermain basket. Sesudah bermain basket mereka
berdua duduk di tepi lapangan basket dan bercakap-cakap.
“tumben akhir-akhir ini kamu enggak bareng Sofie? Kemana dia? Beberapa
hari ini dia juga enggak berangkat kuliah bareng kamukan? Emang kalian lagi
berantem? marahan?” tanya Cassandra
“ya, mungkin itu karena kesalahanku juga,” jawab Lintang pelan. Dia
terdiam dan tiba-tiba saja ia memikirkan kalimat yang diucapkan Sofie mengenai
Cassandra.
“kenapa diam?” tanya Cassandra
“lah aku harus gimana dong?” Tanya Lintang kebingungan.
“ya…, seperti biasa aja…, enggak usah diam kayak sekarang ini…,”
ucap Cassandra. Lintang memperhatikan Cassandra sambil tersenyum.
“sebenarnya kamu kenapa diam sih? Apa karena kamu berantem sama
Sofie? Apa dia cemburu sama kamu? Atau kamu yang buat dia marah?” Tanya
Cassandra
“enggaklah, enggak mungkin, dia itu enggak mungkin cemburu sama aku,
kita itu udah sahabatan sejak kecil, sejak keciiiil banget tau, jadi mana
mungkin dia cemburu sama aku, dan… aku juga tidak mungkin juga cemburu sama dia,
kita itu udah seperti saudara malahan,” jawab Lintang sambil beberapa kali
memutar bola basket yang ada ditangannya.
“nah… karena itu, karena kalian itu terlalu dekat, kalian berdua
sampai-sampai tidak sadar seberapa sayang dan khawatirnya kalian berdua antara
satu sama lain… rasa sayang sebagai sahabat dan saudara yang kemudian menjadi
berkembang menjadi rasa sayang yang tidak sewajarnya…,” kata Cassandra sembari
tersenyum penuh arti.
“enggak tuh ye, sok tau kamu
Ndra, aku dan Sofie itu hanya sayang sebagai sahabat…, no more…,” kilah Lintang
“aku enggak yakin tuh kalau kamu hanya menyayanginya sebagai sahabat
aja… pasti kamu sendiri juga punya perasaan sama dia kan? Karena itu kamu
berusaha untuk menekan perasaan kamu itukan? Halah… ngaku aja deh kamu,”
“bukan, serius bukan itu,” Lintang berusaha berkilah atas
ucapan yang ditujukan padanya. Melihat ekspresi dari Lintang, Cassandra
tersenyum hampir tertawa bahkan.
“kamu itu… kapan sih tidak berkilah seperti ini? Kenapa kamu malah
selalu menghindari perasaan kamu sendiri sih? Dia itu sudah ada didepan mata
kamu lho, dekat banget malah, kamu kok malah selalu berkilah sama perasaan kamu
dan dirinya? Kalo dia hilang nyesel loh,” kata Cassandra dengan nada suara jenaka.
“udah-udah jangan bahas itu lagi, lagian juga… hm.... ada satu hal yang selalu membuatku kesal, tapi aku
juga tidak bisa melepasnya…, tapi karena hal ini juga aku terlihat seperti
orang bodoh dimata beberapa orang, bahkan Bu Mira juga mengatakan hal itu
padaku, aku bingung tidak tahu alasan kenapa ada orang yang sama sekali tidak
pernah melihatku dan cuma melihatku jika butuh, apa aku ini memang tidak berhak
untuk dikasihi dan disayangi?” Lintang terdiam beberapa saat setelah mengatakan
kalimat tersebut. Cassandra yang ada disebelahnya juga ikut terdiam begitu
selesai mendengarkan keluhan Lintang. Tiba-tiba Lintang merasa ada seseorang
yang diam-diam sedang memperhatikannya. Dia menoleh kesana kemari dan berusaha
mencari dan menemukan siapa yang memperhatikannya. Ia bahkan berharap bahwa itu
adalah Sofie yang diam-diam memperhatikannya. Itupun jika perkataan Cassandra
tadi benar adanya.
“cie… pasti lagi berpikir andai aja Sofie lihat aku disini, cie…,”
“ngacau kamu, enggak lagi…,” ucapnya kemudian menundukkan wajahnya.
“semua orang yang hidup didunia ini berhak kok untuk disayangi dan
dikasihi, siapapun dan dari golongan apapun dan dari kasta manapun dia, dia
berhak untuk disayangi, termasuk kamu… kamu itu sangat pantas untuk disayangi
dan dikasihi semua orang… aku juga… meski terkadang kita harus memberikan
perhatian dan sayang yang lebih kepada mereka, meski terkadang ada satu rasa yang
sangat sakit kalau kita tidak diperhatikan oleh mereka, tapi semua orang berhak
merasakan hal yang sama termasuk… rasa cinta, rasa sayang dan perhatian…,
“tapi kebanyakan orang yang kita perhatikan tidak sadar bahwa ada
orang yang sangat khawatir dan sangat sayang padanya melebihi sayangnya untuk
dirinya sendiri dan orang itu adalah kita, orang yang selama ini selalu berada
disampingnya, tapi terkadang mereka tidak sadar betapa berartinya orang-orang
seperti kita untuknya, orang-orang yang sangat mencintainya lebih dari
mencintai dirinya sendiri… dan mereka akan sadar jika kita sudah hilang dari
pandangan mereka dan tiada untuk selamanya” ucap Cassandra dengan dalam.
“tapi kenapa orang seperti kita harus terluka?” tanya Lintang
dengan wajah yang masih tertunduk. Cassandra juga menundukkan wajahnya. Ia
meneteskan sebulir air mata.
“mereka memang ditakdirkan untuk terluka, tapi mereka pasti akan
bahagia… mereka akan selalu menemukan yang namanya bahagia… tapi terkadang ada
juga yang tidak…,” ucapnya dengan pelan. Seolah ada luka yang ia sembunyikan
dalam setiap perkataannya.
“tapi sekali lagi luka dan bahagia itu adalah pilihan, dan
lagi-lagi pilihan itu yang akan menyadarkan kita untuk berbuat satu hal yang tidak
kita inginkan yaitu egois… kalau kita ingin bahagia, kita pasti akan
meninggalkan rasa sakit itu kan? Dan pasti kita akan memilih perasaan bahagia
itu, padahal dengan rasa sakit itu kita bisa melihat betapa indahnya dan
menyenangkannya memperlakukan seseorang dengan istimewa dihati kita… tapi
terkadang perlakuan seperti itu juga akan membuat kita sakit hati diakhirnya
nanti,” ujar Cassandra sambil memperhatikan mimik wajah Lintang yang semakin
dalam dan semakin dalam dari biasanya. Baru kali ini ia melihat Lintang seperti
ini. Baru kali ini ia melihat wajah terluka Lintang.
“ya, itu memang benar, aku
baru tau sekarang, bahkan orang yang tampan dan pintar sepertiku pun merasakan
hal seperti itu,” sesudah mengatakannya Lintang menggembungkan pipinya.
“ternyata benar ya, kalau
kamu itu suka memuji diri sendiri..,” Cassandra tersenyum.
“tapi kan tidak apa-apa... lagipula aku kan memang tampan... ya lumayan
pinter juga kan? Meski aku tidak suka ikut organisasi, tapi koneksiku juga
tidak kalah dari mereka, tidak salah kalau aku memuji diriku sendiri kan? Daripada aku dipermalukan coba?”
“yayaya, terserah kamu aja...
daripada kamu menangis karena patah hati,”
“sudah sore Ndra... kamu enggak pulang?” Tanya Lintang
“ini aku juga mau pulang, oh ya seminggu
lagi kita akan mengadakan seminar, jangan
lupa ya? Jangan datang telat apalagi enggak datang cuman gara-gara cewek,”
Cassandra berdiri dan berjalan menjauh dari lapangan. Beberapa langkah agak
jauh dari lapangan dia berbalik kearah Lintang lagi. Lintang mengawasinya
sambil tersenyum tipis melambaikan tangan kanannya. Cassandra membalas lambaian
tangan itu lalu pergi. Lintang berjalan menuju rumahnya Sofie dan berharap jika
Sofie ada dirumahnya. Begitu memasuki rumahnya Sofie, ia melihat sepedanya dan
sepeda motornya ada dirumah. Otomatis sekarang ini Sofie sedang ada dirumah.
Dan kemungkinannya untuk bertemu dengannya sangat besar. Dia bertemu Mamanya
Sofie yang sedang membaca sebuah buku. Ia mengetuk pintu pagar dan memberi
salam.
“Tante…, Sofie ada?” Tanya Lintang sembari memamerkan senyuman terbaiknya
yang bisa membuat segerombolan remaja putri pingsan karena terpesona.
“yah… Lintang, dia baru aja
pergi ke Sukabumi, tadi pamannya datang kesini dan ngajak ke rumahnya, soalnya
anak pamannya baru saja wisuda dan sekarang mereka ngadain syukuran,” jawab mamanya Sofie setelah menaruh
bukunya diatas meja terlebih dulu. Mendengr jawaban dari mamanya Sofie, Lintang
menjadi sangat kecewa.
“oh… gitu ya Tante,”
“duduk dulu Lin minum teh sama Tante, sudah lama lho kamu tidak
main ke sini,”
“iya tante, tapi kapan-kapan aja
ya? Ehm…, maaf ya Tante kalo udah ganggu,” Lintang berjalan dengan gontai dari
rumah Sofie. Dia berulang kali berusaha untuk menemuinya. Namun hasilnya sama
saja, nihil. Sepertinya perkataan Cassandra tadi ada benarnya juga. Sekarang
ini ia baru sadar, betapa berharganya Sofie bagi dirinya. Karena sekarang ia
tidak bisa bertemu dengan Sofie, ia tidak punya tempat yang bisa dia curahkan
isi hatinya. Ia bagaikan sebuah layangan yang putus dari talinya. Kehilangan
arah dan kendali dalam taraf yang sangat parah. Dia sudah berulangkali menelpon
Sofie namun handphone Sofie dialihkan ke pesan suara. Sofie sepertinya sangat
marah padanya. Ia sudah menyakiti hatinya, tapi ia benar-benar tidak bisa hidup
tanpa Sofie. Dan akhirnya dia meninggalkan pesan suara ke handphone Sofie.
“aku sudah menelponmu berulang
kali... mungkin sudah seratus sembilan kali aku berusaha menghubungimu tapi aku tetap tidak mendapat jawaban darimu, kenapa
kamu tidak mengangkat panggilan dariku? Baik aku tahu kalau aku salah, aku
begitu naif dan tidak mau mendengarkan ucapanmu, aku tahu kalau aku salah… tapi
aku mohon… dnegarkan aku, tolong dengarkan aku Fie, Aku membutuhkan kamu Fie, sangat
membutuhkanmu, aku sangat membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu, hanya kamu yang
aku punya, cuma kamu, aku hanya memiliki kamu Fie..., tolong... tolong, tolong maafkan
aku…, dan tolong jawab pesanku sekali saja, ku mohon…,”
Lintang berjalan pulang ke rumahnya. Ia berusaha menghubungi Sofie
sampai tengah malam. Sampai ia tertidur dengan lelap dengan muka lelah.
Ditempat yang lain, Sofie sedang bersama
pamannya yang ternyata adalah salah satu anggota intelejen dari kepolisian. Sofie
sedang berada di tempat kerja pamannya karena sedang dimintai keterangan oleh
polisi. Dan beberapa hari yang lalu polisi mendapatkan sebuah bukti yang belum begitu
kuat namun bisa dijadikan pengembangan pada kasus ini. Dan bukti itu
berhubungan dengan Sofie dan Lintang. Disana Sofie mendengarkan pesan suara itu berulang kali. Dan tiap kali mendengarkannya dia
terus bersimbah air mata.
“anak yang dekat denganmu itu dia
pasti baik-baik saja…,” kata pamannya.
“jika seperti itu kenyataannya…, dia pasti akan mempertaruhkan
nyawanya untuk orang itu, dia itu hanya anak bodoh yang belum tau apa-apa…,
bagaimana jika nanti dia benar-benar melakukan hal itu? Dia itu nekat dan
egois, tidak bisa berpikir panjang dan logis…, bagaimana ini?” Sofie menangis.
Seminggu kemudian Sofie datang kerumah Lintang bersama dengan
pamannya, dan juga seorang anggota polisi pria. Dia mengunjungi rumah Lintang
bersama dua polisi itu pada malam hari. Lintang sangat bahagia melihat Sofie
baik-baik saja. Apalagi dia kelihatan sangat sehat. Sofie mengajak Lintang
berbicara dikamar belajarnya Lintang. Sementara pamannya sedang memberikan
pengertian kepada mamanya Lintang. Lintang tersenyum lebar, dan hampir saja ia
memeluk Sofie, jika saja ia tidak ingat bagaimana hukumnya melakukan hal
tersebut.
“Fie!” Lintang tersenyum lebar saat melihat Sofie dihadapannya.
“kamu kemana aja selama ini? kenapa pesan suaraku tidak kamu
balas?” Lintang menatap tajam Sofie. Sofie memandanginya dengan cemas.
“semua ini demi keselamatan kamu…, karena kamu pasti akan rela
mengorbankan nyawa kamu jika kamu tahu sebenarnya yang terjadi,” ucapan Sofie
membuat Lintang yang duduk langsung berdiri dari kursinya. Sofie membuka
sedikit tirai kamar Lintang yang mengarah langsung menuju rumah Cassandra. Ia
terus saja mengamatinya dengan seksama. Lintang menghampirinya dan menutup
tirai kamarnya. Ia menatap Sofie dengan serius sekali.
“sebenarnya apa yang sedang kalian sembunyikan?”
“sekarang yang terpenting adalah kamu harus selamat, polisi juga
sudah merencanakan semuanya dengan rapi dan aku yakin mereka akan berhasil, dan
aku juga tidak ingin kamu terlibat terlalu jauh…,” Sofie mengatakannya dengan
sangat yakin.
“ceritakan padaku tentang apa yang terjadi sebenarnya, aku masih
bingung Fie,” mereka berdua berjalan menuju ruang tamu.
“Lintang,” suara pamannya Sofie berdentam ditengah ruangan Lintang. “dia
itu bukan orang yang bernama Cassandra, Cassandra yang asli sebenarnya sudah
mati, sedangkan orang yang bermain basket denganmu namanya itu Cassanova, dia
yang melakukan pembunuh berantai itu,”jawab polisi pria temannya pamannya Sofie
dengan tegas.
“lalu apakah orang yang berusaha membunuh Nana juga sama?” tanya
Lintang
“iya,” jawab pamannya Sofie dengan tegas lagi. Lintang langsung
terduduk disofa begitu saja. Dia kemudian teringat dengan analisis
kilatnya dan Neci yang mereka sudah lupakan. Alasan ia telah melupakannya
adalah karena satu hal yang tidak mungkin terjadi. Pelaku itu mengincar semua
orang yang berhubungan dengan keluarga Nana, Dion dan Sandhi mereka keluarga
kak Zayn. Orang yang selama ini tidak akan dia incar adalah Zayn, karena dia
sudah ada diluar kota. Dan itu jauh dari jangkauannya. Kak Zayn sekarang ini
tidak memiliki saudara yang kuliah disana, yang ada hanya…
“Neci dimana?” tanya Lintang
dengan tiba-tiba.
“Neci baik-baik saja, dia ada di kantor polisi, lagi pula besok ada
agenda besar tidak mungkin Cassanova akan melakukan pembunuhan didepan banyak orang,
kau juga harus bersembunyi sampai semua aman karena kamu memiliki hubungan
dengan kak Zayn,” ucap Sofie. Ucapannya ini membuat Lintang terperanjat.
Bagaimana mungkin dia bisa mengetahui hubungannya dengan Zayn Hasan. Hubungan
yang lebih kental dari hubungannya dengan Sofie dan Neci. Lebih dekat dan
kental dari semuanya. Hubungan yang selama hidupnya ini ia sembunyikan dengan
erat.
“tidak, aku tetap akan melindungi Neci, nyawanya terancam...,”
“aku tau Lintang‼ tapi kamu sadar dong kamu itu siapa?! Sekarang
kamu masuk mobil dan kamu serta Neci akan aman, aku jamin Neci pasti aman,”
ucap Sofie yang berusaha menenangkan Lintang.
“aku tidak perduli‼ meski mereka menghalangi…,” Lintang menatap
tajam mata Sofie. Sofie memandanginya dengan pandangan memohon. Akan tetapi dia
sadar bahwa hal itu tidak akan bisa membuat Lintang sadar akan kapasitas dan
kapabilitasnya sekarang. Lintang tetap Lintang, dia akan nekat melakukan apapun
termasuk mati demi melindungi orang yang dia cintai. Bahkan dua orang itu besok
akan ada didepan kematian. Sehingga mau tidak mau dia harus menaikkan nada
suaranya.
“Lintang‼‼,”
“aku tidak mau!”
“kamu jangan bodoh!!! Kamu tahu siapa yang kamu hadapi sekarang,
dia sudah banyak orang, sementara kamu bisa apa?‼ apa kamu mau mati konyol
ha?‼!”
“sekalipun mati konyol aku akan melakukannya!!,”
“bodoh!!! Dia itu bukan orang biasa kayak kita‼ sekali ini aja…,
apa kamu tidak bia tidak melakukan hal yang membahayakan dirimu sendiri??”
“jika demi cinta aku akan melakukannya,” jawab Lintang dengan
lantang. Sofie mulai naik pitam.
“apa kamu bodoh ha?‼ harusnya kamu sadar bodoh‼ sadar kalau semua
itu akan sia-sia…,” teriak Sofie
“eku enggak perduli…,” Lintang berjalan hendak keluar rumah.
“Lintang jangan bodoh‼,” kata Mamanya dan Sofie bersamaan.
“lintang‼‼” Sofie berbicara dengan nada tinggi untuk mencegahnya. Namun
Lintang tidak menggubrisnya sama sekali. Bahkan Lintang kembali marah dan sebelum
sampai didepan pintu dia langsung rubuh dilantai. Pamannya Sofie menembakkan
jarum bius keleher Lintang dan langsung membawa Lintang ketempat yang aman.
Cassandra alias Cassanova sang pelaku sedang berdiri didepan meja
kamarnya. Dihadapannya ada beberapa obat dan segeas air putih. Dia menatap
laptopnya yang masih menyala dan menghampirinya. Dia kemudian membuka laci meja
belajarnya dan mengambil sebuah foto. Foto dua orang remaja putri memakai baju
SMA sedang tersenyum. Keduanya tampak bahagia sambil memegangi sebuah trofi
berwarna perak, dan sebuah medali emas dileher masing-masing. Mereka berdua
berwajah sama dan keduanya kembar identik.
“kamu yang sabar ya? tinggal satu orang lagi... satu orang lagi,”
ucapnya pelan.
“satu orang lagi dan dendammu akan terbalas, sabar ya adikku, dan
setelah itu kakak akan ke sana, kakak akan menyusul kamu… dan disana kita akan
bersatu, kita akan berkumpul lagi dan tertawa seperti dulu, kakak sayang sama
kamu, sangat sayang, kakak akan membuat mereka membayar semuanya! Semuanya!
Semua penderitaan kamu dan kematian kamu! Dan penderitaan kita berdua‼” aku
harap… kamu akan sadar siapa orang yang selama ini kamu kejar, aku
juga ingin kamu bahagia, jangan sepertiku…
Di hall meeting FEB terjadi kehebohan dan keramaian karena seminar akan
berlangsung sepuluh menit lagi. Para mahasiswa baik dari dalam kampus dan
diluar kampus datang kesana. Diantara para mahasiswa yang datang ada beberapa
polisi yang menyamar menjadi mahasiswa. Dan mereka (mahasisswa) tidak
mengetahuinya. Sementara itu pamannya Sofie berada diluar gedung Hall Meeting,
dia mencari tempat yang bisa digunakan untuk mengintai. Dia terkejut karena Cassanova
datang ketempat itu dengan wajah yang biasanya. Dia memasuki gedung Hall
Meeting dan diperiksa. Beberapa polisi menggeledahnya dan tidak ditemukan
senjata sama sekali, sehingga mereka membiarkan Casanova memasuki Hall Meeting.
Dan dia kemudian berpikir dua kali, apakah benar anak ini pelakunya.
“komandan…, Rusa sedang menuju sarang harimau,” ucap seorang anak
buahnya melalui telepon. Pamannya memandangi Cassanova dengan menggunakan fokus
yang ada disenjata apinya.
“pantau terus,” pamannya Sofie sedang gusar karena Cassandra yang
begitu saja masuk kedalam.
“baik,”
Beberapa polisi mengikutinya yang duduk ditengah-tengah para
peserta seminar. Sebagai panitia SC dia akan dengan tenang duduk diHall Meeting.
Dia tersenyum melihat dua orang pria yang duduk dibelakangnya. Dia dengan
tenang mengeluarkan handphonenya. Dia kemudian memperhatikan sekitarnya,
mencari seseorang. Cassanova heran ketika melihat Sofie datang sendiri, dia
tidak melihat Lintang di Hall
Meeting. Dengan wajah agak kecewa dia memainkan handphonenya. Dia menghubungi nomer
hape Lintang. Namun karena insiden tadi malam, hapenya Lintang dimatikan dan
disembunyikan oleh Mamanya dilaci rumahnya. Sementara mereka berdua diamankan
ditempat yang berbeda. Cassandra yang hanya mendapati nomernya tidak aktif langsung
menegakkan wajahnya. Wajahnya terlihat memerah karena marah dan geram. Ia
melihat ke arah Sofie yang sedang berjalan kesana-kemari. Tangannya mengepal
dan ia duduk dengan tegang.
Sementara ditempat yang lain Neci,
sedang di brifing oleh beberapa panitia. Setelah selesai dia dibriefing oleh
polisi yang semalam juga membrifingnya. Ia memakai jaket rompi anti peluru.
Begitu juga dengan Firman Hasan. Mereka kemudian langsung memakai jasnya lalu
Neci masuk ke Hall Meeting. Terdengar riuh tepuk tangan dari audience yang
menyambut kedatangan Neci. Para panitia dan para anggota kepolisian yang ada
disana sedang menahan degupan jantung mereka yang berdegup lebih kencang dari
biasanya. Akankah tragedi ini terjadi kembali? Didepan umum.
Mungkinkah?
Lintang baru saja tersadar dan langsung merasakan
pusing dan rasa sakit yang luar biasanya diseluruh kepalanya. Dia berjalan
terhuyung untuk mencari jalan keluar. Dia berusaha keluar dari kamar itu sambil
mencari handphonenya. Tidak ada handphone yang ia bawa sejak semalam. Ia ingat
bahwa semalam ia meletakkan hapenya diatas meja
belajarnya. Yang ada malah sebuah pesan di sebuah kertas memo dari Sofie kalau
handphonenya di bawa Mamanya. Dia berjalan dan menemukan sebuah I-pad, dia lalu
mendapat kunci sepeda motor dan langsung menuju kampusnya. Dia ngebut dijalan
raya dan hampir beberapa kali terjatuh karena kepalanya masih terasa pening
akibat pengaruh obat bius yang semalam menancap dilehernya.
Sesampai dikampus, dia langsung memarkirkan sepedanya dengan
sembarangan. Dia berlari sekencang yang ia bisa untuk menuju Hall Meeting FEB. Dia menghentikan langkah kakinya tatkala
melihat wajah seorang anggota polisi yang semalam datang kerumahnya. Dia langsung
saja mencopot dan meminjam topi serta
kacamata baca milik seorang mahasiswa yang lewat tepat didepannya. Ia kemudian
menghambur masuk menggunakan cocard peserta seminar yang dengan sengaja sejak tadi
malam dia simpan disakunya.
Neci...., kamu harus keluar dari sini...., bisiknya dari dalam hati.
Lintang masuk kedalam Hall Meeting lalu membuka kaca matanya dan
melihat Neci sudah ada didepan. Dia dengan wajah cantik dan kepandaiannya dia sedang
memandu seminar. Lintang tersenyum, ia selalu mengagumi Neci karena hal ini.
Menurutnya Neci berbeda dari mahasiswi
kebanyakan yang hanya mengandalkan cantik saja. Tapi Neci berbeda selain cantik
dia juga pintar dan hebat.
Lintang masih berdiri dan mencari kursi yang kosong. Dia berusaha menghindari
Sofie yang sedang menerima telpon dari seseorang. Lintang yakin kalau orang
ditelepon itu mengatakan kalau dia kabur, benar saja Sofie melihat kesana dan
kemari seolah mencari seseorang. Dan akhirnya Lintang duduk dibaris kedua,
tanpa sepengetahuan Sofie. Ditempat duduknya Casanova tersenyum tipis melihat Lintang
sudah masuk ke Hall Meeting. Dia masih saja memperhatikan Sofie yang seperti
sedang mencari seseorang. Sebentar saja dia mengerutkan alisnya untuk berpikir.
Kemudian ia menghidupkan layar handphonenya dan memandangi seorang mahasiswa
pasca sarjana yang sedang bertanya dari tempat duduknya.
Sofie berdiri dan memandangi para peserta seminar dengan penuh
keringat dinngin. Dia berlari menuju pintu dan mencoba menghubungi handphone Lintang.
Dia baru sadar kalau handphone Lintang ia nonaktifkan dan tersimpan dikamarnya
yang terkunci. Ia ingat jika ia meninggalkan Ipadnya, ia yakin anak itu membawa
Ipadnya. Sofie lalu memandangi ruangan itu berkali-kali dan melihat kebeberapa
peserta. Namun tetap saja ia tidak bisa menemukan Lintang sama sekali. Padahal
ia yakin jika anak itu pasti kabur agar bisa menyelamatkan Neci dari sini. Sementara
itu Lintang merendahkan tubuhnya yang tinggi agar tidak terlihat Sofie. Dia
tersenyum lega karena Sofie masih saja khawatir padanya. Ia lega.
“Ya Allah… lindungi anak bodoh itu.... kemana dia ya Allah? Tolong
lindungi dia ya Allah, jangan biarkan
dia melakukan hal yang sanagt nekat sampai dia menjadi korban ya Allah, ya
Allah… kamu dimana sih Lintang?? Tolong balas pesanku dong Lintang… kamu kenapa
bisa sebodoh ini sih?” Sofie berlari keluar menuju parkiran, lalu mencoba
menghubungi Ipadnya yang dibawa oleh Lintang.
“angkat bodoh… narsis!!!! Angkat!!!!
Dasar bodoh!!!!!,” hampir saja Sofie membanting handphonenya karena Lintang
sama sekali tidak meresponnya. Sofie lalu memandangi Hall Meeting itu dari luar
dan menghubungi Lintang kembali.
“kenapa kau tidak mengangkat telponku bodoh… apa yang ada didalam
otakmu...,” tiba-tiba seorang mahasiswa yang tampaknya mengenal Sofie langsung
menghampirinya dan nyeletuk.
“nunggu siapa Fie? Adik kamu itu?” tanya Galang sambil tersenyum
sinis. Sofie langsung menghubungi Lintang
kembali, dan seperti tadi tidak akan dijawab dan akhirnya dia
mengirimkan pesan suara. Dia tetap tidak menghiraukan mahasiswa bernama Galang
tadi yang masih saja berdiri disampingnya. Dia tetap berusaha menghubunginya
sambil bercucuran air mata. Berulang kali ia menghubungi Lintang. Namun
berulangkali pula ia tidak mendapat jawabannya.
“Lintang bodoh... kamu dimana sekarang?! Lintang angkat… pliiiis angkat, Ya Allah… Lintang…
kamu dimana? Tolong angkat Lintang,
kamu jangan nekat., kamu jangan bodoh Lintang... Bodoh... kamu dimana???”
tumpah sudah air mata Sofie. Ia menangis sejadinya sambil tetap saja berusaha
menghubungi nomernya yang ia pasang di Ipadnya.
“dia enggak akan mengangkatnya lagi Fie, dia akan tetap berusaha
menyelamatkan Neci, Fie…, kenapa kamu selalu memperhatikan dia?” tanya Galang
seolah dia marah kepada Sofie.
“kenapa?! Kamu mau marah?! Apa urusannya sama kamu? Apa karena aku
terlalu memperhatikan dia dibanding ucapan sayangmu itu? Tapi maaf…,” selesai
mengatakan itu Sofie langsung pergi.
“karena aku tau kamu pasti terluka, dia selalu menyakiti hatimu
Fie, kenapa? Kenapa kamu membiarkan dia menyakiti hatimu, kenapa tidak sekali
saja kamu menengok ke arahku? Yang tidak pernah menyakitimu,” Galang bergumam. Sofie
mendengarnya dan berbalik lalu membalas ucapannya.
“aku bahkan sama dengannya, aku akan rela mati karenanya…, karena
aku tidak lagi hanya mencintainya, aku sudah menganggapnya sebagai adik dan sahabat
terbaikku, dan aku mengenal dia jauh lebih baik daripada aku mengenal diriku,” Sofie
benar-benar pergi dari hadapan Galang.
Ditempat duduknya Lintang tersenyum bahagia namun dia tetap saja mencemaskan
Neci. Namun betapapun cemasnya dia, dia tetap tidak bisa menyembunyikan
perasaan bahagianya karena mendengar suara omelan Sofie. Kembali pesan suara
dari Sofie masuk, dan dia mendengarkan melalui earphone yang terpasang
ditelinganya.
“Lintang tolong beritahu aku... kamu sekarang duduk dimana?!!
Beritahu aku... jawab aku...,aku sangat khawatir sama kamu..., kamu jangan
nekat…, Lintang tolong balas pesanku..., jangan kamu lakukan hal nekat yang bisa
membahayakan dirimu lagi Lintang…, Lintang bodoh..., tolong balas pesanku...,”
namun kali ini Lintang merasakan ada sesakan tangis yang tersembunyi didalam
pesan suara itu. Dia kembali menengok kebelakang dan ingin membalas pesannya.
Tapi dia melihat Sofie yang sudah pergi dari Hall Meeting.
Cassanova melihat Neci dan memperkirakan jaraknya. Perlahan dia
menyentuh layar handphonenya sekali lagi. Disebuah jendela, sebuah ruangan yang
tidak pernah dipakai sebuah senjata api yang dikendalikan dari jarak jauh
sedang mengarah pada Neci. Cassanova lalu menyentuh YES pada layar handphonenya
dan Neci langsung terjatuh kebelakang dengan berlumuran darah. Lintang yang sedang
ingin membalas pesan suara Sofie langsung berdiri dan berlari ke depan berteriak
memanggil nama Neci. Para mahasiswa yang ada digedung itu langsung panik dan
berebut ingin keluar. Sementara itu Lintang menentang arus mahasiswa dia
berusaha menolong Neci yang terkena tembakan.
“NECI‼,” teriaknya sambil berlari berusaha menghampiri Neci
Sofie dan Zayn yang sedang berbicara serius didepan pintu Hall
Meeting terkejut lantaran mendengar suara tembakan. Mereka berdua langsung
berlari menentang arus mahasiswa yang sedang berlarian menyelamatkan diri dari
insiden tersebut. Zayn yang baru tahu apa yang sebenarnya terjadi langsung
berlari dengan cepat meninggalkan Sofie. Dia pasti sedang berusaha
menyelamatkan Neci yang mungkin saja tertembak.
“Lintang…, kenapa kamu? Kenapa kamu menyia-nyiakan semua yang
dilakukan Sofie untukmu?” gumam Cassanova
Casanova geram melihat ulah Lintang. Dia mengarahkan senjata itu
pada Neci sekali lagi. Dan tragisnya tembakan yang seharusnya mengarah kepada
Neci malah mengenai pundaknya. Lintang menahan lukanya dan berusaha mendekati Neci
yang bersimbah darah. Saat dia menghampiri panggung sebuah tembakan mengarah
tepat didada kirinya dan Lintang langsung tersungkur sambil memegang dadanya yang kini terasa sesak dan perih. Casanova langsung keluar dari Hall Meeting dan menghilang begitu
saja. Bahkan polisi yang mengikutinya kehilangan jejaknya.
“Lintang…,” Sofie tiba-tiba merasakan sesutu yang buruk pada
Lintang. ia melihat Cassanova yang berjalan keluar dari Hall Meeting. Ia
menghiraukannya dan memilih masuk ke Hall Meeting.
Sofie yang melihat kondisi seluruh mahasiswa yang seperti itu
langsung berlari menyibak arus kerumunan mahasiswa yang berebut keluar. Sofie
berlari dengan lambat menghampiri panggung, mengingat tubuhnya yang mungil
sulit baginya untuk masuk kesana dengan mudah. Dari kejauhan dia melihat Lintang
yang tergeletak di panggung sambil berlumuran darah. Tanpa pikir panjang Sofie
langsung melepas jas almamaternya dan menutup luka tembak itu dengan jasnya.
“Fie…,” Lintang berbicara dengan lemah sambil mengggenggam tangan
Sofie. Sofie diam saja sambil mengucurkan air mata dan berusaha meminimalisir
pendarahan dengan jas almamaternya.
“jangan bicara lagi…,” Sofie menangis tanpa henti. Tangannya dan
jasnya dipenuhi dengan darah yang keluar dari luka tembak Lintang. Lintang
hendak menggerakkan bibirnya untuk berbicara.
“tolong… jangan bicara lagi… aku tidak mau kehilangan kamu lagi…,”
kata Sofie sambil mengucurkan air matanya. Lintang memandangi Sofie dengan
pandangan matanya yang mulai kabur. Tanpa ia sadari air matanya perlahan
meleleh dan keluar begitu saja. Ia melihat Neci yang sedang duduk disebelah
orang yang paling ia benci sekarang dan seumur hidupnya. Ayahnya dan Kakaknya.
Tiba-tiba pandangan matanya gelap dan ia tidak mendengar apapun lagi. Sunyi dan
sepi.
“LINTANG‼‼ bangun…,” Sofie berteriak saat Lintang tidak sadarkan
diri.
“kenapa lama sekali?! Apa sengaja ingin dia mati? Ha‼” teriaknya.
Tak lama kemudian ambulance datang dan membawa Lintang masuk
kedalam mobil tersebut. Ia berjalan memperhatikan petugas yang mengangkat
Lintang ke ambulance. Disebelahnya Neci sedang terduduk dan sedang ditenangkan
oleh kak Zayn dan beberapa panitia perempuan yang lain. Neci
tidak terluka karena sebelumnya ia memakai rompi anti peluru. Tapi dia
shock berat. Sofie menatap tajam Neci yang selalu memandanginya dengan mata shocknya.
Sofie langsung masuk kedalam ambulance dan menunggui Lintang yang sedang
dibaringkan dan dipasangi selang oksigen. Ia menangis kembali.
“Lintang... bodoh... apa yang sudah kamu
lakukan...,”
Dia berjalan dengan tidak tenang didepan ruang operasi. Dia hilir
mudik kesana kemari karena khawatir. Sofie tidak bisa menangis begitu melihat
kenyataan kalau Lintang menjadi satu-satunya korban insiden hari ini. Sementara
Neci yang ingin ia tolong malah tidak terluka sama sekali. Dia tahu bagaimana
isi hati Lintang selama ini. Rasa sakitnya selama ini. Mengejar cinta seorang
perempuan yang tidak pernah sama sekali memandangnya sebagai seorang yang ada
didekatnya. Dan ia sekarang bersama Zayn, saudara seayah dan sebiologis dengan
Lintang. Mau rasanya ia menampar Neci jika saja dia tidak menjadi korban
diseminar tadi pagi.
“Ya Allah berikan kekuatan pada Lintang, dia harus bisa bertahan ya
Allah… ya Allah… dia adalah karunia terindah yang ada dihidup kami semua,
seorang anak yang lahir tanpa dosa dan sekarang harus lagi memikul lara yang
tidak ada habisnya… aku mohon jangan tinggalkan dia ya Allah… aku mohon...
tolong jangan ambil dia dari sisi kami…,” ucapnya sambil tertunduk dikursi
tunggu didepan ruang operasi. Air matanya meleleh dengan deras mengaliri kedua
pipinya dan membasahi hijabnya. Zayn duduk disampingnya dengan Neci yang juga
bercucuran air mata.
“seandainya aku tau ini sejak awal, seharusnya aku yang mencegahnya,
dan hal ini tidak akan menimpanya, seharusnya aku tidak merenggangkan hubungan
kami yang begitu kental lebih dari darah, harusnya aku juga melakukan hal yang
sama…,” kata Zayn.
“tapi kata-kata kakak sudah tidak berguna lagi kan?” ucap Sofie
dengan suara serak.
“aku tau itu… tapi aku juga tidak bisa melakukan apapun meski aku
tahu hal itu…,” ucapan Zayn terdengar lebih seperti suatu hal yang ingin ia
laksanakan tapi sama sekali tidak bisa terrealisasikan. Seperti sebuah
pengakuan atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat.
“aku juga minta maaf… ak-aku tidak bermaksud…,” ucapan Neci
terpotong karena kalimat yang keluar dari kedua bibir Sofie yang sudah tidak
bisa ditahan lagi.
“seandainya kamu sadar sejak awal mengenai apa yang kamu perbuat
Lintang tidak akan pernah seperti ini… cuman gara-gara kamu dia rela
mengorbankan nyawanya dan sekarang kita tidak tau apa dia masih bisa bertahan
atau tidak, seandainya kamu dari awal sudah tahu kalau kamu hanya akan menjadi
sakit untuk hatinya, seandainya kamu sadar… dia tidak akan seperti ini…,”
“apa maksudmu?” tanya Neci yang masih tidak mengerti sama sekali
mengenai apa yang dibicarakan oleh Sofie.
“kamu penyebab Cassandra membunuh Dion dan Sandhi, dan kamu juga
penyebab semua ini‼,” teriaknya dengan emosi yang meluap-luap.
Casanova duduk mengunci kamarnya dan membuka laptopnya. Dia memandangi
foto seorang yang sedang merangkul dirinya. Fotonya dengan Cassandra saat masih
hidup dulu. Dimejanya ada foto Neci yang sudah ia coret-coret dengan spidol
merah. Ia memandangi sebotol obat berwarna merah yang ada didepannya. Ia
mengambil foto adiknya dan memeluknya.
“sudah seribu hari dari
kematianmu Cassandra hari ini aku sudah mempersembahkan kematian Neci untukmu, aku
sudah membalaskan dendammu…, dan aku ingin menyusulmu adikku sayang, kakak akan
datang dan memberi kabar bahagia ini padamu tentang kematian mereka semua.... sebentar
lagi aku menyusulmu,” Cassanova meminum beberapa butir obat yang ada dimejanya
setelah itu ia meletakkan botolnya di meja. Dia menyandarkan kepalanya kesofa
dan tangan kirinya yang menggenggam foto Cassandra terkulai lemas dan foto itu
terjatuh dilantai dan bingkainyapun
pecah berserakan.
Sofie sedang duduk menunggu dengan cemas operasi pengangkatan
proyektil peluru dari tubuh Lintang. Dia berdiri disamping mamanya Lintang yang
sudah berbicara dengan dokter yang tadi mengoperasi lintang. Sementara kedua
orang tadi entah sudah kemana perginya. Ia
bahkan tidak ingin melihat wajah mereka lagi.
“alhamdulillah peluru itu,
dua-duanya sudah bisa kami keluarkan dari tubuhnya,” kata dokter
“syukurlah…,” ucap mamanya Lintang dengan tenang.
“setelah melewati masa krisisnya malam ini kemungkinan dia akan
sadar,”
“loh tapi bukannya tembakan itu tepat dijantung kan Dokter?” tanya Sofie
“sepertinya Lintang adalah
seseorang yang sangat istimewa... Allah pasti sangat menyayanginya, bukan
begitu bu? karena sepertinya sejak kecil dia memiliki kelainan, begini…, jantungnya
yang seharusnya ada didada sebelah kiri malah ada disebelah kanan..., jadi
kelainan itu menyelamatkan nyawa Lintang,” kata Dokter itu.
“jadi....?” Lintang memiliki kelainan pada jantungnya
“iya..., itu benar Fie, jantung Lintang ada disebelah kanan, Lintang
pasti selamat..., setelah dia melalui masa krisisnya malam ini dia bisa sembuh total,”
ibunya Lintang tersenyum memandangi Sofie yang masih tidak percaya. Dia melongo
dan sekarang dia baru tahu kenapa Lintang selalu meletakkan tangannya didada
kanan saat dia mengatakan hal tentang hatiku, jantungku dan sebagainya. Jadi
karena itu, karena sejak awal dia sudah sadar jika jantungnya ada disana.
Sofie menggantikan Mamanya Lintang untuk berjaga. Mamanya sendiri
juga menemani Mamanya Lintang pulang kerumah. Sofie lalu menjenguk Lintang yang
masih tertidur karena pengaruh obat bius. Sofie lalu duduk dan tersenyum
memandangi wajah tertidur Lintang. Ia hendak menyentuh rambutnya, namun urung
ia lakukan.
“meskipun pingsan, kamu tetap terlihat sangat narsis, matamu mata
narsis, senyummu juga narsis, apalagi wajahmu in… sangat narsis, Lintang-Lintang
bisa gak sih kamu enggak buat orang jadi khawatir? bahkan sekali ini saja, bisa
enggak sih kamu,” Sofie tersenyum melihat Lintang yang tertidur.
“bahkan walaupun kamu bodoh, nekat, narsis, dan terkadang egois, kenapa
kamu tidak berhenti membuatku khawatir? kenapa kamu tidak menuruti permintaanku
saja? pasti kalau kamu turuti kamu tidak akan seperti inikan? Hemmm?
dasar anak bodoh…, “ Sofie menguap
dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Dia akhirnya
menunggui Lintang sampai tertidur dan menelungkupkan wajahnya disebelah tangan
kanan Lintang. Pagi harinya, Sofie terbangun dan melihat Lintang sudah terbangun
dan tersenyum aneh. Lalu ia tertawa kecil padanya.
“seharusnya yang menjaga aku itu kamu, bukan aku yang menjaga kamu,
aku yang sakit malah aku yang menjagamu… kau ini bagaimana? Sampai-sampai aku
harus makan sendir, seharusnya kan kamu tahu kalau bekas jahitan operasi ini
masih sakit, malah aku harus makan sendiri, padahal kan pundakku masih sangat
sakit sekali,” Lintang tersenyum dan melirik Sofie
“memangnya kenapa? Enggak boleh? Aku juga lelah tau!! Empat jam
nunggu kamu di operasi dan balik ke sini tengah malam,” Sofie sewot.
“ya gak boleh, apa kamu tidak khawatir kalau nanti aku, Lintang
teman spesialmu ini akan meninggalkan kamu untuk selamanya, untung saja Tuhan
berbaik hati meletakkan jantungku disini, kalau tidak kamu udah nangis atau
bahkan pingsan mungkin didepan makam aku...,” ucap Lintang sambil meletakkan
telunjuknya didada kanannya.
“siapa yang khawatir? Enak aja!! kalau bukan karena kita berteman
sejak kecil aku enggak bakalan ada disini,” Sofie berusaha berkilah.
Mengingkari apa yang memang sebenarnya ia rasakan. Khawatir.
“hm… sudah bilang saja kalau kamu hawatir… waktu aku sakit demam
berdarah waktu TK dulu kamu juga nungguin aku bermalam-malam dan bilang kalau
khawatir sama akukan?” lata Lintang dengan senyum devilnya.
“oon‼ itu kan kita masih kecil banget,
dan itu emang karena kau kasihan sama kamu yang tiap hari nangis terus…, aneh
kamu ini‼,”
“berarti beda dong dengan yang kemarin malam? yang bilang kalau
kamu masih terlihat narsis walau tidur, mataku narsis senyum ku narsis, terus
yang bilang kalau aku selalu buat kamu khawatir, terus yang minta pesannya
supaya diangkat terus yang minta supaya enggak nekat tadi siapa hayo... siapa
hayo?” tanya Lintang sambil tertawa kecil dan sesekali mengangkat kedua
alisnya. Dan
kalimatnya barusan berhasil membuat wajah Sofie seperti kepiting rebus yang
kemudian di goreng. Merah padam.
“jadi kamu pura-pura tidur semalam?! Masya Allah‼! Nih anak jailnya
enggak ilang-ilang ya? Lagian kenapa sih? enggak bisa ya kamu sekali aja enggak
bodoh enggak nekat dan enggak membuat orang bingung nyari kamu sampai khawatir
banget sama kamu? bisa enggak sih?” Tanya Sofie dengan kesal
“enggak bisa..., soalnya aku suka buat kamu jadi begitu....,” kata Lintang
sambil tersenyum manja.
“dasar!!!,”
“dasar apa? Dasar aku ganteng kan? Iya kan? Eh... tapi aku udah
gantengkan?” Lintang tertawa dan Sofie yang kesal lalu mencubit lengan kirinya
“dasar tukang narsis!!! Bisa enggak sih sehari enggak narsis,”
“gak bisa, aw.. sakit... aw...,aw... ,” Lintang memegangi pundak
kirinya yang sakit, dan Sofie tampak sangat khawatir
“maaf... masih sakit ya? Maaf... ya... aduh... maaf banget...,”
“tuh kan khawatir...ya kan ya kan? bilang aja kalau suka sama aku? Iya kan?” Lintang
tersenyum sambil mengangkat alisnya
“ih enggak...,”
Sofie berkilah lagi
“kamu suka sama aku kan?” tanya Lintang dengan senyuman yang
seperti biasanya.
“enggak!!”
“bohong, enggak bohong
maksudnya,” Lintang kembali menggodanya.
“ih udah diberi tahu juga,” Sofie ngeles
“ye…, ngeles…,aduhh-duhh,”
Lintang kembali memegangi pundak kirinya yang sakit, dan Sofie tampak sangat
khawatir
“tuh kualat kan?”
“iya-iya maaf, tapi beneran lho ini jahitannya masih sakit..., eh, tapi
benerkan? Kamu suka sama aku?” tanya Lintang sekali lagi.
“siapa juga yang suka sama orang narsis setengah gila kayak kamu,
kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sih? Ngipi apa kamu selama kena obat bius?” tanya
Sofie. Dia memang merasa aneh karena baru pertama kalinya Lintang mengatakan
hal yang tidak pernah ia katakan sama sekali padanya. Sejak kapan ia menyadari
bagaimana perasaannya yang sesungguhnya? Dan dari siapa?
“aku… selalu berusaha untuk tahu makanya aku nanya itu ke kamu…,”
“enggak dikasih tahu Cassandra kan?” Sofie berusaha menebaknya.
Bukan karena dia cemburu, tapi memang karena selama ini Lintang sangat dekat
dengan Cassandra alias Cassanova. Terlebih dia tahu betul latar belakang
Cassnova yang sebenarnya. Jadi tidak mustahil jika ia memberitahu Lintang.
“bukan…,” Lintang berusaha berkilah.
“jangan bohong! aku udah tau semuanya, iya semuanya, semua yang
sebenarnya terjadi antara kamu dan Cassanova, aku tau apa yang kamu ingin
tanyakan? Dari mana aku tau hal itukan?”
“iya…, darimana kamu tau? Padahal
selama ini kamu di Sukabumi…, kenapa kamu bisa tahu?”
“dia itu sama sepertiku, jadi aku bisa tahu dengan mudah apa yang
dia pikirkan dan apa yang kalian bicarakan jika bertemu, aku tahu kalau kalian
tidak mempunyai perasaan khusus seperti kamu ke Neci, dan juga sebaliknya, dia
menganggapmu sebagai copian dirinya, bahkan lebih parah darinya,”
“seharusnya aku juga
memperhatikan ucapannya dulu…, jika saja aku memperhatikannya tidak akan
seperti inikan jadinya? Kalau saja sejak awal aku percaya sama kamu, pasti dia
tidak akan melakukan itu sama Neci…, dan sekarang aku baru sadar kalau kamu itu
selalu khawatir padaku, ternyata aku juga menjadi orang yang kejam juga ya?
Padahal selama ini aku selalu menganggap orang lain kejam pada diriku sendiri” Lintang
berusaha duduk, dan Sofie membantunya. Sofie masih diam mendengar ucapan
Lintang. Ia anggap itu sebagai ucapan atas kesadarannya selama ini. Ia senang
jika pada akhirnya Cassanova yang ternyata membuatnya membuka mata akan
kenyataan yang harus dia pilih. Sehingga dia tidak akan lagi menyakiti hari dan
perasaannya lagi.
“tapi benerankan kalau kekhwatiran kamu itu bukan hanya
kekhawatiran yang biasa? Bukan karena kamu sayang
sama aku?”
tanya Lintang sembari menatap tajam kedua bola mata Sofie.
“itukan karena aku sudah menganggapmu sebagai adik…,” ucap Sofie.
“ jangan bohong…, karena aku serius tanya sama kamu...., aku sekarang
lagi enggak main-main...,” ucapnya dengan nada serius.
“emangnya yang kemarin-kemarin bohongan ya?,”
“tuh kan ngambek...,” kata Lintang
“siapa juga yang ngambek…, orang aku minta penjelasan,” ucap Sofie
“berarti benarkan dari dulu kamu itu sudah suka sama aku.., hah..
kalau tahu gitu dari dulu aku nembak kamu aja...,” dia menarik napas yang
panjang.
“tapi seandainyapun kamu benar
suka sama aku, aku tidak bisa menjamin kalau kita akan bahagia, satu kamu baru
kalau jantungku ini tidak normal dan itu membuatku dan Mama berusaha untuk
terus membuat jantung ini tetap berdetak, sekalipun bisa selamat karena ada
disini… tapi konsekuensinya juga tidak mudah… aku akan dengan mudah hilang selamanya
dari edaran bumi ini,
“tapi perasaanku yang
sebenarnya aku juga baru sadar sekarang, aku tidak bisa hidup tanpa kamu, kalau
kamu tidak ada rasanya tidak ada yang menjadi pegangan dalam jalan hidupku,
hampa dan gelap, seandainya aku sudah tahu dari dulu perasaan ini lebih dari
sekedar teman aku pasti akan terus melindungimu, dan tidak akan membuatmu
khawatir seperti ini, dan juga kamu harus tahu banyak hal lagi mengenai
penderitaan yang masih bertumpuk dan belum terurai jika hidup denganku nanti,
“salah satunya adalah aku tidak mungkin memberikan harta apapun
jika kita seandainya kita benar-benar menikah, aku tidak tahu darimana kamu
tahu kalau Zayn adalah kakak tiriku, sedarah denganku dan karena itu kamu tidak
bisa mengharapkan harta apapun dariku karena aku ini hanya anak orang
biasa-biasa, anak orang miskin yang kuliah karena beasiswa prestasi..., aku ini
orang yang tidak punya apa-apa...,
“hidupku ini juga tidak mudah, kalau ini kamu pasti sudah tahulah…
karena kita juga sama, aku yang harus bersembunyi demi kebaikan orang tuaku,
dan juga kamu, ditambah lagi nantinya kita akan menjadi orang yang hidup dalam
pelarian, tapi hanya itu yang aku punya, karena kau memang tidak punya apa-apa,
tapi aku janji aku akan menjadi orang yang lebih baik nantinya dan aku juga
akan menjadi orang yang bertanggung jawab dan aku akan bersikap lebih dewasa
lagi, aku juga berjanji tidak akan membuat kamu kecewa dan membuat kamu khawatir
lagi, aku menyayangimu Fie,” Lintang memegang erat tangan Sofie. Beberapa butir
air mata menggantung dikedua sudut matanya.
“sejak kita kecil kita berdua tahu problem kita masing-masing...,
ayahmu yang meninggalkanmu dan kau harus bersembunyi..., ayahku dan kakekku tidak
mau mengakuiku hanya karena aku anak perempuan..., ibu kita yang sama-sama
single parent..., aku tidak pernah berharap mendapat apapun…, sama sekali tidak
pernah, karena aku tahu bagaimana rasanya memikul penderitaan yang begitu
besarnya selama ini…, rasanya sakit dan berat, apapun itu aku akan menerimanya
dengan rela…, aku senang karena Cassanova yang memberitahumu…, artinya dia
sebenarnya sangat sayang sama kamu…, dia tidak ingin kamu terluka seperti ini,
sama seperti aku…,” kata Sofie.
“ terima kasih....,” sepertinya ada sesuatu yang berat mengiringi
perkataanya dan terdengar sebagai tangisan. Tiba-tiba saja mamanya Lintang dan
Bu Mira membuka pintu dan mengagetkan mereka berdua. Mereka berdua salah
tingkah dengan sendirinya sambil senyum-senyum malu karena ketahuan mamanya Lintang
dan salah satu dosen mereka yang terkenal killer.
“mama.... kenapa enggak ketuk pintu dulu..., kan aku terkejut ma,” Lintang
kembali membuat mamanya tersenyum.
“oh iya mama lupa..., maaf...,” ucap mamanya
“bagaimana kondisi kamu sekarang? Baikan?” tanya Bu Mira. Dia duduk
sambil mengelus bahu Sofie. Dia tersenyum memandangi Sofie dan Lintang.
“agak baikan bu…,” jawab Lintang.
“kalau memang kalian sudah mantap…, langsungkan saja…,” ucap
dosennya itu. “jangan memperbanyak
dosa, seperti yang ini…,” Bu Mira langsung melepas telapak tangan Sofie yang
masih digenggam oleh Lintang. Bu mira tersenyum kepada mereka berdua. Dan langsung membuat wajah mereka berdua
seperti kepiting rebus.
“jangan berbuat dosa ya? Ibu pergi dulu ya Lintang…, Sofie…, cepat
sembuh ya? Assalamu’alaikum,” bu Mira tersenyum sambil melambaikan tangan
dengan ramah. Suatu pemandangan yang tidak pernah mereka temukan jika dikampus.
“oh ya kondisi Neci gimana? Dia baik-baik aja kan?” tanya Lintang
pada mamanya.
“dia baik-baik aja...., malah sama Zayn dan Nana,” jawab mamanya
“o..., Nana?! Apa dia sudah sadar?” sepertinya Lintang agak kecewa
namun dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan dia memaksakan senyumnya kepada mamanya
lalu memandangi Sofie. Sofie tahu maksudnya dan tersenyum memandangi Lintang,
berusaha membesarkan hatinya. Tak berapa lama omanya Lintang, mamanya papa Lintang
masuk keruangan inap Lintang. Dengan wajah yang menyeramkan dia melemparkan dua
buah tiket pesawat terbang ke atas ranjang rawat Lintang.
“ini tiket ke Swiss, pergilah berobat kesana dan akan aku tanggung
biaya hidup kalian berdua,” katanya dengan tegas tak terbantahkan. Itu dulu, dan sekarang berbeda
lagi.
Lintang diam saja melihat kedua tiket pesawat terbang itu. Dia
beralih memandangi omanya yang
menampakkan wajah kesal dan berangnya. Lama sekali Lintang memandangi omanya
yang masih tegak berdiri didepannya ini. Terkadang dalam hatinya ia berharap
jika omanya ini segera mati saja. Tapi ia sadar jika hal itu tidak baik untuk
ia minta pada Allah SWT. Tapi disisi
lain ia sebenarnya sangat sayang kepada Omanya ini. Seandainya ia boleh bilang,
ia ingin merasakan kasih sayang yang sama seperti Zayn. Tapi itu mustahil
baginya. Omanya sudah terlanjur membecinya sampai ke ubun-bubunnya.
Sofie yang baru pertama kali melihat omanya Lintang diam melihat
wanita itu. Ini benar-benar baru pertama kalinya ia bertatap muka dengan seorang wanita ningrat
yang kejam ini. Ia memperhatikannya dari ujung rambut sampa ujung sol sepatu
yang ia kenakan. Sementara mamanya Lintang berusaha tegar menghadapi mamanya Firman
Hasan ini. Ia tidak ingin banyak bicara, karena toh semua juga akan percuma
saja akhirnya. Oma kembali melanjutkan ucapannya lagi.
“aku tidak ingin kalian menampakkan wajah kalian didepan anakku dan
keluargaku lagi jika kalian ingin bahagia, oh ya kamu! jangan berusaha menjadi
pahlawan kesiangan untuk Neci, bagaimanapun Neci itu...,” belum selesai omanya
berbicara Lintang langsung menyahut.
“bagaimanapun Neci itu adalah tunangan cucu anda Zayn Hasan bukan?
Nyonya Hasan yang terhormat… anda tenang saja… aku dan mamaku tidak akan
mendekati mereka sesentipun, apalagi meminta uang dari kalian semua… tidak akan
pernah… itu tidak akan pernah terjadi, jadi sekarang silahkan anda keluar dan
ambil tiket ini kembali, kami tidak butuh ini sama sekali, jadi silahkan anda
ambil kembali tiket dan uang anda ini, karena kami ini bukan pengemis,” Lintang
tidak mau kalah.
“berapa lama kalian bisa hidup tanpa uang dari kami? aku sangat ingin
melihatnya,” mendengar hal itu Lintang langsung naik darah, sambil menahan
sakit di bekas operasinya yang berdenyut. Lintang memandangi omanya dengan
wajah merah. Sejak dulu hal ini yang selalu ingin katakan hal yang selama ini
dia dan mamanya simpan sendiri. Kenyataan pahit dan ketegaran yang selama ini
ia jalani.
“apakah anda selalu berpikir bahwa selama dua puluh tahun ini kami
menggunakan uang dari anda?! Tidak sama sekali, mama selalu mengembalikan semuanya
ke rekening papa, jadi selama ini nyonya pikir kami hidup dengan uang nyonya?! Oh…,
Tidak sama sekali…, jadi silahkan anda pergi dari sini dan lebih baik anda
jangan kembali kehadapan kami jika ingin kami tidak menyampuri urusan keluarga
anda… silahkan anda pergi dari sini pintu rumah sakit terbuka lebar untuk anda
keluar dari tempat ini,”
“jangan merasa hebat dulu nak, Nah kita lihat sejauh mana kalian
bisa bertahan…,” dia pergi dengn kemarahan yang sudah memuncak.
Lintang memegangi dadanya yang masih sakit dan memandangi neneknya
dengan pandangan penuh amarah. Neneknya juga langsung pergi begitu Lintang menyelesaikan
perkataannya tadi. Sofie terdiam dan beralih memandangi wajah Lintang yang
menjadi semu merah. Lintang menghela napas dan melihat Sofie yang sedang serius
menatap wajahnya sejak tadi. Mamanya lalu pergi keluar, katanya ingin menemui
dokter. Sementara Lintang melihati Sofie tanpa mengejutinya sama sekali.
“udah puas lihatinnya?” tanya Lintang sambil tersenyum.
“hem? Apa? Siapa yang lihatin wajah kamu? aku cuman berpikir kalau
ternyata kamu itu jeleeeek banget kalau marah, merah seperti rajungan rebus,
aku lebih suka kalau kamu narsis..., kelihatan lebih menggemaskan,” kata Sofie
sambil tersenyum seperti anak kecil.
“oh ya? Masa sih? Terus menurut kamu oma aku itu gimana? Siap
ketemu sama dia teruskan? setiap kali kita bertemu dengannya loh, apalagi kita
satu kampus sama Zayn,” tanya Lintang
“harusnya kamu juga tanya bagaimana dengan kakekku…, dia dan
kegalakannya jauh melebihi nenekmu dan mungkin juga akan membuatmu ketakutan,”
kata Sofie
“tapi lebih menakutkan suara kamu pas kamu bilang bodoh kamu
dimana?! Angkat telponku sekarang..., jangan nekat bodoh....,” Lintang tersenyum
“ ya sekarang aku sadar aku ini sangat bodoh, kalau aku tahu Neci
menggunakan rompi anti peluru dan juga kalau ada kak Zayn, aku akan
tenang-tenang saja, diam dirumah dan makan dengan kenyang... hhhh... kenapa
baru sekarang kau tahu kalau dia itu saudara tiriku? sekarang aku juga bertemu
dengan oma......, aku harus dirawat dirumah sakit dan aku membuat kamu khawatir
lagi...,”
“menyesal nih ceritanya...,” kata Sofie
“tergantung.... tergantung kamu mendengar dari segi siapanya....,” Lintang
tersenyum manis, dan Sofie juga membalas senyumannya. Tiba-tiba saja beberapa
teman sejurusannya datang mengejutkan mereka berdua. Termasuk kedatangan Galang
dan Zayn serta Neci.
“hayo.... ketahuan sekarang kamu Sofie... jadian sama adik kamu
kan? Adik Lintang...., yah... enggak papa sih kalian berdua..., emang cocok
banget,” ucap Galang.
“jadi... kedatangan kita ganggu gak nih....,” ucap Kak Zayn sambil
tersenyum.
“ganggu banget Kak...., heheheemmmm,” kata Lintang sambil menahan
tawa. Kata Kakak yang selama ini Zayn harapkan keluar dari mulut Lintang
akhirnya keluar juga. Ia sangat sayang padanya karena dia memang berbeda dengan
Omanya. Ia sangat menyayangi adiknya tirinya ini, Lintang.
“oh, Neci juga ikut…,” ucap Lintang pelan.
“sorry ya sebelumnya orang yang kamu sukai aku ambil dulu, soalnya
aku tidak tahu…, kalau aku udah tahu dari dulu mungkin akan berbeda ceritanya…,”
ucap Zayn sambil berusaha tersenyum. Neci juga berusaha untuk tersenyum meski
akan berbeda dari sebelumnya.
“enggak papa, aku juga udah punya gantinya,”kata Lintang sambil
melirik Sofie.
“ehm… aku pergi sebentar, aku harus ke toilet, permisi,” Sofie
langsung berjalan keluar ruangan rawat dan menutup pintu. Ketiga orang itu
memandangi Lintang yang sedang berbaring.
“maaf ya sebelumnya… aku bener-bener minta maaf,” ucap Neci
“aku udah nglupain itu semua…, asalkan seterusnya aku bisa hidup
bahagia tidak masalah kan? Bukan begitu Zayn?” tanya Lintang. Zayn terkejut
karena dia kembali mendengar Lintang menyebut namanya lagi, bukan Kakak.
“maaf, seperti yang aku bilang pada nenek, aku tidak akan
menganggapmu sebagai keluarga lagi, aku sudah menemukan kebahagiaanku,
bahagiaku yang baru aku sadari tempatnya, orang itu, aku sudah terlalu sering
membuatnya menangis… dan aku ingin dia bahagia,” kata Lintang.
“aku yakin kamu akan membuatnya bahagia,” kata Galang dengan
senyuman seperti biasanya.
“hei‼‼ aku punya kejutan buat kalian,” tiba-tiba Sofie membuka
kamar rawat Lintang. Sedetik kemudian seorang mahasiswi cantik memasuki ruangan
tersebut sambil menaiki kursi roda. Nana Aname, yang beberapa bulan lalu sempat
koma sudah sadar.
“hai Lintang! hai semuanya!,”
Nana tersenyum ceria meski duduk dikursi roda.
“jadi apa yang melakukan hal itu ke kamu itu Cassanova?” tanya Zayn
pada Nana.
“lah apa kamu tidak bercerita sama mereka Fie?” tanya Nana kepada
Sofie yang sedang duduk di sofa. Dia terkejut karena mendengar namanya disebut.
Padahal dia sangat ingin tidur sejenak sudah hampir tiga hari dia tidak tidur
sama sekali untuk menjaga Lintang.
“iya…, darimana kalian berdua tau kalau yang malakukannya itu
Cassanova?” tanya Zayn.
“kalian belum mendengar ceritanya dari Sofie?” tanya Nana
“udah Fie ceritain aja…, lagipula dia juga udah enggak ada kan?”
ujar Nana.
“oke…, tapi aku bingung harus cerita dari mana…, oke gini…, aku
udah curiga sama dia sejak rapat pagi di kantor BEM…, sehari sebelum rapat aku
lihat kukunya Cassanova yang halus tiba-tiba hari itu patah, dan pas bertepatan
dengan kematian Dion…, terus juga dia itu sebenarnya adalah salah satu pasien
rumah sakit jiwa yang berkasnya tertukar dengan pasien yang lain, kata pamanku
sebelum dia masuk rumah sakit jiwa dia juga pernah membunuh kedua teman dekatnya
dan hampir dihukum mati,
“dan juga saat berkunjung kerumahnya, Nana nggak sengaja menemukan
sebotol obat berwarna putih yang berbeda dengan obat aspirin biasa…, dan
setelah diteliti ternyata itu adalah obat untuk penenang syaraf…, itulah kenapa
selama ini dia terlihat biasa saja didepan kita semua…,” Sofie menghentikan
ceritanya karena Lintang menyelanya. Sofie menguap berkali-kali karena kantuk
berat.
“dan karena itu dia berusaha melenyapkan kamu yang sudah tau
rahasianya itu…, rahasia jika sebenarnya dia itu adalah orang yang tidak waras
dan berusaha membunuh orang…, tapi aku heran kenapa dia mengincar sepupu kakak
dan juga kamu? Apa alasannya?” tanya Lintang kepada Nana.
“semua itu Sofie yang tahu…, aku cuman tau masalah obat dan riwayat
rumah sakit jiwa aja…,”
“Fie cerita dong…,” semua orang yang ada diruangan itu memaksanya
untuk bercerita mengenai kenyataan yang sebenarnya tidak ingin ia ceritakan. Ia
yang tengah mengantuk berat kembali bercerita.
“motifnya itu sederhana…, dia itu dendam sama kak Zayn dan Neci,
Kak Zayn itu dulu pacarnya Cassandra, iya kan kak Zayn? Aku mati-matian
menyelidiki ini sama kepolisian selama semingu loh…, adiknya tewas…, iya kan Kak? Sesudah kakak
pindah kemari dan mengatakan putus Cassandra meninggalkan? dan Cassanove membalas
dendam ke orang-orang yang dia anggap memiliki hubungan dengan kematian
adiknya,” kata Sofie, dia menguap sekali lagi.
“apa adiknya mati bunuh diri?” tanya Galang
“heem, dan dia berjanji untuk membalas dendam, setelah berusaha
membunuh Neci waktu seminar dan juga dia tidak sengaja menembak Lintang setelah
itu dia bunuh diri dengan mengkonsumsi obat tidur dalam jumlah yang banyak,”
mendengar penuturan Sofie semua orang didalam sana terkejut. Nana juga heran
karena menurutnya Lintang tidak ada hubungannya dengan Neci dan Zayn. Mereka
memandangi Sofie dengan sejuta pertanyaan.
“aku juga baru tahu saat terjadi insiden penembakan di Hall
Meeting,” kata Zayn.
“dari hasil rekonstruksi kepolisian…, senjata itu digerakkan secara
otomatis lewat sebuah software yang sudah dirancang khusus oleh Cassanova…,
sebenarnya senjata itu hanya diarahkan pada Neci, tapi karena Lintang berusaha
menghalanginya maka dia terkena tembakan itu…, ya…, karena itulah kenapa tidak
ditemukan sidik jari pada senjata itu…, dan kematian kak Sandhi juga kak Dion
entahlah bagaimana kejadiannya aku tidak tahu, dan juga karena Nana sudah siuman
sebelum seminar berlangsung dia memberitahu kepolisian guna pengintaian dan
hasilnya kemarin itu…,” ucap Sofie. Mereka semua memandangi Sofie sambil
melongo dan tidak percaya dengan keterangan yang ia berikan. Lintang dan Nana
tersenyum melihat Sofie yang sudah duduk diatas sofa. Sofie menguap beberapa
kali, ia kemudian tertidur dengan sangat lelap. Setelah semua orang yang
menjenguknya keluar, Nana mendekati Lintang.
“ada sesuatu yang aku mau tanyain ke kamu sejak aku sadar dari
koma,”
“apaan…,” jawab Lintang
“aku jadi heran kenapa orang yang begitu dekat dengan Cassanova
seperti kamu tidak menjadi sasarannya, kalau mendengar pernyataan dari Sofie
tadi Cassanova pasti kecewa dengan apa yang kamu lakukan…, terlebih Sofie juga
memberitahuku mengenai Cassanova yang sudah membuatmu sadar dengan perasaanmu
yang membuatmu bingung kan? Iya…, aku udah tahu hal itu, Cassanova juga
memberitahu Sofie mengenai perasaannya sendiri…, aku sedikit heran saja…,” ucap
Nana
“kamu tau banyak ya rupanya…, ya…, dia juga berkata akan hal yang
sama ke aku sehari yang lalu, cuma aku yang terlalu bodoh aku tidak memikirkan
dan menggunakannya,”
“aku sendiri masih tidak percaya kalau dia yang melakukannya,”
tanya Nana
“kamu pikir aku tidak? Setelah kita berbicara banyak aku baru sadar
kalau dia itu sama denganku, dari luarnya aja terlihat kuat…, tapi sebenarnya
sangat rapuh, dia hanya ingin saudarinya berhak untuk mendapatkan cinta dari
Kak Zayn, dia tidak bisa kehilangan saudarinya sehingga dia harus dirawat
dirumah sakit jiwa, dan hasilnya dia kabur dan melakukan pembunuhan itu semua…,
semuanya dia lakukan karena kehilangan orang yang sangat ia sayangi, dia cuma
ingin kak Zayn sadar bahwa Cassandra itu sangat berarti dan dia begitu ingin
menyadarkan kak Zayn sampai seperti ini, dan dia juga yang membuatku sadar…,
jika saja aku tidak sadar dengan apa yang terjadi sebenarnya dia pasti juga
bisa menjadi korban yang sama denganku,” jawab Lintang sambil memandangi Sofie
yang tertidur.
“jadi kamu baru sadar dengan perasaanmu sendiri?” tanya Nana yang
juga memandangi Sofie.
“ya, aku baru sadar jika hati ini sejak dulu hanya penuh dengan
dirinya…, sudah sering kita bersama sampai aku sendiri tidak tahu batasnya
dimana, dan sekarang aku baru sadar bahwa disinilah perasaanku yang sebenarnya,”
“ya…, aku sebenarnya ke sini sekalian mau pamit ke Singapura…, aku
akan kesana untuk menyelesaikan master…, kapan-kapan kita bertemu lagi…, aku
senang karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu yang sebenarnya…, seandainya
dulu aku tidak melepaskanmu begitu saja pasti kamu juga tidak akan seperti
inikan?” ujar Nana dengan suara serak.
“itu semua hanya masa lalu kita berdua, aku juga ingin kamu
menemukan cintamu lagi…, cinta yang bisa membuatmu berdiri dan tersenyum
kembali…, semoga sukses,” ucap Lintang sambil tersenyum. Nana tersenyum dan
kemudian melambaikan tangannya keluar dari ruang rawatnya Lintang. Nana
menangis tergugu karena dirinya begitu saja melepaskan ikatannya dengan Lintang
dulu. Seandainya saja dia dan Lintang masih bersama, mungkin tidak akan begini
jadinya.
Lintang sedang duduk dikursi
rodanya. Dia masih dalam kondisi perawatan. Ia memperhatikan Sofie yang sedang
pergi dari rumah sakit untuk kuliah. Ia duduk sendiri ditaman rumah sakit,
ditemani oleh seorang perawat yang sedang duduk bergosip dengan perawat yang
lain. Lintang tersenyum memandangi dua angsa yang sedang berada didalam kolam
taman. Ia jadi teringat ketika dirinya dan Cassanova sedang berbicara setelah
bermain basket beberapa waktu yang lalu. Ia baru sadar jika rasa sakit yang
Cassanova rasakan adalah rasa sakit yang sama dengannya. Dan mungkin rasa sakit
yang sama dengan yang Sofie rasakan selama ini. Rasa sakit yang hanya akan
menumpuk begitu saja jika tidak diobati oleh orang yang juga memiliki rasa
sakit yang sama. Rasanya sekarang sakit itu agak mendingan dibandingkan dengan
beberapa tahun yang lalu.
Sofie berjalan keluar dari kelasnya. Ia berjalan menuju ruang dosen
sambil membawa setumpuk makalah dari Bu Mira. Untuk sementara ini dia yang
menggantikan Lintang menjadi asisten dosen untuk Bu Mira. Setelah selesai
dengan kewajibannya, Sofie berjalan menuju taman kampus. Ia sedang mengamati
beberapa mahasiswa yang sedang belajar ditaman. Ia tersenyum sendiri, matanya
beralih pada arakan awan putih yang sedang berjalan mengikuti arah angin.
“awan yang hitam sudah pergi…, dan sekarang tinggal seputih kapas…,
apa hatimu masih juga sama denganku?” gumam Sofie. Tiba-tiba hapenya menyala
dan sebuah pesan masuk. Ada sebuah gambar kucing tertawa sambil membawa sebuah
buku. Pesan singkat dari Lintang yang membuatnya tertawa. Benar, orang itu
adalah pecahan perasaannya yang sebenarnya. Mungkin agak terdengar gila jika ia
hanya orang yang sama akan saling mengobati satu sama lain. Padahal keduanya
sama-sama terluka. Entahlah, tapi memang terdengar aneh. Hanya saja jika memang
sudah terjadi, mau bagaimana lagi. Rasa sakit akibat kehilangan orang yang
disayang bisa membuat seseorang kehilangan arah dan tujuan dalam hidupnya.
Kehilangan seseorang yang sangat berarti didalam kehidupan juga membuat luka
didalam hati akan semakin dalam, dalam dan semakin dalam. Dan yang bisa
mengobatinya adalah rasa rela dan ikhlas, bukan balas dendam. Balas dendam
karena kehilangan orang yang disayangi hanya akan mengakibatkan dendam baru
terlahir begitu saja. Dan tidak akan pernah berhenti.
Lintang dan suster yang menjaganya berjalan menuju tempat
fisiotheraphy. Ia tak henti tersenyum mengingat nama Sofie yang baru ia sadari
keberadaanya sekarang ini. Dia akan berjalan lagi, dan akan berdiri tegak untuk
melindunginya agar tak berair mata kembali.
Dan, menyadari orang yang sangat mencintai dengan penuh kesadaran
adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Seringkali orang itu ada disekitar kita
sendiri. Bahkan bisa jadi sangat dekat, sampai kita tidak bisa membedakan
apakah dia sahabat atau sebuah tempat terakhir untuk berlabuh. Tidak ada yang
bisa sadar dengan penuh dan mengakuinya dengan sebenarnya. Karena begitu
kaburnya batasan yang memisahkan antara keduanya. Tapi pahamilah bahwa mereka
tidak pernah jauh dari kita sendiri. mereka ada didekat kita, sangat dekat dan
merekalah orang yang selalu ada disamping kita. Dan Merekalah orang yang dengan
senang hati mengorbankan nyawa dan hidupnya untuk orang yang mereka sayangi.
Mereka bahkan rela tersakiti asalkan orang yang mereka sayangi bahagia dan
tersenyum lebar. Bahkan mereka tidak perduli dengan rasa sakit yang menusuknya
tatkala melakukan hal itu. Sungguh semua ini seperti sebuah kegilaan yang
dilakukan oleh orang yang sudah penuh dengan orang yang disayanginya.
Seperti Kahlil Gibran yang selalu menuliskan tentang kegilaan orang
yang sudah dirasuki hal gila bernama cinta. Orang yang sudah menjadi pengikut
cinta akan terus selalu melakukan apapun, asalkan orang yang dicintainya
berbahagia. Bahkan segala harinya akan selalu dipenuhi oleh cinta, sekalipun
rasanya akan menyakitkan. Dan hanya cinta yang bisa mendamaikan dunia, hanya
cinta. Selama masa muda, orang yang sudah menjadi pengikut cinta hanya akan
menjadikannya sebagai guru mereka. Dalam usia setengah bayanya cinta yang
menjadi penolong mereka. Dan dimasa tuanya, cintalah yang akan menjadi
penghibur mereka. Dan selamanya cinta akan menjadi penghibur dan tinggal
bersama mereka hingga akhir hayat dan bahkan sesudah kematian. Dan hingga
tangan Tuhan menyatukan mereka kembali (kahlil ghibran).
Cuma pengikut cintalah yang bisa membuat mereka mendengarkan
panggilannya. Dan kini aku sudah mendengarkannya. Mendengarkan panggilan cinta
yang berasal dari seseorang yang sejak dulu sudah berada disisiku. Orang yang
memang menyayangiku dengan setulus hatinya. Tanpa pamrih dan tanpa alasan.
Dialah panggilan cinta itu.